Dan Aku hanya bisa diam, menjauh dari keramaian, dan juga menjauhimu. Betapa bodohnya Aku saat itu, yang menjauhi teman bak malaikat sepertimu.Â
Bermingguu-minggu Aku terus diam, tak berkata sedikitpun. Karena Aku malu! Sungguh, kawan! Betapa kejamnya manusia yang menyebarkan isu murahan itu, hingga berhasil membuat ruang hampaku kembali gelap, bahkan lebih gelap dari sebelumnya.
Saat itu, saat di depanmu, di depan orang lain, Aku menahan air mata. Emosiku tak terkendali, hingga membuat mentalku terperosok ke dalam jurang yang teramat dalam. Dan Kamu saat itu hanya diam, tak mengajakku berbicara. Hal itu tentu semakin memperparah keadaan batinku.Â
Dan mulai sejak saat itu, dugaan-dugaan subjektif tentangmu mulai muncul, dan membuat anxietyku tertawa seolah memenangi peperangan melawanmu. Tak ada lagi tawa. Tak ada lagi semangat. Tak ada apapun. Tapi kini semua telah berakhir, dan rasanya teramat terlambat untuk meminta maaf padamu, atas dugaan kejam yang Aku tujukan untukmu.
Sayangku, Primavera. Hari ini Aku mengunjungi pusaranmu untuk yang kesekian kalinya. Di waktu sore, yang sinar matahari tak lagi menyengat, bersama bunga kamboja yang jatuh satu per satu, dan juga suasana yang teramat hening. Aku duduk di dekat nisanmu untuk yang kesekian kalinya.Â
Menatapi rumah terakhirmu dengan tatapan yang kosong, dan juga penyesalan yang tiada terkira. Maaf. Maafkan Aku yang pernah menyakiti perasaanmu dengan egoku.Â
Maafkan Aku yang mendiamkanmu selama berminggu-minggu. Maafkan Aku. Aku tahu, deraian air mata ini tak akan mampu menghidupkanmu lagi, mengmbalikan semua yang pernah kita alami bersama. Sekali lagi, maaf. Maaf karena pernah mengacuhkanmu. Maaf karena tidak sempat mengucapkan salam perpisahan.
Tuhan, bolehkan Aku meminta satu hal padamu? Jagalah selalu Dia di surga. Sampaikan salamku padanya. Katakan betapa rindunya Aku padanya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H