"Mungkin akan ada beberapa pihak yang mispersepsi dengan tulisan Saya kali ini, namun dapat Saya maklumi jika nantinya akan ada pihak yang kontra karena profesi yang mereka jalani. Atau mungkin, hanya spekulasi sepihak dari Saya saja. Namun yang jelas, tulisan kali ini bersifat koreksi yang berkaitan dengan profesi mereka."
Saya ingin membahas sosok guru, tapi bukan dalam arti sempit. Definisi guru secara umum adalah, seorang pengajar dalam masa anak usia dini melalui pendidikan formal secara berjenjang.
Kita mengenal istilah guru, adalah mereka yang berprofesi sebagai tenaga pendidik di sekolah, yang berstatus pns maupun honorer. Namun, jika kita mengkaji lebih dalam, mereka yang disebut dengan guru bukan hanya yang berada di sekolah. Tenaga didik ngaji, orang-orang yang mempunyai kapasitas maupun kapabilitias yang mumpuni, juga bisa disebut dengan istilah guru.
Maka dari itu, tidak seharusnya kita mempersempit definisi seorang guru, bahwa seorang guru adalah mereka yang mengajar di sekolah formal saja.
Lalu, apa sih yang ingin Saya sampaikan dalam tulisan kali ini? Yaitu yang berkaitan dengan pelanggaran HAM, yang dilakukan oleh "oknum" guru kepada muridnya. Namun yang jadi catatan, seperti yang sudah Saya jelaskan di atas, bahwa guru yang Saya maksud adalah guru dalam arti luas.
Dalam sebuah pertemuan kelas, terkadang ada saja guru yang membeda-bedakan para siswa/i-nya. Seorang guru bahkan terlihat pro kepada siswa/i yang pintar, kaya, ganteng/cantik dan kontra bahkan mendiskriminasi siswa/i yang "kurang pintar", miskin, "berpenampilan" lusuh hingga menjadikan siswa/i tersebut sebagai objek bullying oleh sang guru. Dan anehnya, ketika siswa/i tersebut menjadi objek bullying dari sang guru, teman-teman satu kelasnya ikut menertawakan.
Kasus di atas sering terjadi, dan dapat kita temui di mana saja, tidak hanya dalam lingkup sekolah formal. Kejadian yang sungguh disayangkan memang, ketika ada seorang guru yang justru mempraktekkan bullying secara langsung di depan muridnya. Ironi? Benar. Namun itulah fenomena yang hingga saat ini masih terjadi, yang justru semakin membuat kualitas pendidikan di Indonesia tertinggal dari negara lain.
Sewaktu berada di sekolah dasar, Saya pernah mengalami kejadian itu. Rasanya menyedihkan, namun mau tidak mau, Saya harus berpura-pura menerimanya dengan senyum serta tawa. Melawan? Ingin, tapi Saya masih kecil, belum ada keberanian dalam diri Saya waktu itu.
Traumatik yang Saya alami di sekolah dasar, berimbas terhadap sikap Saya ketika memasuki sekolah menengah pertama. Saya banyak diam, dan memilih untuk diam karena Saya tidak mau mendapatkan perlakuan yang sama seperti ketika masih di sekolah dasar. Namun bullying justru datang dari teman-teman Saya. Sedangkan guru? Saya tidak merasakan diskriminasi dari mereka.
Memasuki sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi, Saya justru menjadi salah satu murid kesayangan. Hal itu tentunya patut Saya syukuri. Namun, ketika melihat teman-teman Saya mendapatkan perlakuan diskriminatif, Saya merasakan kesedihan. Karena memang pada faktanya, Saya pernah berada di posisi mereka yang mendapatkan diskriminasi ataupun bullying dari oknum guru.
Sikap dualitas yang dilakukan oleh seorang guru kepada muridnya yang dianggap sebagai anak emas, hanya karena orang tua dari sang murid merupakan teman baiknya atau, sang murid merupakan keponakan dari guru tersebut, juga banyak terjadi.Â