Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

"Jalur Alternatif" Menuju Seks

9 November 2020   19:54 Diperbarui: 9 November 2020   20:06 1094
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tujuan dari pacaran itu apa sih?", tanya seorang teman Saya ketika kami sedang berkendara menuju ke sebuah tempat. Dia melanjutkan, "kebanyakan orang itu beranggapan bahwa, ketika mereka sedang jatuh cinta, sama-sama jatuh cinta, berarti mereka harus pacaran, mempunyai status atas hubungan mereka. Padahal, asal muasal pacaran saja tidak jelas dari mana datangnya.

Kenapa harus berpacaran, siapa yang membuat pacaran itu menjadi tren?". Lucu, ketika lawan diskusi Saya waktu itu berkata bahwa pacaran bukan sebuah kebutuhan.

Saya mengatakan "lucu" bukan berarti Saya tidak setuju, tetapi pernyataan seperti itu sangat jarang Saya dengar dari seorang pemuda, yang biasanya sedang dalam masa mabuk kasmaran.

"Apa yang terjadi di dunia ini seperti tren, pacaran misalnya, merupakan fenomena atau bahkan merupakan sebuah rekayasa sosial." Jawaban yang Saya tujukan kepada teman Saya itu.

Orang (yang mempunyai agenda) di luar sana harus bisa menciptakan tren baru yang nantinya akan diikuti oleh banyak orang. Sedangkan bagi saya jawaban pacaran adalah kebutuhan merupakan lelucon konyol yang tidak akan pernah Saya lupakan.

Bagi saya, pacaran itu hanya seperti 'jubah' bagi nafsu. Tidak perlu dipungkiri bahwa, sesekali orang yang berpacaran itu akan memikirkan masalah selangkangan alias seks, walaupun hanya dalam imajinasi mereka. Maka dari itu, Saya selalu tertawa ketika mendengar bahwa pacaran merupakan kebutuhan. Kebutuhan apa? Kalau kebutuhan bagi seksualitas, Saya setuju.

Dosen saya pernah membuat thread singkat di kelas dengan tema pernikahan. Semua mahasiswa/i harus bisa menjelaskan atau memaparkan pemikiran mereka tentang pernikahan berdasarkan ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Jawaban teman-teman saya itu beragam, ada yang berbicara mengenai selangkangan, mengurangi beban hidup, suatu keharusan (dalam agama), dan bla bla bla.

"Tapi sebenarnya tujuan (aksiologi) dari pernikahan bukan tentang seks, melainkan saling berkomitmen." Kata dosen Saya. Atas dasar jawaban itulah saya menjawab pertanyaan dari teman ngopi Saya, "tujuan pacaran itu apa sih?".

Pacaran bagi Saya hanya membuang uang, tenaga, dan juga waktu. Banyak kasus orang melakukan sesuatu atas dasar dibutakan oleh cinta, akhirnya ia menyiksa dirinya sendiri untuk membuat pacarnya bahagia, merasa puas, merasa diutamakan. Padahal yang lebih utama, adalah hidupnya sendiri. Kemudian saya memberikan sebuah contoh kasus, yaitu diri Saya sendiri.

Sedari awal menjalin hubungan, Saya tidak pernah berniat untuk berpacaran, mempunyai status. Jika wanita yang Saya sukai sedang rindu dengan Saya, ada dua opsi yang Saya tawarkan padanya. Pertama, silahkan mengirimkan pesan atau menelpon. Kedua, silahkan berkunjung ke rumah Saya. Jika ia ingin mengajak Saya jalan, Saya juga bersedia untuk menemaninya.

Sedari awal sudah Saya tegaskan kepada wanita yang Saya sukai, bahwa 'status pacaran' bukan prioritas dalam hidup Saya. Jika ia menerima Saya apa adanya, Saya rela berkomitmen hingga aksiologi dari pernikahan benar-benar tercapai. Jika tidak berkenan, silahkan cari pria lain.

Ya, untuk urusan perasaan, Saya memang tegas karena ada pengalaman buruk ketika menjalin sebuah hubungan dengan wanita yang Saya sukai dulu. Beruntungnya, ia bersedia menerima Saya apa adanya dengan segala kegilaan berpikir yang Saya miliki. Dan itu sesuatu yang bagus, berarti Saya akan sangat bodoh jika akhirnya Saya memilih wanita lain.

Akhirnya kami berkomitmen, saling menjaga kepercayaan, dan berlangsung hingga hari ini.

Apa yang membuat Saya memiliki pemikiran yang berbeda dari kebanyakan orang? Itu karena, Saya tidak ingin konsentrasi Saya dalam menata masa depan terpecah hanya karena urusan cinta. Saya berpikir bahwa masih banyak hal yang harus lebih diprioritaskan daripada cinta, pacaran, yaitu "ke-aku-an".

Pernikahan butuh modal, untuk melanjutkan pernikahan berarti Saya harus memiliki karir yang bagus. Dan untuk mendapatkan karir yang Bagus, berarti Saya harus mewujudkan impian Saya dalam "ke-aku-an" itu.

Indonesia Tanpa Pacaran, Nikah Muda, Poligami, bagi Saya itu hanyalah sebuah pembodohan. Ada bukti yang sudah tersebar di media sosial, bahwa Indonesia Tanpa Pacaran tidak lebih dari sebuah dagangan yang mengatasnamakan agama. Pasangan kekasih dipaksa menikah untuk menghindari zina? Hahaha, are U fu*king kidding me?

Pernikahan tidak semudah membalikkan telapak tangan, karena ada banyak sekali aspek yang harus dipenuhi. Jika banyak orang nikah muda tapi tidak ada persiapan yang matang, maka "kemiskinan terstruktur" yang ada di Indonesia bukan isapan jempol belaka.

Saat ini sudah banyak suami yang melakukan poligami. Alasan yang paling umum? Yaitu soal kepuasan ranjang. Jika suami sudah merasa bosan dengan kenikmatan yang diberikan oleh istrinya, pasti dia akan mencari penyedia jasa kenikmatan, atau bahkan melakukan poligami. Atau yang paling sering yaitu, melakukan nikah siri.

Sedangkan mereka (yang berpoligami) sendiri tidak sanggup untuk menginterpretasikan aksiologi dari pernikahan, aksiologi dari poligami. Maka tidak heran, jika yang ada di benak mereka adalah melulu soal kepuasan, seks.

Orang-orang banyak yang dipaksa untuk menikah muda, atau bahkan poligami, sedangkan mereka belum sepenuhnya siap akan segala konsekuensi yang ada di depan mata mereka. Jika modal abab (omongan) saja, mereka pasti bilang "siap".

Tapi bagaimana dengan materi? Mental? Apakah mereka sudah siap dengan kebutuhan jasmani dan rohani itu? Lahir dan batin? Bahkan saya yakin, orang-orang yang memutuskan untuk menikah muda itu masih 'bergantung' ke orang tuanya masing-masing.

Apakah program syariah yang mereka tawarkan itu merupakan pilihan terbaik? Tentunya tidak, masih ada banyak pilihan yang lebih baik dari itu. Menahan kecabulan, misalnya. Hehehe. Karena memang pada dasarnya, anjuran berpoligami adalah diperuntukkan bagi mereka yang berkecukupan untuk menikah lagi dengan wanita miskin, disabilitas, janda miskin, sebatang kara, pokoknya yang hidupnya jauh di bawah kata layak dan cukup.

Oke mari kita kembali ke pembahasan awal soal pacaran.

Dalam banyak kasus, pacaran tidak akan lepas dari yang namanya "seks". Banyak pasangan muda-mudi yang melakukan hubungan intim, at least, ciuman bibir ketika mereka berpacaran. Dan sangat mustahil jika aktivitas menyatunya dua bibir itu lepas dari unsur nafsu. Jadi, bisa Simpulkan bahwa, berpacaran adalah salah satu "jubah" untuk menutupi kecabulan yang terselubung.

Kenapa Saya membahas perkara "receh" ini? Mungkin memang benar pacaran itu salah satu perkara receh, tapi yang perlu diingat adalah, bahwa seks merupakan kebutuhan biologis manusia yang harus dipenuhi (kecuali aseksual). Maka "pacaran" adalah salah satu jalan alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan itu.

Urusan seks, bukan lagi sebuah urusan yang tabu. Karena pendidikan mengenai seks, mutlak diperlukan bagi generasi muda agar terhindar dari sesuatu yang tidak diinginkan. Misalnya saja, tindakan asusila, pelecehan (verbal dan non verbal), hamil di luar nikah, hingga penyakit menular.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun