Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dear, Mom, I'm Sorry, I love You

16 November 2020   15:06 Diperbarui: 16 November 2020   15:15 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image: thegraphicsfairy.com

Ibuku tidak mengenal pendidikan formal, tidak pernah merasakan bermain bersama teman satu sekolah, bahkan tidak bisa membaca dan menulis. Ibuku tidak bisa mengajari Aku membaca, menulis, bahkan membantu mengerjakan PR sekolah. Yang Aku tau, Ibuku seorang wanita tangguh, pekerja keras, sehingga mampu membiayai pendidikanku hingga tamat Perguruan Tinggi. Darinya Aku belajar tentang perjuangan, ketulusan, tanggung jawab, dan belajar memaafkan.

Waktu Aku kecil, keluargaku merupakan satu-satunya keluarga miskin satu kampung. Tapi kemiskinan tidak membuat Ibuku menyerah. Beliau terus berjuang untuk mencari uang, agar anak-anaknya bisa makan, jajan, bersekolah. Perjuangan beliau begitu berat, mulai dari tukang cuci pakaian, hingga menjadi asongan di kereta api.

Dulu, ada salah satu orang (perempuan) yang memusuhi Ibuku. Dagangan Ibuku diludahi, dibanting. Ibuku saat itu hanya diam, memunguti dagangannya agar bisa dijual lagi. 

Esok harinya, Ibuku membuat sambal, yang sudah dicampur dengan potongan-potongan kecil silet. Budheku melihat dan bertanya, "untuk apa beliau membuat itu?"

Ibuku menjawab, katanya beliau sakit hati dengan perempuan yang sudah meludahi dagangannya. Oleh karena ulah wanita itu, anak-anaknya tidak bisa makan. Ibu ingin balas dendam dengan mengolesi wajah wanita itu dengan sambal yang sudah dicampuri potongan silet. Namun niat itu diurungkan, karena Budhe tidak mengizinkan.

Di lain waktu, seorang Kondektur kereta api memarahi Ibuku yang berjualan di dalam kereta. Ibuku diusir, dipukul wajahnya. Ibuku menangis, memberontak, kemudian menendang kemaluan Sang Kondektur. Ibuku berteriak, kalau anak-anaknya butuh makan sehingga beliau nekat untuk berjualan di dalam kereta api yang sedang berjalan. Ya, Ibuku rela berkelahi dengan lelaki demi memberi kami makan, agar kami bisa bersekolah.

Banyak. Banyak sekali hinaan yang diterima oleh Ibu, banyak sekali perjuangan yang dilakukan oleh Ibu untuk anak-anaknya. Bahkan, pernah sekali Ibuku ditawar oleh sesama asongan, untuk bersenggama di hotel. Namun Ibuku menolak dengan tegas, bahkan sampai mengumpat ke orang itu. Hingga pada akhirnya, Ibuku mendapat label "preman perempuan" dari sesama asongan, dari pegawai kereta api yang mengenal Ibuku.

Aku banyak sekali belajar dari perjuangan yang beliau lakukan, tak terhitung saking banyaknya. Darinya Aku juga mengenal tentang ketulusan.

Ketika Ibu menjumpai orang yang lebih membutuhkan, beliau tidak sungkan untuk memberikan beberapa produk dagangannya kepada orang yang membutuhkan. Bahkan hingga saat ini sudah memiliki warung makan sendiri, Ibu selalu berbagi dengan mereka yang hidupnya di jalan, kepada gelandangan, kepada pengemis, kepada siapa saja yang saat itu kelaparan.

Bahkan beliau tidak pernah membalas, tidak pernah dendam kepada tetangga satu kampung yang menghina keluarga kami. Ya, label keluarga termiskin satu kampung membuat Ibuku biasa menerima hinaan. Tapi setelah berhasil memiliki usaha sendiri, dengan penghasilan yang jauh lebih besar, Ibu tidak pernah membalas hinaan mereka. Bahkan kepada wanita yang hampir merebut Ayahku, yang hampir membuat Ibu meracuni anak-anaknya saking depresi menghadapi kenyataan bahwa suaminya lebih memilih wanita lain.

Ya, wanita itu seorang janda, tetangga kami sendiri. Mendiang Ayah lebih memilih membantu usaha rumah makan milik wanita itu, ketimbang usaha rumah makan milik Ibu. Uang yang Ayah terima tidak diberikan kepada Ibu, justru diberikan kepada wanita itu dan juga anaknya. Bahkan, uang THR pun Ibu tidak menikmatinya. Uang itu diberikan kepada wanita dan anaknya untuk membeli baju lebaran. Sedangkan Aku? Dua kakakku? Kami tidak dibelikan baju lebaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun