Siapa yang tidak kenal dengan Enny Arrow, yang mendapatkan julukan "Ratu Erotika" Indonesia? Enny Arrow atau yang mempunyai nama asli Enny Sukaesih Probowidagdo, lahir di Bogor pada 1924 dan wafat pada tahun 1995. Enny Arrow merupakan salah satu legenda stensilan di Indonesia, dan mempunyai banyak penggemar pada masanya.
Ya, antara tahun 1977-1992 karya Enny Arrow adalah karya yang paling banyak dibaca oleh golongan muda di Indonesia. Puncak Bukit Kemesraan, Madu Racun, dan Selembut Sutra adalah tiga karya Enny Arrow yang populer pada saat itu. Enny Arrow adalah salah satu penulis sastra erotis di Indonesia.
Sebagai bahan informasi, sastra yang berbau erotis sudah lahir sejak berabad-abad yang lalu. Bahkan, sebelum kemunculan Giovanni Boccaccio dengan karya The Decameron pada tahun 1350-an. Karya-karya Enny Arrow dianggap sebagai karya ilegal pada masa Orde Baru, karena pada saat itu, dogma agama masih melekat pada Pemerintahan Soeharto.
Ya, sastra erotis merupakan salah satu jenis sastra yang bersifat menentang hal-hal yang dianggap tabu oleh dogma agama.
Saya sendiri, awalnya tidak mengenal dan tidak pernah mendengar nama Enny Arrow. Hingga pada akhirnya, dulu, salah satu follower Saya di instagram memberikan komentar untuk tulisan Saya yang berjudul "Seks dan Revolusi". Katanya, Hara Nirankara adalah Enny Arrow abad ke-21. Saya yang sebelumnya tidak mengenal nama itu, akhirnya mencoba untuk mencari tahu siapakah Enny Arrow yang dimaksud.
Setelah mengetahui sosok Enny Arrow dan juga karya-karyanya, Saya pun berpikir kalau Saya tidak pantas untuk disandingkan dengan sosok Enny Arrow.
Sebagai bahan informasi, terkadang Saya membuat tulisan yang berbau erotis di Instagram, blog pribadi, dan juga wattpad. Tulisan-tulisan yang menggugah libido itu, sampai sekarang masih ditunggu oleh banyak follower Saya di instagram.
Kenapa Saya membuat tulisan yang berbau erotis? Yang perlu diketahui, Saya merupakan orang yang gampang bosan dalam menulis sesuatu, sehingga Saya memerlukan "tema" lain agar daya berpikir Saya tidak berhenti pada satu jenis tulisan saja. Hal itu dapat kalian lihat pada akun Kompasiana Saya, Saya terkadang menulis puisi, cerpen, humaniora, politik dan pemerintahan, sosial-budaya, dan juga tulisan yang berbau seks.
Walaupun Saya seorang Sarjana Ekonomi, tetapi Saya selalu tertarik untuk belajar tentang Filsafat, Politik, Ilmu Sosial, dan juga Hukum. Memang, dulu ada beberapa follower di instagram yang melayang protes, katanya, akun milik Saya tidak fokus pada satu isu atau konten. Kemudian Saya menjawab, Saya orang yang tidak bisa jika harus berfokus pada satu bidang ilmu saja, karena dunia ini sangat luas, dan Saya suka sekali untuk mengarunginya (ilmu dan berbagai cabang jenisnya).
Berbicara mengenai sastra erotis, dulu Saya sempat akan menerbitkan sebuah buku yang mengandung unsur seks, tetapi penerbit Saya tidak berani untuk menerbitkan. Alhasil, Saya akhirnya mempublikasikan tulisan itu pada blog pribadi dan juga wattpad.
Saya pun sampai sekarang masih heran, kenapa sastra erotis masih dilarang di Indonesia? Padahal, banyak pejabat di pemerintahan, anggota DPR, hingga warga sipil (termasuk pemuka agama) sangat menyukai hal-hal yang berbau seks. Namun anehnya, kita semua melanggar peraturan yang dibuat oleh negara. Jadi, apa guna peraturan itu dibuat jika hanya untuk dilanggar? Lebih baik hapuskan saja aturan itu, hehe.
Jika dibilang, untuk menjaga moral bangsa karena agama melarangnya. Eits, jangan salah, agama bukan satu-satunya sumber moral. Dan, jika sastra erotis sudah tidak lagi dilarang, apakah Indonesia akan menjadi negara liberal? Of course not.
Ah, Saya bahas soal sastra erotis saja, karena saat ini Saya sedang tidak selera untuk membahas politik dan agama.
Sastra Erotis merupakan sastra yang mengandung atau mengungkap perilaku cinta dalam berbagai ekspresinya. Erotis berasal dari bahasa Yunani Eros yang berarti dewi cinta penyambung antara dunia yang bersifat indrawi dengan dunia yang terbuka bagi rasio (ensiklopedia.kemdikbud.go.id). Yup, itulah kenapa Saya membuat artikel yang berjudul "Jalur Alternatif Menuju Seks".
Setiap orang membutuhkan seks (kecuali aseksual), dan tiap orang mempunyai orientasi seksual yang berbeda. Dengan banyaknya perbedaan itu, terdapat orang-orang yang gemar membaca sastra erotis sebagai metode pemuas orientasi seksualnya.
Membaca sastra erotis tidak akan membuat kita menjadi orang yang cabul, tidak lantas menjadikan kita sebagai pelaku asusila. Karena apa? Kita mempunyai akal untuk berpikir, maka akan sangat disayangkan jika kita tidak memakai akal kita ketika sedang membaca sastra erotis, yang akhirnya membuat kita segan untuk melakukan tindakan asusila.
Ketika kalian sudah tidak lagi bisa menahan nafsu saat membaca sastra erotis, kalain bisa melakukan handjob, memakai jasa PSK, atau memilih untuk tidur sehingga pikiran "nakal" kalian bisa diminimalisir.
Ada banyak sekali cara untuk melampiaskan nafsu akan seks, sehingga tindakan asusila atau pemerkosaan bisa dihindari. Semuanya tergantung personal masing-masing, ingin "puas" secara aman atau "puas" yang berakhir di penjara.
Menulis sastra erotis adalah hal yang menyenangkan, karena daya imajinasi kita menjadi motor utama penggerak dalam menulis. Memang, sesekali libido Saya memberontak ketika sedang menulis cerita seks, namun hal itu bisa Saya minimalisir dengan mudah, misalnya berhenti menulis sejenak, menyeduh kopi, merokok, dan mainan gadget. See? Kita memegang kendali penuh atas diri kita sendiri, sehingga akan sangat disayangkan jika masih banyak orang yang tega melakukan tindakan asusila atau pemerkosaan atas dasar nafsu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI