Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Peradaban dan Kesalahan Berpikir Masyarakat Indonesia

5 April 2021   19:12 Diperbarui: 5 April 2021   19:25 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara umum, objektivisme merupakan sebuah pandangan bahwa objek dan kualitas yang kita ketahui dengan perantara indera kita tidak berdiri sendiri/lepas dari kesadaran kita terhadapnya. Sedangkan objektivitas merupakan sebuah konsep yang terlepas dari bias persepsi, sebuah proposisi memiliki kebenaran objektif jika tanpa bias yang dipengaruhi oleh indera. Gampangannya, kebenaran objektif adalah sebuah kebenaran yang sudah tidak lagi melibatkan emosi dan perasaan dalam mengambil sebuah persepsi/kesimpulan.

Kenapa Saya tertarik untuk membahas objektivitas? Karena Saya sendiri seringnya menelaah secara terperinci ketika akan mengeluarkan sebuah statement, sehingga pandangan Saya memiliki tingkat objektivitas yang tinggi. Ada yang masih ingat dengan tulisan Saya soal UU ITE? Ketika Saya menulis tentang kasus UU ITE, banyak orang tidak sependapat dengan Saya, bahkan banyak juga yang menuduh Saya dengan bermacam statement.

Dalam tulisan itu Saya membahas kasus Baiq Nuril dan kurir dari sebuah jasa ekspedisi yang mengirimkan barang dengan sistem cash on delivery, tetapi pihak pemesan memaksa untuk membuka barang pesanannya sebelum membayar. Dan ketika sudah dicek, pemesan tidak jadi membeli karena barang yang dipesan tidak sesuai dengan pesanannya. Alhasil, kasus itu viral karena videonya tersebar.

Baiq Nuril dan kuris sama-sama terjerat pasal UU ITE, dan keduanya mendapatkan dukungan dari masyarakat luas. Tetapi Saya menyalahkan Baiq Nuril dan kurir, karena bukti berupa video seharusnya diserahkan ke pihak kepolisian, bukannya malah disebar di medsos.

Dalam menentukan objektivitas kebenaran, tentu Saya berpegang pada pasal atau aturan yang berlaku. Sedangkan perasaan dan emosi tidak Saya libatkan, karena dengan begitu, apa yang Saya tulis sudah sesuai dengan definisi dan esensi dari objektivitas itu sendiri.

Memang benar, banyak orang merasa iba kepada Baiq Nuril dan kurir, karena keduanya adalah korban. Namun sekali lagi, tindakan yang mereka lakukan melanggar UU ITE karena telah menyebarkan video itu di media sosial. Dan sudah jelas, pelaku dapat menuntut atas dugaan pencemaran nama baik. Pelaku yang menuntut itu sah-sah saja, karena dia memiliki bukti yang jelas.

Saya pun sama, merasa iba kepada Baiq Nuril dan kurir, namun lagi-lagi, waktu itu Saya berbicara sesuai dengan objektivitas kebenaran. Dan serangan terhadap tulisan Saya pun, Saya anggap wajar. Kenapa? Karena pada tahap mitologis, manusia tidak mau atau tidak berani mempertanyakan hal-hal yang dianggap benar tapi tidak masuk akal. Karena mempertanyakan sesuatu yang dipegangi oleh masyarakat (perasaan iba kepada Baiq Nuril dan kurir), sama dengan menggugat keabsahan kepercayaan.

Dalam buku yang Saya baca, penulis menyuguhkan 3 macam objektivitas. Yang pertama adalah objektif rasional, objektif logis, dan objektif sejati. Begitu juga dalam hidup ini, Saya mempunyai 3 landasan pokok dalam hidup, yaitu idealis, realistis, dan rasionalis. Setidaknya 3 landasan itu yang membawa Saya ke tahap sekarang, dan tentunya berkaitan dengan semua tulisan yang Saya buat.

Contoh lain adalah ketika Presiden Jokowi dan Prabowo menjadi saksi di acara pernikahan Atta dan Aurel, banyak pihak yang "melumrahkan" kehadiran 2 tokoh itu. Tetapi tidak dengan Saya, dalam setiap postingan terkait, Saya selalu menyerang kehadiran Jokowi dan Prabowo.

Memang benar, Anang merupakan anggota dewan, dan tidak ada salahnya menghadiri acara pernikahan itu. Tapi yang Saya sangat sesalkan, kenapa akun sekretariat negara harus memposting acara itu? Sudah jelas bahwa sekretariat negara tidak seharusnya mengurusi acara pernikahan, bahkan urgensinya pun tidak ada. Objektivitas kebenaran itu Saya pakai, karena memang yang Saya fokuskan adalah soal akun sekretariat negara.

Namun banyak orang mengalami kesesatan berpikir, yang pada akhirnya menyalahkan Presiden Jokowi. Padahal, Presiden berhak menghadiri undangan sebagai tamu. Nah, Presiden patut disalahkan jika korelasinya digeser, yaitu menghadiri acara pernikahan dengan mangkirnya terhadap sidang gugatan lingkungan. Jika korelasinya digeser, pihak yang mencibir Jokowi tidak bisa disalahkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun