Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Darah dan Air Mata

6 Maret 2021   18:38 Diperbarui: 6 Maret 2021   18:42 429
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akan tiba saat di mana Aku harus merelakan segalanya, melepas semua yang pernah Aku perjuangkan, berpisah dengan mimpi yang belum sempat terwujud. Petaka tentang kehilangan bukan hanya soal cinta, tapi juga tentang kehilangan diri sendiri. Dan di saat banyak bintang berguguran, di saat itu juga Aku harus secepatnya menghilang.

Terkadang Aku bersembunyi dari bulan, pergi menghilang tanpa kabar. Terkadang Aku lari dari matahari, berharap tak ada memori tentang diriku. Namun semua itu percuma, bilang waktu masih saja berjalan.

Andai saja Aku ini peri, pasti Aku tak butuh belas kasihan. Terbang bebas di angkasa, menari riang bersama guguran bunga sakura, berjalan di atas angin penuh dengan suka cita. Tak ada yang bisa Aku lakukan selain melamun, membayangkan betapa menyedihkannya menjadi diriku.

"Mungkin saja Tuhan sedang mengujimu", bahkan Aku sudah bosan mendengar kalimat itu, ujian yang tidak tahu kapan berakhirnya, ujian yang tidak menghasilkan apa-apa.

Kau tahu? Aku senang sekali menciumi bayanganmu, sesekali melabuhkan kepalaku di pundakmu, hanya untuk numpang beristirahat. Dan Kau pun hanya diam, seolah tak mengakui keberadaanku. Menyakitkan? Memang, semoga saja hanya Aku yang Kau acuhkan.

Mungkin waktunya telah tiba, di mana Aku harus melepaskanmu untuk pergi jauh meninggalkan hamparan harapan yang Aku bayangkan. Merelakanmu untuk meninggalkan istana yang sudah Aku bangun dengan sekuat tenaga. Menanggalkan mahkota berlian yang Aku rebut dengan darah dan air mata. Usahaku yang tak membuahkan hasil harus Aku terima dengan luka yang menganga.

Bicaralah wahai kasih, harus dengan apa agar Aku bisa lekas bangkit dari keterpurukan ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun