Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Upah, Kebijakan Luar Negeri, dan Perjanjian Perdagangan Internasional

27 Oktober 2020   20:07 Diperbarui: 27 Oktober 2020   20:20 185
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada kabar yang cukup mengejutkan bagi para pekerja di Indonesia, dikatakan bahwa pada tahun 2021, tidak ada kenaikan Upah Minimun Provinsi (UMP). Dilansir dari laman Viva, diberitakan sebelumnya, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah memutuskan untuk tidak menaikkan Upah Minimum Tahun 2021. Keputusan itu tertuang dalam Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 11/HK04/X/2020 tentang Penetapan Upah Minimum tahun 2021 pada Masa Pandemi COVID-19.

Dikutip dari surat edaran tersebut, Menaker menjelaskan bahwa pandemi COVID-19 telah berdampak pada kondisi perekonomian dan kemampuan perusahaan dalam rangka memenuhi hal pekerja/buruh termasuk dalam hal membayar upah. Dalam rangka memberikan perlindungan dan kelangsungan usaha, perlu dilakukan penyesuaian terhadap penetapan upah minimum pada situasi pemulihan ekonomi di masa pandemi COVID-19. Atas dasar itu, Menaker meminta kepada gubernur di seluruh Indonesia untuk menyesuaikan penetapan Upah Minimun Tahun 2021 sama dengan Upah Minimum Tahun 2020. Dengan kata lain, tidak ada kenaikan Upah Minimum.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati merespons isu terkait tidak naiknya upah minimum provinsi (UMP) pada 2021. Sri mengakui bahwa saat ini daya beli masyarakat sangat rendah tergambar dari kondisi inflasi yang sangat rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka inflasi hingga September 2020 hanya mencapai 1,86 persen secara tahunan. Jauh di bawah target pemerintah dan Bank Indonesia di level 3 plus minus 1 persen.

Tapi, Sri menegaskan, pemerintah saat ini tengah mencari titik keseimbangan antara kepentingan untuk menjaga daya beli masyarakat dengan kenaikan upah, serta dari sisi keberlangsungan neraca keuangan perusahaan. "Sektor usaha masih dalam situasi yang sangat tertekan dan masyarakat juga tertekan, sehingga kita harus sama-sama jaganya supaya bisa pulih dengan tidak menimbulkan trigger yang menimbulkan dampak negatif," tuturnya.

Oleh sebab itu, dia menegaskan pemerintah menggunakan instrumen fiskal, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk mengimbangi kebijakan tidak menaikkan upah minimum 2021.

Kenaikan upah merupakan salah satu hal yang ditunggu dan diinginkan oleh para pekerja. Namun, dengan kondisi seperti sekarang ini kita diharuskan untuk mengambil langkah bijak. Wabah Covid-19 telah membuat perekonomian banyak negara berantakan, termasuk Indonesia. Tak hanya itu, banyak negara juga dipusingkan oleh bayang-bayang resesi. Bahkan, ketegangan antara Amerika dan China dalam perang dagang pun, patut diperhatikan agar Indonesia tidak salah langkah dalam kebijakan luar negerinya.

Saya memang bukan seorang pekerja yang menerima upah per bulan ataupun harian, tetapi Saya pernah merasakan bekerja sebagai buruh di salah satu perusahaan manufacturing terbesar di Indonesia. Memang, gaji Saya saat itu terbilang cukup besar. Namun Saya akan menganalogikan menerima gaji pas-pasan guna keperluan artikel ini.

Apa sih, masalah sederhana tapi memusingkan bagi para pekerja? Khususnya bagi mereka yang merantau? Gaji yang kita terima tidak akan cukup sampai akhir bulan. Faktor yang membuat kekurangan itu ada banyak, beberapanya adalah: uang kos, konsumsi, transfer uang ke kampung halaman, hingga cicilan kredit. Disinilah letak manajemen keuangan berfungsi, karena jika kita tidak bisa mengatur keuangan di saat pendemi seperti sekarang, kita malah akan terjebak ke dalam pusaran utang.

Katakanlah Saya bergaji UMP DKI Jakarta sebesar Rp 4.276.000. Karena Saya seorang anak kos, maka Saya tidak berbelanja sayuran guna memasak. Maka dengan membeli nasi bungkus adalah cara paling sederhana. Saya alokasikan uang sebesar Rp 40.000 untuk makan satu hari, berarti dalam sebulan Saya harus mengeluarkan uang sebesar Rp 1.170.00. Perkiraan biaya makan bisa lebih sedikit, karena sebagai pekerja, pastilah disediakan uang makan oleh perusahaan. Untuk uang kos misalkan Rp 600.000, cicilan kredit Rp 1.000.000. Misalkan Rp 500.000 untuk pegangan Saya, untuk orangtua di kampung Rp 1.000.000. Total anggaran selama satu bulan sebesar Rp 4.270.000.

Secara garis besar, apa yang Saya tulis merupakan sebuah teori, tetapi teori berdasarkan pengalaman selama 2 tahun merantau di Jakarta. Total biaya itu masih bisa ditekan jika kita mampu mengelola keuangan, dan masih bisa mendapatkan uang tambahan dari uang transport yang diberikan oleh perusahaan.

Dalam masa serba sulit ini, kita diharuskan bersyukur karena masih mempunyai pekerjaan. Di luar sana masih ada jutaan pengangguran, ribuan buruh yang kena PHK. Dan, banyak juga pekerja yang hanya diupah setengah dari nominal gaji sebelum efek pendemi.

Tapi Pemerintah juga harus ikut berperan, bagaimana caranya untuk menekan harga jual sehingga pekerja yang upahnya tidak naik, tidak dibuat kerepotan oleh kenaikan harga kebutuhan. Neraca perdagangan negara kita harus distabilkan, guna mencegah defisit neraca perdagangan. Penyebab surplus atau defisitnya sebuah neraca, ada beberapa faktor, salah satunya adalah industri ekspor dan impor. Maka dari itu, kebijakan luar negeri berperan penting guna menekan angka inflasi.

Perihal masalah kebijakan luar negeri, Indonesia jangan hanya condong ke China, namun harus balance dengan "berteman" dengan barat. Bukannya Saya menyuruh negara ini untuk bergantung dari negara lain, namun ada satu perjanjian yang tidak bisa diingkari mengenai kebijakan perdagangan luar negeri.

Pada bulan Agustus tahun 2018, Indonesia dijatuhi sanksi oleh World Trade Organization (WTO) sebesar 350 juta US$ atau setara 5 triliun rupiah (kurs saat itu). Hal itu diakibatkan oleh sikap Indonesia yang melanggar perjanjian perdagangan internasional dengan Amerika Serikat.

Kasus ini bermula pada tahun 2016. Saat itu, Indonesia telah menerbitkan 18 aturan yang dianggap sebagai hambatan non-tarif untuk sejumlah produk pertanian dan peternakan asal Amerika Serikat dan Selandia Baru. Beberapa produk impor tersebut yaitu diantaranya apel, anggur, kentang, bawang, bunga, jus, buah-buah kering, hewan ternak, ayam dan daging sapi.

Indonesia beralasan penerapan aturan ini bertujuan untuk melindungi petani dan peternak lokal. Sebaliknya, Amerika dan Selandia Baru menilai aturan tersebut tidak sesuai dengan Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan yang disepakati antar anggota WTO.

Kenapa Indonesia mendapatkan sanksi? Karena Indonesia menjadi salah satu anggota dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) atau Perjanjian Umum Tarif dan Perdagangan. Oleh sebab itu, Pemerintah Indonesia diharapkan untuk tidak salah langkah dalam menyikapi perang dagang antara Amerika Serikat dan China.

Demikian artikel ini dibuat guna memberikan kritik serta solusi bagi semua pihak yang terlibat. Terima kasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun