Namanya Albertus Berfan Christian, seorang Dokter muda yang seedang menempuh pendidikan sebagai Mahasiswa Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Bedah Plastik di Universitas Airlangga, meninggal dunia pada Sabtu, 29 Agustus 2020, karena meminum cairan pembersih toilet Vixal.Â
Meninggalnya AB menyisakan pertanyaan dari banyak pihak, termasuk dari Ayahnya yang menduga ada unsur perundungan (bullying), sehingga membuat anaknya melakukan tindakan bunuh diri.Â
Dilansir dari Detik Health, Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia (PPSDM) Kementerian Kesehatan Prof dr Abdul Kadir mengaku telah mendapat informasi mengenai kejadian tersebut. Saat ini telah dilakukan pendalaman dan investigasi untuk mencari tahu lebih lanjut mengenai penyebab pasti kematian AB.
Sesuai dengan UU Pendidikan Kedokteran Nomor 20 Tahun 2013, peserta didik harus mendapat perlindungan hukum atau perlindungan dari kekerasan fisik maupun mental sehingga perlakuan bullying dalam bentuk apapun tak dapat dibenarkan.Â
Diwawancara terpisah, Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dr Slamet Budiarto mengatakan, jika ada bullying yang terjadi pada mahasiswa kedokteran termasuk spesialis, pihak institusi harus menindak dengan tegas karena pelaku sudah melanggar undang-undang kode etik kedokteran.Â
Kematian AB menambah daftar panjang kasus bullying yang terjadi di Indonesia, dan banyak kasus diantaranya yang belum tuntas diselesaikan oleh pihak berwenang.
Perundungan atau bullying secara garis besar adalah, tindakan intimidasi, mengusik atau merintangi orang lain. Bullying atau intimidasi memiliki beberapa jenis dan dapat dialami oleh anak-anak hingga orang tua.Â
Perundungan sendiri mempunyai beberapa jenis seperti, intimdasi fisik, intimidasi verbal, intimidasi sosial, dan intimidasi siber (sumber: Tirto). Sudah ada banyak kasus di Indonesia mengenai orang yang takut untuk datang ke sekolah, takut untuk bersosial, hingga melakukan suicide karena mendapatkan intimidasi dari teman atau lingkungannya.
Baca juga : Pengaruh Bullying terhadap Perkembangan Psikososial Anak
Saya sendiri salah satu orang yang menentang keras perilaku perundungan, bukan karena sok moralis, tetapi Saya penah menjadi korban perundungan sejak duduk di kelas dua sekolah dasar. Ingin tahu, bagaimana rasanya menjadi korban bullying? Perasaan itu tidak bisa terdeskripsikan dengan mudah, bahkan rasanya terlalu sakit untuk mengingat masa-masa perundungan itu.Â
Kematian AB membuktikan bahwa perundungan bisa terjadi tidak hanya kepada mereka yang duduk di sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas. Banyak juga kasus perundungan yang terjadi pada mahasiswa, khususnya ketika masa Ospek, dan rumitnya, kasus itu juga terjadi kepada AB yang sedang menempuh pendidikan spesialis kedokteran.
Korban perundungan bukan hanya terjadi kepada anak-anak miskin, anak-anak berkebutuhan khusus, anak-anak yang dianggap berbeda. Perundungan bisa terjadi kepada siapa saja, termasuk kepada AB, seorang dokter muda yang Ayahnya merupakan seorang Marsda TNI, Johanes Berchmans SW, Komandan Seskoau, Akademi Angkatan Udara tahun 1986.Â
Perundungan bukan hanya terjadi kepada mereka yang anak orang biasa, anak orang penting. Perundungan juga terjadi kepada mereka yang sudah terkenal, seperti artis-artis/penyanyi di Korea Selatan. Pusaran setan yang benama perundungan ini menyerang siapa saja, tak peduli latar belakang serta power dari korbannya.
Dilansir dari kpai.go.id, KPAI mencatat dalam kurun waktu 9 tahun, dari 2011 sampai 2019, ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak. Untuk Bullying baik di pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan trennya terus meningkat. "Data pengaduan anak kepada KPAI bagai fenomena gunung es.Â
Baca juga : Fenomena Bullying terhadap Pendidikan di Indonesia
Sama seperti pernyataan Presiden pada ratas (9/1/2020) melalui Data SIMFONI PPA. Bahkan Januari sampai Februari kita terus setiap hari membaca berita dan menonton fenomena kekerasan anak. Tentunya ini sangat disadari dan menjadi keprihatinan bersama," katanya.
Dikutip dari idntimes, ada lima negara yang menempati posisi teratas dengan kasus prundungan di dunia, dimulai dari Portugal. Sebuah studi ilmiah yang ditulis dalam jurnal Tandfonline.com, menyimpulkan bahwa kasus-kasus perundungan banyak terjadi di Portugal. Kasus yang paling mendominasi adalah kasus perundungan di media sosial atau cyberbullying.Â
Dalam studi tersebut didapatkan bahwa kaum perempuan lebih banyak mendapatkan bully atau perundungan, sedangkan pria lebih banyak melakukan bully. Salah satu cara mereka dalam melakukan perundungan adalah melalui pesan-pesan yang mengintimidasi dan menekan lewat pesan online atau pesan langsung melalui HP.Â
Sebetulnya secara nasional, kasus perundungan di Portugal memang tidak setinggi di negara-negara lainnya di Eropa. Namun karena terdapat peningkatan laporan terhadap kasus-kasus bully yang sering terjadi, membuat negara berpopulasi 10 juta jiwa ini dianggap sebagai negara dengan kasus perundungan tertinggi di Eropa, bahkan dunia.
Disusul Inggris, dalam lima tahun terakhir justru terdapat peningkatan kasus perundungan di Inggris, terutama dalam lingkungan akademi dan sekolah. Sebanyak 29 persen sekolah di Inggris menyatakan bahwa kasus bully terjadi hampir setiap minggu. Kasus-kasus perundungan di lingkungan sekolah Inggris mengundang banyak keprihatinan, terutama bagi pengajar dan badan perlindungan anak di Inggris.Â
Jika Inggris tidak berbenah, maka bisa saja Inggris menjadi negara terburuk dalam hal perundungan. Kemudian Estonia, bukan hanya di lingkungan sekolah, kasus perundungan di Estonia juga banyak terjadi di lingkungan kerja. Orang-orang dewasa yang seharusnya dapat berpikir dewasa, justru memberikan contoh yang kurang baik bagi generasi mudanya.Â
Negara berpenduduk sekitar 1,4 juta jiwa ini juga merupakan satu dari lima besar negara dengan kasus bully terbanyak di dunia. Meskipun saat ini sudah mulai digencarkan pencegahan bully, namun perundungan secara verbal dan online masih kerap terjadi di Estonia.
Baca juga : Kekuatan di Balik Anonimitas terhadap Cyber Bullying
Berikutnya adalah Russia, studi dan penelitian yang ditulis dalam Themoscowtimes.com menyimpulkan bahwa 1 dari 4 anak di Rusia mengalami perundungan di sekolahnya. Ada hampir 30 persen anak sekolah di Rusia telah mengalami kasus bully. Itu belum termasuk dengan kasus perundungan yang terjadi dalam media sosial dan online lainnya.Â
Hal ini menjadikan Rusia sebagai negara dengan kasus perundungan tertinggi kedua di dunia. Dan yang terakhir adalah Austria, kasus terbanyak juga masih didominasi dengan perundungan yang terjadi di lingkungan sekolah dan akademi.Â
Selain itu, perundungan secara online juga masif terjadi di negara berpopulasi 9 juta jiwa ini. Namun, perlu dicatat bahwa perundungan yang terjadi di Austria kebanyakan terjadi hanya pada cara verbal dan online. Karena Austria juga memiliki budaya yang sudah mapan dan taat pada peraturan, kejadian bully sekecil apapun pasti akan terpantau.
Dalam tulisan Saya yang sebelumnya, yang berjudul Kurikulum Anti Bullying yang termuat di Kompasiana, Saya sudah menyertakan saran dari Saya pribadi untuk mengatasi serta meminimalisir kasus bullying yang ada di Indonesia dengan menyediakan ruang khusus bagi mereka yang sedang mengalami tekanan mental. Namun sayangnya, Saya tidak memiliki cukup kekuatan untuk menyuarakan ide itu, sehingga Saya harus legowo jika tulisan itu hanya menjadi arsip di Kompasiana.
Saya pribadi merasa sedih jika harus menemui kasus orang yang bunuh diri akibat bullying, karena sekali lagi, Saya salah satu korban dari perundungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H