Tergambar sudah, sendu murkamu meninggikan debu hingga terombang-ambing oleh petaka. Membiaskan cahaya-cahaya hingga redup tanpa harap, mengusik detak waktu yang terus berjalan tak peduli sebanyak apa manusia yang kelaparan. Bagai gerimis di tengah aspal panas, amarahmu menguap di udara, terbang bebas tak terikat oleh ruang dan kehidupan. Semboyan nakal yang dulu kau perdengarkan, kini hanya tinggal memori yang tergerus lapuknya oleh usia.
Ketika hamparan syair-syair berubah menjadi dendam, badai terlamun dihadang sandiwara, tak ada yang tahu pasti semenyakitkan apa gejolak rindu yang terpendam selama ribuan hari. Tak tersentuh, tak terurai, tak terawat.
Singgasana yang kau bangun berubah menjadi istana rayap, dinding lapuk dihajar waktu tanpa kenal ampun. Lapisan-lapisan baja dipenuhi karat, hingga pedih mata ini menyaksikannya. Ukiran-ukiran isi hati sudah tak bisa dibaca, kumpulan harpa-harpa usang penuh nai, harus berapa lama lagi kau munggu untuk sebuah cinta? Tak ada kepastian walau miliaran kubik tinta kau tuliskan setiap hari.
Benar memang, tak ada salahnya terus mencoba. Tapi menunggu sesuatu yang tak pasti, hanya akan semakin memperdalam luka yang kau rasa.
Mungkin saja pujaanmu sudah mati, jantungnya tertusuk panah dari restu yang tak menyertai kau dan dia. Atau mungkin dia lari, tak kuat bersanding dengan wanita buruk rupa. Atau, mungkin juga dia sengaja mempermainkanmu, memperdayaimu hingga puas lalu tertawa, menjadikanmu boneka atau pelampiasan kejiwaannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H