Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tips Hidup Waras di Zaman Edan

21 Oktober 2020   20:16 Diperbarui: 21 Oktober 2020   20:19 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image via hindustantime

"Benda yang kosong menimbulkan suara (bising), sedangkan yang penuh selalu tenang.  Orang dungu bagaikan tabung yang terisi setengah, orang bijak bagaikan kolam dalam yang tenang." (Sutta Nipta 721)

Dalam menjalani kehidupan ini, kita dihadapkan pada persoalan yang kompleks. Dibenturkan oleh banyak pilihan, menghadapi kenyataan pahit yang datangnya bisa kapan saja, hingga hidup dalam bayang-bayang kematian. Kita seringkali lupa, tujuan hidup yang kita jalani saat ini sebenarnya apa dan untuk siapa? Apakah kita hidup hanya sekedar makan, minum, bekerja, berumah tangga, mempunyai keturunan, atau lebih dari sekedar itu? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang selalu muncul dan berhasil mengusik pikiranku hingga saat ini, membuat buyar segala rencana yang sudah lebih dulu Saya persiapkan.

Problematika hidup yang terjadi hingga saat ini, tidak terlepas dari miskonsepsi terhadap arti hidup yang sesungguhnya. Dulu, ketika Saya belum mengenal apa itu spiritualitas, apa itu filsafat kehidupan, Saya seringkali memprotes setiap masalah yang menimpaku. Beragam nota keberatan Saya layangkan kepada Tuhan, yang katanya pengatur seluruh kehidupan. Saya menyayangkan takdir (masalah yang saat itu menimpa) karya Tuhan yang dialamatkan kepadaku, hingga membuat diri ini dikuasai oleh emosi.

Memang benar, rasanya sangat menyakitkan ketika kita menghadapi sebuah fakta yang jauh dari ekspektasi. Membuat kita seolah manusia lemah, tidak beruntung, dan dipaksa menerima fakta pahit tanpa perlu mempertanyakannya. Banyak dari kita yang ketika tertimpa masalah, selalu berpasrah tanpa usaha untuk membalikkan keadaan. Orang-orang yang semacam itu sebenarnya bijak, namun kebebasannya terenggut oleh 'takdir' yang sebenarnya menipu.

Bertahun-tahun Saya mencoba mencari jawaban, mempelajari bidang ilmu yang kebanyakan disepelekan oleh banyak orang. Bahkan, ada kelompok dari beberapa agama yang menentang keras bidang ilmu yang sedang Saya dalami. Karena bagi mereka, mempertanyakan kuasa Tuhan adalah haram hukumnya, dan akan berakhir dengan siksaan neraka. Banyak juga orang yang berkata bahwa Saya ini gila, mempertanyakan dan mencari jawaban yang sudah pasti tidak bisa dilogika. Bahkan Saya pun sempat mengalami, rasa pusing di kepala yang bertahan selama lebih dari satu minggu. Rasa pusing itu berasal dari segala pertanyaan yang belum Saya temukan jawabannya, yang dipantik oleh buku-buku aliran filsafat yang sedang Saya baca.

Memang benar, mempelajari Qur'an itu memerlukan seorang guru. Begitu juga dengan belajar filsafat, terutama filsafat kehidupan. Tanpa seorang guru yang mendampingi, kita akan kehilangan arah, kehilangan kontrol, dan bisa membuat kita menjadi gila. Tapi untungnya Saya mempunyai seorang guru spiritual, yang walaupun banyak persepsi berbeda di antara kami, beliau masih saja menerimaku sebagai murid. Tapi kalau soal konsep hidup, kami mempunyai satu pandangan yang sama.

Sebenarnya, apa sih tujuan kita hidup? Dan untuk siapa kita hidup? Jawaban dari pertanyaan itu seharusnya sudah ketemu, jika kita mengetahui apa yang disebut dengan manusia. Dalam pelajaran sosial, kita sudah tahu bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang artinya membutuhkan orang lain dalam hidup yang kita jalani. Begitupun sebaliknya, kita harus berguna bagi orang lain agar tercipta kedinamisan dalam hidup yang kita jalani.

Kalimat pada awal paragraf artikel ini berasal dari kitab suci Buddha, sutta dalam Khuddaka Nikaya, bagian dari Kanon Pali dari Buddhisme Theravada. Kenapa Saya mengutip dari Buddha? Apakah Saya seorang Buddhisme? Bukan, Saya bukan seorang Buddhisme. Tetapi Saya banyak setuju dengan ajaran Buddha dan mengimplementasikannya dalam kehidupan Saya. Saya mengutip salah satu sutta dalam artikel ini karena, menurut Saya ada hal yang menarik yang perlu Saya share dalam artikel kali ini. Terutama yang berkaitan dengan tujuan dan konsep hidup sebagai seorang manusia.

Ada salah satu artikel menarik yang Saya baca, yang berisi tentang pertanyaan-pertanyaan seputar kehidupan. Dalam artikel itu disebut, bahwa Buddha mengajarkan kita untuk bersikap realistis dalam kehidupan ini. Ya, persis seperti apa yang menjadi salah satu pedoman Saya dalam hidup, yaitu bersikap realistis.

Kita tidak bisa memaksakan idealisme yang kita miliki agar bisa diterima oleh orang lain, dan kita tidak bisa menciptakan sebuah peradaban atas dasar idealisme yang kita miliki. Kita coba lihat dari kitab suci semua agama. Isi yang terkandung dalam kitab suci itu harus relevan dengan perkembangan jaman. Karena jika tidak, agama itu akan ditinggalkan oleh pemeluknya. Manusia yang hidup di dunia ini bukan satu orang saja, tapi ada banyak. Maka teramat mustahil bagi kita untuk memaksakan idealisme kita agar diterima oleh orang lain, karena pada sejatinya, tiap manusia bebas menentukan pilihan dalam hidup mereka. Maka dari itu, pikiran realistis harus kita miliki guna keberlangsungan kehidupan kita.

Guru Buddha tidak menampik bahwa ketika seseorang sehat, dipuji,  beruntung, memiliki materi adalah kebahagiaan, tetapi Beliau pun mengatakan bahwa kebahagiaan tersebut tidak bertahan lama. Perubahan akan terjadi sewaktu-waktu dan kita tidak bisa menghindari perubahan itu. Umumnya orang berharap bisa menggenggam erat apa yang sudah dimiliki yang utamanya adalah hal-hal yang menyenangkan, dan juga menolak dengan keras ketika harus berhadapan dengan hal yang tidak menyenangkan. Saat itulah manusia jauh dari kebahagiaan karena suasana batinnya menjadi kacau (dhammacakka.org).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun