Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Merayakan Pengkhianatan

2 November 2020   22:00 Diperbarui: 2 November 2020   22:02 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa kawan melayangkan protes kepadaku. Mereka bilang Aku sudah berubah, tak menyenangkan seperti dulu. Mereka bilang Aku sudah acuh, tidak banyak bicara seperti dulu.

Mungkin mereka benar. Mungkin juga mereka salah. Diamku disebabkan oleh petaka. Diamku disebabkan oleh amarah. Diamku adalah sebuah petanda, bahwa Aku sudah muak menghadapi semua drama.

Ketika rentetan petir mematahkan semangatku, menggelegar mencabik seisi memori penuh karsa. Di saat itulah Aku benar-benar kecewa, menyaksikan betapa dahsyatnya sebuah ketulusan yang dibalas dengan dusta.

Ya, kamu-kamu yang dulu Aku percaya kini sudah hilang, musnah, tak tersisa oleh sebab murka hati yang dikhianati. Meluluhkan segala asa penuh kasih, menghancurkan tembok raksasa yang Aku bangun untuk persahabatan kita. Sebagai pembatas, sebagai penanda, bahwa kamu sekalian begitu istimewa, tak terganti walau diri ini dihujani dengan materi. Tapi apa daya? Mulut-mulut setan selalu saja menerka, membisikkan hasutan nakal untuk kalian tikamkan.

Ya. Tak ada yang bisa Aku harap dari hati yang sudah hancur berkeping-keping, pecah berantakan, berserakan di tengah kumpulan orang yang berlalu lalang. Terinjak-injak. Ditendang. Bahkan diludahi.

Aku berlutut, menyerok kaca-kaca kecil, menyulamnya hingga kembali berbentuk. Namun tetap saja cacat, tak akan pernah utuh, tak akan pernah kembali seperti dulu lagi.

Berkubik-kubik air mata jatuh membasahi bumi tragedi, menelanjangi setiap petaka yang datangnya tak berkesudahan. Aku hancur, tak mampu untuk berdiri. Tanganku memohon ampun, meminta lekas untuk diakhiri.

Kawanku, dengarkanlah. Ada saat di mana Aku harus diam. Ada saat di mana Aku harus menghindar. Dan ada saat, di mana Aku harus menyendiri.

Bercerita bla bla bla sudah tidak lagi Aku lakukan. Mengeluh bla bla bla sudah tidak lagi aku tunjukkan.

Lihatlah! Aku masih mencoba untuk berdiri, menyongsong kemurnian mimpi yang sebelumnya kalian tenggelamkan. Lihatlah! Aku masih bernafas hingga kini, berlari mengejar cita-cita yang dulu kalian tertawakan.

Kuucapkan terima kasih, beribu narasi bisa Aku ciptakan. Tapi tolong, jangan paksa Aku untuk kembali membuka pintu yang sudah lama Aku kunci.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun