Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Cacat Logika Kepala BKPM yang Menyebut Mahasiswa Lulus Kuliah Jadi Pengusaha

22 Oktober 2020   17:20 Diperbarui: 22 Oktober 2020   17:24 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Undang-undang ini menjamin adek-adek setelah lulus kuliah menjadi pengusaha, dengan kemudahan yang ada pada undang-undang ini," ucap Bahlil selaku Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kamis (22/10) ketika membahas masalah Omnibus Law yang saat ini tengah menuai protes keras dari berbagai elemen masyarakat.

Dalam laman yang Saya kutip dari Tempo, untuk usaha mikro kecil (UMK), kata Bahlil, hanya perlu nomor induk berusaha (NIB). Semua itu diakses secara elektronik melalui online single submission atau OSS. Bahlil menjelaskan, jumlah tenaga kerja yang ada saat ini sekitar 7 juta, mulai dari Aceh sampai Papua sedang mencari lapangan pekerjaan. "Sedangkan angkatan kerja per tahun sekitar 2,9 juta," katanya. Menurut dia, belum lagi kondisi pandemi Covid-19 yang memberikan dampak bagi pekerja.

Berdasarkan data yang ada, kata Bahlil, total lapangan pekerjaan yang perlu disiapkan pemerintah sekitar 15 juta untuk memberikan solusi bagi 15 juta pencari pekerjaan ini. Maka negara harus menciptakan lapangan pekerjaan. Namun, ia berujar, tidak mungkin seluruhnya akan terserap lewat penerimaan Pegawai Negeri Sipil (PNS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Tentara Nasional Indonesia, maupun Polisi Republik Indonesia.

Oleh karena itu, menurut dia, harus satu konsep dasar bahwa untuk menciptakan lapangan pekerjaan tersebut harus melalui sektor swasta. "Instrumen sektor swasta inilah yang dimaksud dengan investasi karena investasi ini dapat menciptakan lapangan pekerjaan," tutur Bahlil.

Mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), itu menyatakan, bonus demografi di depan mata. Pada 2030 sebanyak 60 persen penduduk Indonesia adalah usia produktif. "Bayangkan kalau negara tidak hadir memberikan ruang bagi mereka dalam konteks regulasi," ujar dia.

Dalam postingan di media sosial itu, Bahlil menegaskan bahwa UU Cipta Kerja tidak hana investasi hanya pro kepada pengusaha-pengusaha besar. Ia menuturkan, terkait lapangan pekerja baik besar maupun kecil semuanya akan difasilitasi. Menurut dia omnibus law menjamin mahasiswa setelah kuliah menjadi pengusaha.

Sebenarnya, apa yang membuat pernyataannya cacat? Jawabannya adalah, karena Bahlil lupa, bahwa persoalan bagi calon pengusaha bukan hanya terletak pada regulasi berusaha. Persoalan itu harus dilihat juga dari segi modal, skill, pengetahuan, hingga minat lulusan perguruan tinggi.

Seperti yang kita ketahui, siswa dan mahasiswa dipersiapkan untuk memasuki dunia kerja. Yang artinya, edukasi soal berusaha/investasi sangat minim. Mereka lebih dibebankan pada mata pelajaran/mata kuliah yang sebenarnya tidak terlalu penting dalam dunia pekerjaan. Sehingga ketika sudah memasuki dunia kerja, banyak ilmu selama pendidikan yang tidak terpakai. Inilah yang harus dijadikan catatan oleh Kemendikbud, karena biar bagaimanapun, pendidikan skill serta pengembangan minat dalam dunia pendidikan lebih penting, ketimbang harus membebankan siswa/mahasiswa dengan pelajaran-pelajaran yang selalu diulang. Penyederhanaan kurikulum juga berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia dalam dunia pendidikan.

Yang berikutnya yaitu modal. Dari pengalaman bertemu dengan orang-orang baru yang sedang menempuh pendidikan atau sedang mencari pekerjaan, rata-rata mereka mengatakan hal yang sama, yaitu tidak ada modal. Maka dari itu, mereka memilih untuk mencari pekerjaan sembari mengumpulkan modal. Bantuan semacam KUR memang ada, namun sayangnya bersifat kontradiksi. Kenapa bisa kontradiksi?

Lulusan baru mencari modal lewat bank, sedangkan pihak bank mengajukan syarat SIUP. Untuk mengurus SIUP, pihak kelurahan membutuhkan data usaha seperti nama usaha, alamat, nama pemilik, laba bersih, dll. Coba pikir, bagaimana tidak kontradiksi? Mereka saja tujuan mengajukan KUR untuk membuka usaha, bagaimana ceritanya dimintai SIUP sedangkan usaha mereka belum mempunyai bentuk? Inilah kontradiksi yang Saya maksud.

Permasalahan lain yaitu skill. Banyak calon pengusaha kecil yang asal membuka usaha, tanpa mengetahui skill mereka dibidang apa. Dan alhasil, usaha mereka kolaps karena tidak adanya skill dalam usaha yang mereka miliki. Selain skill, calon pengusaha juga membutuhkan pengetahuan seputar perdagangan. Karena jika mereka tidak mempunyai wawasan yang cukup, mereka akan kesulitan dalam mengelola keuangan, memetakan pasar, mencari target, hingga salah menentukan lokasi usaha yang tepat. Alih-alih untung dan berkembang, yang adalah malah mereka akan mengalami krisis keuangan yang menyebabkan usaha mereka gagal. Hal ini sangat disayangkan jika calon pengusaha asal 'nekat' terjun ke dunia usaha.

Risiko kegagalan dalam berusaha masih mending, jika mereka mendapatkan modal dari orangtua tanpa utang. Namun bagaimana jika modal itu didapatkan dengan cara utang ke rentenir karena susahnya akses kredit ke bank? Mereka malah akan semakin terbebani dengan mempunyai tanggungan utang yang harus segera dilunasi. Alih-alih mendapatkan laba, yang ada mereka malah akan menjual asset demi menutup utang. Entah dengan menjual sepeda motor, atau menutup utang dengan utang yang baru.

Yang terakhir adalah minat. Lulusan baru harus dipetakan sesuai minat mereka masing-masing. Karena jika semuanya diarahkan ke bidang usaha, tanpa dibarengi dengan pendampingan, mereka akan kelimpungan. Sedangkan kita tahu sendiri, banyak lulusan baru yang lebih tertuju kepada CPNS maupun kerja di kantoran. Kenapa bisa seperti itu? Lagi-lagi kultur sosial yang berperan dalam pembentukan mindset itu.

Kepala BKPM mengeluarkan pernyataan seperti itu, mungkin memang bakat dan minat dia untuk jadi pengusaha. Namun dia lupa, bahwa persoalan untuk menjadi seorang pengusaha bukan hanya masalah regulasi, tetapi ada sekelumit permasalahan kompleks yang membuat lulusan baru 'ogah' untuk memulai usaha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun