Orang-orang selama ini banyak yang menganggap bahwa, Siti Jenar adalah sosok wali (mantan) yang murtad dari ajaran Islam, mengaku sebagai Allah dan Muhammad, dianggap seorang atheist, hingga banyak dari kita yang diberitahu bahwa sosoknya dipenggal karena telah dianggap melakukan propaganda ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.Â
Saya sendiri sedari kecil sudah terbiasa mendengar kisah Siti Jenar versi wali songo, dan pemahaman tentang Siti Jenar berlangsung hingga Saya dewasa. Namun lambat laun Saya menyadari, ketika Saya akan mengambil kesimpulan tentang Siti Jenar, berarti Saya harus membaca dari both cover atau kedua versi. Sama halnya dengan cerita tentang pengkhianatan Partai Komunis Indonesia, selain mambaca versi Orde baru, Saya juga harus membaca versi dari orang-orang seperti D.N Aidit, Samoen, hingga dari mereka yang menjadi tahanan politik. Maka dari itu, perlahan Saya mulai mencari dan mempelajari siapa sosok Siti Jenar.
Hal pertama yang Saya cari tentunya yang bersumber dari Internet, dan ketika bahan dari internet sudah cukup, kemudian Saya menyambangi kediaman guru spiritual Saya untuk berdiskusi tentang sosok Siti Jenar. Saya pun kaget ketika mendengar pernyataan guru Saya bahwa Siti Jenar merupakan sosok yang bukan lagi penganut syareat, melainkan sudah ke tahap ma'rifat hingga moksa. Guru Saya menjelaskan ajaran Siti Jenar yang selaras dengan bahan yang sebelumnya Saya cari di internet, rasa penasaran pun semakin bertambah yang akhirnya membuat Saya membaca buku tentang Siti Jenar.
Menurut Jenar, Islam khas Arab tidak cocok dengan kultur yang ada di Jawa. Maka dari itu, Jenar ingin menyebarkan ajaran Islam tapi dengan versi Jawa. Pemikiran Jenar selaras dengan petuah Sabdo Palon yang pernah berpesan, "Orang Jawa jangan sampai kehilangan Jawanya (budaya Jawa)". Guru Saya pun memberi nasehat kepada Saya bahwa, "Beragamalah (Islam) sesuai pada umumnya". Maksudnya, ketika orang umum memakai sarung ketika sholat di masjid, ya Saya harus menggunakan sarung bukannya malah menggunakan gamis, karena gamis identik dengan kultur Arab. Sedangkan sarung? Identik dengan kultur Nusa Jawa.
Dalam ajarannya, Siti Jenar beranggapan bahwa penamaan Allah adalah tipuan semata, karena menurutnya, jika kita meyakini bahwa Tuhan itu hanya ada satu, maka tidak perlu lagi nama baru "Allah" untuk menyebut Tuhan bagi orang Islam. Cukup dengan Hyang Widhi saja karena sesuai dengan kultur yang ada di Jawa, begitu pendapat Jenar. Meskipun Tuhan itu Wajibul Wujud, kata Jenar, tetapi Dia tak terjangkau oleh indra, budi, dan pikiran. Dia tidak bisa dijelaskan seperti apa, oleh karena itu manusia hanya diberi wahyu agar bisa memberikan pelajaran/petunjuk bagi orang lain. Ada wahyu yang bersifat kitabiyah seperti Al-Qur'an, Injil, Taurat, Zabur, Zen Avesta, Tipitaka, dlsb. Ada juga wahyu yang bersifat kauniyah atau kebenaran yang ada di alam raya ini. Sehingga orang bisa mengerti bahwa bumi yang mengitari matahari, bukan sebaliknya sebelum ilmu pengetahuan berkembang.
Berbicara mengenai aksi terorisme yang terjadi di Makassar dan Mabes Polri Jakarta, menurut Siti jenar itu adalah jenis kezaliman yang halus. Loh, maksudnya? Kezaliman yang halus adalah dengan menggunakan pembenaran atas dalil-dalil agama demi kepentingan kelompoknya. Beribadah kepada Allah tidak harus dengan cara melakukan aksi teror bom bunuh diri, karena menurut Jenar, dengan kita bekerja, membantu orang lain, menghormati sesama manusia, menghargai, dlsb juga merupakan bentuk ibadah atau jihad.
Nah, kita sering mendengar kata "thaghut" keluar dari mereka yang melakukan aksi teror. Padahal, semua bentuk kesewenangan, pemaksaan, penindasan, kezaliman, merusak lingkungan, termasuk juga ke dalam perbuatan thaghut. Thaghut berasal dari kata "thagha", "thaghiya", yang artinya melampaui batas-batas yang telat ditetapkan. Kita makan terlalu kenyang pun, sudah termasuk thaghut. Maka dari itu, Siti Jenar tidak setuju jika Nusa Jawa mengadobsi Islam Arab sehingga akan muncul salah tafsir yang dikarenakan oleh perbedaan kultur maupun budaya. Di Barat, tasawuf berkembang dengan pengikut dari macam-macam agama, identitas agama tidak menghalangi mereka untuk mengaji tasawuf. Di zaman Siti Jenar pun begitu, orang yang agamanya berbeda bisa berguru kepadanya tanpa harus menginggalkan agama asalnya. Inilah salah satu pendirian dan juga pemikiran yang Saya kagumi dari sosok Siti Jenar.
Zaman sekarang, orang melakukan sholat sudah berani mengaku beriman kepada Allah. Padahal mereka sholat sebatas formalitas, kenapa? Karena perbuatan yang dilarang oleh Allah, masih mereka lakukan. Mereka sholat juga atas dasar ancaman siksa neraka, padahal, Allah mengharapkan ibadah yang tulus dari hambaNya. Orang-orang merasa sudah beriman hanya dengan mengucapkan syahadat, padahal, mereka mengucapkan syahadat pada waktu masih kanak-kanak.Â
Sedangkan salah satu syarat untuk sholat (beriman kepada Allah), salah satunya dengan menjadi aqil baligh. Lah, memangnya mereka waktu syahadat dulu sudah baliqh? Kalau belum, tentu syahadatnya tidak sah dong? Lalu, kenapa mereka berani mengatakan bahwa mereka beriman kepada Allah? Pemahaman yang seperti inilah yang coba untuk dijelaskan oleh Siti Jenar. Begitu pun dengan mereka yang gemar mengkafirkan, membid'ahkan, melakukan aksi terorisme. Mereka (teroris) hanya memahami Al-Qur'an secara tekstual, ditambah dengan perbedaan bahasa. Tentu akan terjadi banyak salah tafsir jika tidak dipahami secara kontekstual, dan akhirnya akan semakin memperbanyak aksi teroris maupun intoleransi yang terjadi di Indonesia bahkan di dunia!
Menurut Jenar, kebenaran tidak terletak pada teks kitab suci, melainkan dari kenyataan hidup yang berlandaskan hak, kemandirian, dan kodrat. Lah, gimana kita mau menilai bahwa Al-Qur'an itu benar jika konteks "jihad" saja disalahartikan? Bagaimana kita mau menilai bahwa Al-Qur'an itu benar, jika kita merampas hak hidup orang lain dengan melakukan aksi bom bunuh diri? Kalau kita mengambil ayat itu tanpa memperdulikan konteks dan rangkaian ayat itu dengan ayat sebelum dan sesudahnya, maka ayat itu akan bermakna sebagai klaim yang selama ini kita dengar, yaitu agamaku-lah (Islam) yang paling benar.
Berjihadlah seperti Siti Jenar yang mengasihi sesama, memahami Al-Qur'an tidak hanya sebatas teks, tidak mengedepankan ego, dan tidak mudah dipengaruhi tanpa mencari tahu terlebih dahulu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H