Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kata Siapa UU ITE Bikin Takut? Begini Cara Menghindarinya!

10 Februari 2021   19:23 Diperbarui: 10 Februari 2021   19:31 290
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Jokowi dalam statementnya mengatakan bahwa masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritikan, namun banyak netizen mengomentari pernyataan itu dengan sederet bukti pembungkaman, kriminalisasi, yang disertai dengan pasal karet dalam UU ITE. Sehingga, saat ini banyak orang takut mengemukakan kritik di media sosial karena adanya ancaman dari UU ITE. 

Nah, di sini ada mispersepsi tentang UU ITE dalam pengaplikasiannya. Namun sebelum Saya menjelaskannya, Saya ingin berbagi pengalaman dalam mengkritik salah satu RSUD di domisili Saya. Kritikan dan tata caranya akan berhubungan dengan tulisan kali ini, karena mungkin saja ada banyak orang yang masih bingung dengan tata caranya.

Saat itu Saya sedang mengantar ayah Saya untuk check up pada poli urologi, dan kekecewaan Saya dimulai ketika asisten dokter menyuruh ayah untuk opnam. Asisten dokter menyuruh Saya untuk mengikutinya ke bagian pendaftaran rawat inap, namun asisten itu berjalan dengan sangat cepat. 

Saya yang mendorong kursi roda, ditambah dengan tidak tahu jalan menuju bagian pendaftaran, memutuskan untuk berhenti. Tak selang lama, asisten itu kembali dan memarahi Saya. Nah, saat itu Saya emosi dan langsung berkata, "Bapak ini gimana? Saya tidak tahu jalan menuju bagian pendaftaran, ditambah Saya mendorong kursi roda, kok bapak marah ke Saya? Harusnya Saya yang marah ke Anda! Karena Anda jalannya terlalu cepat. Saya yang tidak tahu jalan di RS ini mending milih berhenti, daripada nantinya Saya tersesat."

Saat itu nada suara Saya kencang sehingga ada beberapa dokter yang keluar dari ruangan dan melihat ke arah Saya, bahkan teman Saya pada bagian rekam medis pun, menghampiri Saya. Akhirnya asisten itu diam dan mengarahkan Saya ke bagian pendaftaran rawat inap yang juga ditemani oleh teman Saya.

Ketika petugas pendaftaran sedang memproses data ayah, Saya cerita ke teman Saya bahwa Saya kesal dengan sikap asisten dokter itu. Teman Saya pun berkata bahwa sifat asisten itu memang keras dan banyak karyawan yang tidak suka, bahkan kata teman Saya, Saya adalah orang pertama yang berani beradu mulut dengan asisten dokter itu. Akhirnya Saya mengirimkan pesan teks ke nomor yang disediakan oleh manajemen, yang intinya kecewa dengan pelayanan dari asisten dokter urologi.

Pengalaman kedua masih di RSUD yang sama, namun kali ini urusannya dengan satpam dan seorang asisten dokter di lobby IGD. Saat itu ayah mengalami pendarahan akibat jatuh di kamar mandi, 

Saya dan kakak pun langsung bergegas membawanya ke RSUD. Saya dan kakak kesulitan untuk memindahkan ayah ke brankar, sedangkan satpam hanya melihat saja. Saya yang panik dan kepalang emosi, akhirnya berkata ke satpam, "Bapak itu gimana sih? Liat orang kesusahan kok diam saja? Bantuin kek!", tak lama satpam itu pun membantu kami.

Karena sedang pandemik, satpam mengajukan pertanyaan sesuai SOP dan Saya menjawab dengan jujur. Nah, asisten dokter di IGD kembali melemparkan pertanyaan yang sama, bertele-tele dalam bekerja. Akhirnya Saya emosi dan berkata, "Pak! Ini ayah Saya sedang sekarat dan butuh penanganan,

Anda tanya ini itu bla bla bla sudah Saya jawab tadi sama satpam, Saya jawab dengan jujur mbok ya yang cepat kasih tindakan." Saya berkata dengan nada yang tegas disertai dengan mata yang berkaca-kaca, sedangkan asisten dokter beralasan bahwa ia hanya mengikuti prosedural. Saya pun kembali menegaskan bahwa Saya paham dan sudah menjawab semua pertanyaan, dan seketika asisten dokter diam sambil memeriksa tensi darah ayah Saya.

Merasa penanganan sangat lambat, Saya pun mengambil foto petugas dan merekam penanganan mereka. Satpam yang melihat langsung menegur Saya karena area RSUD tidak boleh ada kamera, seketika Saya menjawab, "Saya akan memposting kejadian ini di medsos dan membuat review yang jelek tentang pelayanan kalian, jika dalam beberapa jam ayah Saya tidak selamat, Saya akan membuat nama rumah sakit ini jelek di media." 

Asisten dokter pun langsung menyiapkan formulir untuk perawatan ayah Saya, dan langsung membawa beliau ke ruang CT Scan untuk memeriksa kepala ayah. Dan benar saja, ada pendarahan hebat di kepala beliau. Akhirnya mereka pun memasukkan ayah ke ruang ICU dan dirawat dalam 4 hari sebelum akhirnya ayah meninggal dunia.

Dari kasus di atas, Saya menahan untuk memposting kekesalan Saya di medsos karena apa? Pertama, Saya harus menyampaikan kritikan ke manajemen rumah sakit terkait pelayanan, karena dengan begitu Saya melakukan tindakan yang benar. Kedua, setelah ayah Saya mendapatkan penanganan yang cepat, 

Saya mengurungkan niat Saya untuk berkicau di media sosial, karena jika Saya menuruti emosi dan langsung berkicau, tentu Saya akan terkena UU ITE pasal pencemaran nama baik. Nah, akan berbeda hal jika kritikan Saya tidak direspon, atau bahkan Saya yang disalahkan, pastilah Saya akan langsung berkicau di medsos karena merasa tidak mendapatkan pelayanan dan perlindungan dari pihak rumah sakit.

Hal yang Saya lakukan bisa kalian tiru, agar terhindar dari UU ITE. Sedangkan jika kalian menjadi korban pelecehan, jadikan bukti sebagai lampiran ketika melapor ke kepolisian. Karena jika kalian memposting bukti itu di media sosial, pelaku bisa menuntut kalian menggunakan UU ITE pasal pencemaran nama baik. 

Inilah yang sering terlewat oleh mereka yang merasa sebagai korban, dan jika pelaku "otaknya jalan" pasti mereka akan menuntut balik atas dugaan pencemaran nama baik. Begitu pula dengan video-video viral di media sosial, jika yang bersangkutan merasa dirugikan, mereka bisa melaporkan penyebar dengan menggunakan UU ITE walau sebenarnya mereka adalah pelaku. Maka dari itu, jangan sampai emosi mematikan akal kita untuk berpikir terlebih dahulu.

Saya pun pernah mengkritik pemkot terkait penanganan banjir, dan memposting ke akun instagram Saya. Kenapa hal itu Saya lakukan? Pertama, Saya sudah memberikan komentar di salah satu postingan akun instagram milik pemkot namun tidak ada tanggapan. Kedua, Saya mengirimkan dm di instagram milik pemkot namun tak juga mendapatkan tanggapan, bahkan, dibaca pun tidak. Merasa kesal, berkicaulah Saya di media sosial namun tetap menggunakan etika kesopanan, walau saat itu Saya sangat emosi.

Intinya, ketika kita mendapatkan pelayanan yang buruk dari instansi pemerintahan, sampaikan kritik langsung ke manajemen terkait, jadikan foto atau video sebagai bukti ke pihak instansi, tunggulah sampai ada klarifikasi sehingga masalah benar-benar sudah clear. Bukannya malah direkam dan disebar di medsos tanpa adanya dialog ke pihak manajemen, karena hal itu bisa membuat kita terjerat dalam pasal karet yang ada di dalam UU ITE.

Memang benar terdapat banyak pasal karet di dalam UU ITE, namun bukan berarti pasal-pasal itu bisa membuat kita takut untuk mengkritik. Karena sejatinya, kita harus paham dengan "tata cara"nya terlebih dahulu, barulah kita dapat memetakan risiko yang nantinya akan kita terima.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun