Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tips Hidup Waras di Zaman Edan

21 Oktober 2020   20:16 Diperbarui: 21 Oktober 2020   20:19 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image via hindustantime

Ada 5 sabda Buddha dalam artikel itu, yang pertama adalah belajar dari pengalaman hidup walau pengalaman itu teramat pahit. Menurut Saya, sabda pertama itu benar. Kita harus bisa mengambil pelajaran dari sebuah pengalaman, bahkan dari pengalaman hidup orang lain. Karena dengan begitu, kita mampu memilah, membatasi hal-hal apa saja yang harus kita lakukan agar pengalaman pahit tidak terulang kembali. Yang kedua adalah, jangan cemas menghadapi proses kehidupan. Dalam artikel Saya yang berjudul "Awas! Kesalahan Berpikir Bisa Berakibat Fatal", sudah Saya jelaskan mengenai konsep hidup orang Jawa "nrima ing pandum". Konsep hidup itu berkaitan dengan sabda yang kedua, karena menurut hemat Saya, kita diharuskan untuk dapat berdamai dengan kenyataan, sehingga kita tetap bisa melanjutkan hidup tanpa beban psikis atas sebuah peristiwa yang menimpa hidup kita.

Yang ketiga, jangan sia-siakan hidup yang singkat ini. Benar, kita tidak boleh membuang waktu produktif kita dengan rebahan saja. Banyak hal yang dapat kita kerjakan, yang bermanfaat bagi kita dan orang lain. Jika kalian masih saja stuck di satu tempat (kaum rebahan) tanpa ada niatan untuk berubah, maka perlu dipertanyakan fungsi kalian hidup itu untuk apa. Kreativitas itu tak mengenal batas, tak memandang usia, tak memandang agama, tak memandang tingkat pendidikan, tak memandang gender, tak memandang orientasi seksual, dan banyak lagi yang lainnya. Maka dari itu, jangan sia-siakan hidup yang singkat ini.

Yang keempat adalah, berpikirlah secara dhamma. Dhamma berasal dari bahasa Pali yang berarti hukum atau aturan dalam agama Buddha. Mari kita hilangkan kata "agama Buddha" agar konteks yang Saya angkat bisa diterima oleh semua kalangan masyarakat. Kita dianjurkan untuk berpikir, menggunakan anugerah yang kita miliki sebagai ras yang unggul di bumi. Ketika kita sudah mengerti apa itu aturan, batasan, maka kita perlu pusing lagi dalam bertindak maupun berpikir.

Aturan dibuat tentunya untuk menyelaraskan kehidupan manusia, terutama dalam sosial (Saya menyarankan kepada pembaca agar tidak mengkaitkan aturan dalam Buddha dengan aturan dalam negara yang serat akan kepentingan politik). Saya analogikan, kehidupan kita saat ini berada sebelum terbentuknya sebuah kerajaan maupun negara. Dalam hidup yang kita jalani, tentu diperlukan aturan agar sesama manusia tidak terjadi pergesekan, yang akhirnya akan menimbulkan konflik. Maka logika sederhananya dhamma dalam Buddha adalah, kita harus hidup dengan konsep "tidak merugikan orang lain, berbuat baik kepada semua makhluk hidup." Karena jika konsep itu diterapkan (bahkan pada abad ke 21 ini) kehidupan manusia akan harmonis, minim konflik. Dan akhirnya? Salah satu tujuan hidup dapat terpenuhi.

Yang terakhir, jadikanlah Tiratana sebagai tempat berlindung. Kata Tiratana terdiri dari kata Ti, yang artinya tiga dan Ratana, yang artinya permata / mustika; yang maknanya sangat berharga. Jadi, arti Tiratana secara keseluruhan adalah Tiga Permata (Tiga Mustika) yang nilainya tidak bisa diukur; karena merupakan sesuatu yang agung, luhur, mulia, yang perlu sekali dimengerti (dipahami) dan diyakini oleh umat Buddha. Mari Saya universalkan agar tidak terlalu simbolis dengan agama Buddha.

Pada paragraf pembuka sudah Saya singgung mengenai peran seorang guru ketika kita hendak mempelajari suatu bidang ilmu. Maka bisa dianalogikan bahwa Buddha pada mustika yang pertama adalah seorang guru (atau sesuai kepercayaan masing-masing), karena peran seorang guru sangat penting dalam kehidupan yang akan kita jalani. Mustika yang kedua adalah Dhamma, yang jika Saya universalkan berarti aturan guna terciptanya kehidupan yang harmonis, dinamis, berkesinambungan. Mustika yang ketiga adalah Sangha, yang diartikan sebagai pelindung atau pengawal dari Dhamma.

Lalu, bagaimana Sangha versi Saya? Sangha versi Saya yaitu realistis. Dalam memandang dan memaknai sebuah aturan, kita diharuskan untuk bersikap realistis. Apakah aturan itu relevan atau tidak, bertentangan dengan aturan yang lain atau tidak, bersifat merugikan atau tidak. Ketika kita sudah terbiasa berpikir realistis, kita tidak akan mudah terpengaruh dengan segala kegilaan yang sedang terjadi pada abad ini.

Demikianlah konsep hidup yang bisa Saya sharing, dan semoga bermanfaat bagi pembaca semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun