Ketika adzan subuh berkumandang, Aku mulai bangun dari tidurku dan bergegas ke dapaur. Setiap harinya Aku menanak nasi, memasak lauk sederhana untuk kami sarapan. Terkadang, ketika ada uang lebih, Aku membuatkan bekal untuk Altair. Lauk yang Aku buat tidak mewah, hanya telur dadar, sup bayam, dan tempe goreng. Untuk bekal Altair, kadang Aku membuatkannya martabak mi yang isinya Aku isi sosis. Hanya lauk sederhana itu yang bisa Aku persembahkan untuk Altair, agar ia tidak tersiksa menahan lapar sepulang dari sekolah.
"[Membangunkan Altair, menepuk kedua pipinya] Alta, hey wake up. It's six now, hurry." Alta pun bangun dan berkata, "Morning my hero [menguap dan mengucek kedua matanya]". Yup, setiap pagi seperti itulah kegiatan kami, berusaha menciptakan memori indah di tengah segala keterbatasan. "[merapihkan tempat tidur] Seragammu ada di atas meja makan, sudah kakak setrika. Jangan lupa cek lagi isi tasmu." Kataku. "Huh, bro. Alright." Jawabnya.
Ketika kami sudah siap berseragam dan sarapan, Aku memanfaatkan waktu yang sebentar ini untuk memberikan perhatian kepada Altair. Aku bertanya kepada dia bagaimana sekolahnya kemarin, sudah mendapatkan teman baru atau belum, lalu Aku bertanya tentang kondisi lingkungan di sekolah barunya. "[Masih melanjutkan sarapan] Everything's fine. Alta cuman butuh waktu untuk beradaptasi. Lagian anak-anak sepertinya tidak ada yang ngehe' kok." Jawabnya. Aku pun merasa lebih nyaman setelah mendengar jawaban itu. Aku ingin Altair mendapatkan banyak teman, menikmati masa remaja seperti orang lain. "[Selesai makan, mengambil tas] Almost late. Kakak berangkat dulu ya, see You soon." Ucapku. "Take care ya." Jawab Altair yang sedang menyelesaikan sarapannya.
After School
Ah, tidak banyak yang bisa Aku lakukan di sekolah. Aku hanya bisa berdiam di kelas, bahkan ketika jam istirahat. Uangku menipis, sehingga Aku harus berhemat agar bisa tetap bertahan hidup. Seseorang tiba-tiba menghampiriku di kelas, ketika sedang jam istirahat. Namanya Ema, teman satu kelasku. "[Duduk di sebelahku, mengagetkanku yang sedang tidur dengan suara khasnya] Yuhuuuuu, my dear Kay." Ucap Ema. Aku yang kaget sontak langsung bangun dari tidur yang sebentar ini. Tiba-tiba Ema menyuapiku bakso goreng yang sudah dilumuri saos pedas. Ema melihatku kepedasan, langsung menyodorkan es teh yang dikemas dalam cup. Aku pun meminum es itu, dengan nyawa yang masih belum terkumpul.
Ema gadis yang baik, pintar pula. Rambutnya yang diikat seperti Sailormoon, membuatku selalu merasa gemas ketika melihat sosoknya. Terkadang Ema membelikanku makanan, terkadang sengaja membagi bekalnya kepadaku. Sebenarnya Aku malu untuk menerima kebaikannya, tapi, Aku tidak bisa berdamai dengan rasa lapar dan hausku yang akhirnya membuatku menerima kebaikannya. "Kamu pasti lapar kan? Nggak punya uang buat jajan ya? Ulu ulu kasian, unch." Ledek Ema. "Kok tau, Em?" jawabku. "[menyodorkan kaca kecil ke mukaku] Liat tuh, di jidadmu ada tulisan fakir miskin." Ledeknya lagi. Walaupun perkataannya ceplas-ceplos, tapi Aku tidak pernah sedikitpun merasa tersinggung. Justru Aku membutuhkan sosoknya sebagai penghibur pada kehidupanku yang sepi. "Berak sekebon", responku.
Setelah jam sekolah berakhir, Aku langsung menuju warung Bu Dari untuk bekerja. Bu Dari sangat ramah kepadaku, begitu pula dengan suaminya. Dan orang-orang yang membeli dagangannya pun, sudah mengenalku. Sesampainya di sana, Aku langsung melepaskan seragam sekolahku dan memakai kaos oblong berwarna biru tua dan juga kolor hitam. Aku langsung bergegas mencuci piring yang sudah menumpuk di tempat cucian piring. Bu Dari yang melihatku sedang mencuci piring, menegurku dari belakang. "Makan dulu Kay, biar ibu yang mencucinya. [Mendekatiku, memaksaku untuk makan terlebih dahulu] Sana makan dulu." Ucap Bu Dari. Aku pun mengiyakan permintaan pemilik warung dan langsung mengambil nasi beserta lauk untuk Aku makan. Bu Dari yang telah selesai mencuci piring, datang menghampiriku sembari membawakan segelas es teh dan bertanya, "Alta sudah kamu siapkan makanan di rumah?". "Tadi pagi sudah Kay kasih bekal untuk makan siang di sekolah Bu." Jawabku. "Ya sudah, ini rokokmu [meletakkan sebatang rokok filter di depanku, kemudian kembali ke dapur]", ucap beliau. "Makasih bu." Jawabku.
Ya, memang benar Aku masih kelas 3 SMP. Tapi lingkunganku saat ini berisikan orang-orang dewasa, akrablah Aku dengan yang namanya rokok. Kadang suami beliau (Pak Ilyas) memberikanku sebungkus rokok filter, kadang memberikan uang tambahan untukku. Mereka begitu baik, Aku merasa seperti mempunyai orangtua di sini. Sungguh sensasi yang selama ini tidak Aku dapat. Merasakan kehadiran orangtua walau bukan kandung, namun sosok mereka sangat berharga dalam hidupku.
"[Suara Bu Dari yang berasal dari dapur] Besok warung libur 2 hari ya Kay? Ibu ada urusan yang perlu diurus." Kata beliau. "Siap Komandan", jawabku yang diiringi tawa oleh Bu Dari. Aku memang suka berkata konyol ketika di sini, untuk mencairkan suasana. Aku juga sering bercanda dengan beberapa pembeli, agar mereka semakin sering untuk membeli dagangan Bu Dari.
Entah mengapa, banyak pembeli yang merasa cocok denganku ketika Aku layani mereka. Keberadaanku di ini cukup tenar, banyak orang mengenal namaku. Atau mungkin karena suatu hal lain? Kebanyakan dari mereka selalu memberikan pujian kepadaku, mulai dari orang yang humoris, berparas menawan, berpostur tinggi, berkulit putih, dan berbau wangi. Ya, Aku memang selalu memakai lotion tubuh agar badanku harum. Hal ini Aku lakukan juga karena Aku adalah seorang penjual jasa, yang artinya harus memperhatikan penampilan agar pembeli merasa nyaman ketika sedang Aku layani.
Setelah seharian bekerja, Aku pun pulang. Tapi sebelum itu, Bu Dari memberikanku 2 liter beras, kg telur, dan beberapa bumbu dapur. Beliau memberiku bahan pangan karena esok warung libur selama 2 hari. Beliau begitu perhatian kepadaku, sehingga memberikan sembako untuk kebutuhanku selama 2 hari. Sungguh malaikat bagiku, kehadiran sosok Bu Dari begitu membantuku dalam bertahan hidup. Aku pun mengucapkan terima kasih, dan langsung bergegas pulang ke rumah.