Sekarang bayangkan, untuk apa masyarakat giat memutarkan uang jika masih dihantui oleh Covid 19? Hal ini pun dibuktikan dengan banyaknya uang milik orang kaya yang justru mengendap di bank, sehingga membuat ekonomi Indonesia semakin lesu.
Laman Detik Finance pada Rabu (14/10) memuat berita yang berjudul "Pantas Ekonomi Lesu, Duit Orang Tajir RI 'Nganggur' Rp 373 Triliun". Kepala Ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro mengatakan, "Kalau dari data perbankan, ini kami baru mencoba lihat data per Agustus, itu kalau dilihat dari data penabung meningkat pesat.Â
Kalau hitungan kami secara industri, DPK (Dana Pihak Ketiga) tahun ini bisa tumbuh di atas 8%, padahal kredit maksimal hanya 1,5%." Ungkapnya dalam acara Webinar Bincang APBN 2021, selasa (13/10). Andy mencatat, untuk tabungan di atas Rp 5 miliar itu sudah naik Rp 373 triliun year to date.Â
Jadi, kalau dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, hanya Rp 115 triliun. Menurutnya, penabung di atas Rp 5 miliar itu berasal dari kategori nasabah institusi dan individu.Â
Meningkatnya tabungan para miliarder itu mengindikasikan bahwa masyarakat menengah ke atas, saat ini lebih memilih mengamankan uangnya. Ketika orang kaya engga berbelanja, roda ekonomi sulit berputar, dan akhirnya masyarakat kalangan bawah semakin terpuruk.
Fakta bahwa kalangan orang kaya lebih memilih untuk mengamankan uangnya, menunjukan bahwa seharusnya Pemerintah lebih menekan angka penyebaran Covid 19 ketimbang menggenjot Omnibus Law.Â
Karena seperti yang Saya katakan tadi, mau seringkas apapun regulasi investasi, jika masalah pokoknya (Covid 19) tidak kunjung diselesaikan, maka keadaan akan sama saja. Karena menurut Saya, investor lebih mahir dalam melihat potensi riskan dalam investasi yang akan mereka lakukan. Dalam konteks ini, semakin terlihat jelas betapa kacaunya pemerintahan Jokowi dalam membuat kebijakan jangka panjang.
Kritikan yang berikutnya muncul dari Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance, Tauhid Ahmad. Tauhid menganggapi hasil survey dari TMF Group yang menempatkan Indonesia sebagai negara yang paling rumit untuk urusan bisnis berdasarkan Indeks Kompleksitas Bisnis Global (GBCI) 2020.Â
Dia menilai, selama ini sistem perizinan investasi satu pintu (single online submission) tidak efektif. Tauhid menyebut bahwa Badan Koordinasi Penanaman Modal sebagai penanggung jawab OSS, tidak mampu menghadirkan peta ruang investasi yang detail di Indonesia, termasuk status tanah, kepemilikan, dan lahan-lahan yang tidak diizinkan untuk kepentingan korporasi. Investor pun akan merasa kesulitan, sehingga minat untuk menanamkan modalnya amblas (Tempo.co).
Kebijakan lain yang patut dikritisi selain Omnibus Law adalah, rencana Kominfo yang akan menyiapkan Peraturan Menteri (PerMen) yang akan mengatur dengan jelas tahapan pemblokiran media sosial. Saya yakin, peraturan ini merupakan buntut dari pernyataan Menteri J. G. Plate dalam acara Mata Najwa yang mengatakan, "kalau pemerintah mengatakan hoax, berarti hoax".Â
Ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola negara semakin membuat rakyat tidak percaya, sehingga aturan-aturan konyol sengaja dipaksakan untuk membatasi ruang beraspirasi bagi rakyat. Hal ini dibuktikan melalui survei Litbang Kompas yang menyebutkan, 52,5% rakyat tidak puas atas kinerja pemerintahan Jokowi-Maruf.Â