Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menggelitik lewat Sarkastik

1 November 2020   18:36 Diperbarui: 1 November 2020   18:39 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image via ifpnews.com

Ada banyak cara dilakukan oleh orang untuk mengkritik suatu kebijakan, pernyataan, atau sikap dari orang lain. Salah satunya yaitu melalui sarkastik. Sarkasme atau sarkastik merupakan sebuah majas, yang digunakan untuk menyindir seseorang atau sesuatu. Sarkastik pun ada beberapa tingkatan, mulai dari sarkas yang bersifat normal (sesuai aturan), hingga sarkas yang bersifat menghina. Biasanya tingkatan sarkas yang seperti itu diidentikkan dengan dark joke.

Saya teringat dengan pernyataan teman Saya dulu, dia berkata "Sarkasme membuat orang bodoh menjadi semakin bodoh". Dan hal itu pun banyak Saya jumpai, ketika ada sebuah statement yang bersifat sarkastik, banyak orang merespon statement itu dengan reaksi yang beragam, dan juga berlebihan. Malah ada beberapa kasus yang Saya jumpai, ketika "orang bodoh" tidak tahu apa itu sarkasme, yang keluar justru umpatan hingga ancaman dari "orang bodoh" itu.

Lalu, konteks apa yang ingin Saya angkat pada artikel kali ini? Yang ingin Saya angkat yaitu, respon dari umat Islam terhadap majalah Charlie Hebdo yang bertujuan menyindir. Charlie Hebdo adalah surat kabar mingguan satir Prancis, menampilkan kartun, laporan, polemik dan lelucon. Secara nyaring non-konformis dalam penyuaraan, publikasi memiliki kecondongan sangat anti religius, sayap kiri, dan anarkis.

Sebenarnya kita sering menjumpai hal-hal yang berbau sarkasme/sarkastik/satire. Pada masa Orde Baru, banyak seniman yang melontarkan kritik terhadap Soeharto lewat sarkastik, salah satunya yaitu Iwan Fals melalui karyanya dalam bermusik. 

Pada masa pasca reformasi pun, kita masih sering menjumpai sarkastik lewat stand up comedy, srimulat, acara-acara lawak. Kita memberikan respon berupa "tawaan" atas sarkastik yang mereka tunjukkan. Namun kenapa kita justru merasa "kepanasan" atas apa yang dilakukan Charlie Hebdo melalui majalah sarkasnya? Inilah yang perlu dikaji lagi oleh kita semua, agar kita dapat menentukan tempat ketika melihat satire yang dilakukan dalam majalah Charlie Hebdo.

No no no. Kalian tidak bisa berkata dengan lantang bahwa sebuah agama tidak pantas untuk dijadikan bahan lelucon. Konteks yang ditunjukkan dalam Charlie Hebdo sudah sangat jelas, bahwa mereka menyindir personal yang beragama Islam. Bukan menyindir "Islam"nya. Ketika perilaku kejahatan seperti terorisme di luar sana semakin merajalela, peran dari aparat keamanan saja tidaklah cukup. 

Kita membutuhkan pendakwah, cendikiawan, akademisi, hingga orang-orang yang menggelitik lewat sarkastik. Karena apa? Target dari pemirsanya sudah jelas, yaitu masyarakat umum. 

Melalui sarkastik-sarkastik semacam itu, diharapkan masyarakat mampu menilai, memilah, "Apakah ajaran agama Saya seperti ini? Apakah perintah Tuhan Saya seperti ini?". Jika sikap kritis dimiliki oleh pembaca, pastilah mereka akan mendatangi pendakwah atau orang-orang yang mempunyai kapabilitas dalam hal agama, seraya meminta nasihat/pandangan dari sarkastik yang ditunjukkan dalam majalah Charlie Hebdo.

Jika apa-apa yang berkaitan dengan agama tidak boleh "digelitik", lalu, dengan cara apa kita harus menyadarkan mereka yang berperilaku menyimpang dalam urusan agama? Sedangkan cara paling mudah (menurut Saya) dalam mengkritik, yaitu dengan metode sarkastik. Karena dengan begitu, yang bersangkutan akan langsung tersinggung kemudian melontarkan respon. Entah melakukan tindakan hukum, ataupun pembelaan dengan macam alibi.

Jika semua hal yang menyinggung agama harus berakhir dengan kekerasan, pembunuhan, bedanya apa antara "Renaisans" dark age umat Kristen abad pertengahan dengan "umat Islam" pada abad ini? Peristiwa renaisans sudah membuktikan, betapa mengerikannya sebuah agama yang tidak boleh tersentuh walau pemeluknya berperilaku amoral. 

Ketika masa renaisans, banyak tindakan buruk yang dilakukan oleh mereka yang mempunyai agama (terlebih yang mempunyai otoritas khusus), untuk "membungkam" orang-orang kritis, yang menentang kebijakan gereja karena dianggap merugikan banyak pihak. Tentunya umat Islam saat ini tidak ingin disamakan dengan umat Kristen pada masa renaisans, kan? Maka dari itu, kita sebagai manusia yang mempunyai akal, wajib berpikir kritis atas satire yang dimuat dalam majalah Charlie Hebdo.

Agama merupakan sesuatu yang tidak berbentuk, tidak mempunyai rupa, bahkan tidak memiliki nyawa. Sedangkan apa yang membuat agama itu mempunyai bentuk sehingga bisa dinilai oleh semua orang? Tentu sikap dari masing-masing pemeluknya.

Sarkastik merupakan salah satu cara yang tidak umum dalam "menggelitik", maka dari itu banyak orang yang tidak mengerti apa itu sarkastik, mudah sekali untuk tersinggung. Terlebih, jika sudah menyangkut urusan agama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun