Ah, lagi-lagi ada topik menarik dari Kompasiana. Topik pilihan tentang "Toxic Relationship". Toxic relationship hingga saat ini masih menjadi salah satu bahasan pokok dalam kelompok feminisme, yang korbannya pun tak selalu perempuan.
Ya, feminisme tidak melulu soal perempuan, mereka (laki-laki) yang menjadi korban juga dibela oleh feminisme, termasuk dalam kasus toxic relationship hingga pelecehan.
Seperti yang kita ketahui, bahwa siapapun bisa menjadi korban, dan siapapun berpotensi menjadi pelaku. Kejahatan seksual, atau dalam topik kali ini "toxic relationship", tidak memandang gender, usia, suku, agama, dan juga orientasi seksual. Semuanya berpotensi menjadi korban dan pelaku, inilah yang menarik dari setiap kasus yang terjadi dalam kehidupan di sekitar kita.
Toxic relationship adalah sebuah hubungan yang ditandai dengan tindakan/perilaku yang tidak baik/buruk secara emosional oleh salah satu pasangan, dan bisa mengarah ke bentuk kekerasan fisik.
Sedangkan penyebabnya? Bisa dari tingkat emosional pasangan, tingkat ketidak-pedulian pasangan, egoisme, dan juga patriarki/matriarki.
Dalam tulisan kali ini, saya tidak akan membagikan pengalaman tentang toxic relationship, karena saya tidak pernah mengalaminya, hehe. Namun saya ingin memberikan tips, yang mungkin saja dapat dijadikan sebuah referensi agar kalian tidak terjebak ke dalam hubungan yang toxic.
Hal pertama yang harus dilakukan ialah, kenali pasangan atau calon pasangan. Salah satu hal yang sering saya lakukan ketika ingin mendekati seorang wanita adalah, dengan membaca karakter/sifat dari target.
Memang, tidak semua orang dapat melakukan seperti yang saya lakukan. Maka dari itu, saya menggunakan diksi "kenali pasangan atau calon pasangan" sebelum kalian memutuskan untuk menjalin hubungan.
Ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk "mengenali", yaitu dengan cara mempersilahkan target untuk terbuka kepada kalian, mengamati sikap yang diperlihatkan, mencari tahu informasi dari teman dekatnya, teman yang suka padanya, dan teman yang tidak suka padanya.
Kenapa kalian memerlukan opini dari teman yang tidak suka kepadanya? Tujuannya adalah untuk membuktikan, apakah opini itu sebuah kenyataan atau hanya gosip belaka. Cover both side mutlak diperlukan, agar langkah yang akan diambil selanjutnya merupakan sebuah langkah yang bijak. Dan yang tidak kalah penting, gunakanlah firasat kalian.
Yang perlu kalian ingat, masa pendekatan, masa pacaran, dan masa pernikahan terkadang berbeda-beda. Ada orang yang ketika sedang mendekati, dia berperilaku manis, sopan, menyenangkan. Tetapi ketika sudah memasuki masa pacaran hingga pernikahan, terkadang sikapnya berubah.Â
Tentu hal itu bukan sesuatu yang baik, dan juga umum terjadi. Namun yang perlu diingat adalah, tujuan kalian menjalin hubungan tentunya didasari dari rasa nyaman. Ketika rasa nyaman itu sudah tidak lagi ada, tidak ada salahnya kalian untuk mengakhiri hubungan itu.
Ada salah satu teman saya, dia seorang wanita yang menjalin hubungan dengan kekasihnya lebih dari 7 tahun. Ketika saya dan dia sedang berada di kos untuk mengerjakan revisi ujian skripsi, teman saya berkata, "Jika suatu saat ada lelaki yang lebih baik dari dia (pacarnya), yang bisa membuat saya lebih nyaman, saya akan memilih laki-laki itu."
Teman saya menjelaskan kalau di luar sana pasti masih banyak lelaki yang lebih baik, maka dari itu, dia tidak mengacu pada "lamanya hubungan" yang sudah ia jalani dengan kekasihnya.
Hal itu membuat Saya berpikir, untuk apa saya menangisi orang yang sudah meninggalkan saya? Menangisi atas semua yang telah terjadi? Larut dalam kesedihan yang tidak tahu kapan akhirnya? Dan omongan teman saya itu ada benarnya juga, kalau di luar sana masih banyak orang yang lebih baik.
Kedua, ketika kalian sudah menjalin sebuah hubungan dan mengalami toxic relationship, lekaslah diakhiri hubungan itu. Saya paham, "cinta" dapat membuat orang "waras" menjadi "gila". Maka dari itu, saya selalu tertawa ketika membaca kutipan, "jangan menasehati orang yang sedang jatuh cinta".
Saya memaknai kalimat yang diucapkan oleh Thranduil ketika sedang menasehati Tauriel, dalam film The Hobbit: The Battle of The Five Armies.
Ya, apa yang diucapkan oleh Thranduil adalah sebuah kenyataan (at least, bagi saya), karena apapun yang kita rasakan soal cinta adalah ketidaknyataan. Kita terjebak ke dalam perasaan yang kita ciptakan sendiri, sehingga ketika perasaan itu berbanding terbalik dengan realita, kita hanyut di dalamnya dengan segala kesedihan.
Begitu pula dengan kalimat, "tapi Aku sangat mencintainya". Hell what? Hubungan kalian toxic, kamu sebagai korban. Setan apa yang menghipnotis pikiranmu sehingga kamu menerima saja ketidakadilan dalam hubungan kalian?
Jika kamu berpikiran begitu, bedanya apa kamu dengan budak hasil rampasan perang? Untuk apa kamu merasakan merdeka dalam bernegara, tetapi tidak merdeka dalam urusan perasaan?
Come on, man, berjuang tidak sebodoh itu, masih banyak orang di luar sana yang jauh lebih baik. Kalian mempunyai "free will" dalam diri kalian, gunakan hak kuasa kalian untuk keluar dari toxic relationship.
Jika kalian takut untuk speak up, di luar sana banyak sekali komunitas beserta LSM yang bersedia membantu kalian, melindungi kalian, datanglah ke mereka untuk meminta bantuan. Jika kalian tidak ingin identitas kalian diketahui, kalian bisa mencoba untuk mengirimkan email sebagai anonim. Setelah kalian bercerita, setelah dirasa waktunya tepat, kalian bisa memberitahukan identitas kalian.
Atau, kalian bisa mengirimkan surel kepada saya ke haranirankara@gmail.com. Saya mengenal beberapa komunitas dan LSM yang siap untuk membantu kalian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H