Hai, sudah lama kita tidak bertemu. Rasanya teramat aneh, ketika kita tidak lagi saling bicara, bertegur sapa, atau bahkan saling mengenal. Ironi memang. Dulu kita dua makhluk fana yang populer di antara himpunan mahasiswa kelas malam. Tertawa. Ceria. Selalu bersama, layaknya saudara kandung yang sengaja dipisahkan.Â
Kau tahu, rasa nyaman yang tercipta bukan karena sebuah sebab, dan tentunya membutuhkan sebuah alasan. Kamu adalah alasanku tetap bernyawa hingga saat ini. Dan kekosongan hidupku adalah penyebabnya.Â
Kamu, dengan segala ketulusanmu, kemurnian hatimu, pengorbananmu, dan apa-apa yang telah Kamu beri nyatanya mampu membuat semangat hidupku bergairah kembali. Kamu berhasil membuatku bangkit dan berani melawan ketidakadilan dunia, perlakuan semena-mena dari makhluk yang katanya berakal dan mempunyai derajat paling tinggi di bumi.
Akan selalu Aku ingat, tentang senyummu yang manis, baumu yang wangi, nafasmu yang menggoda iman, dan juga tatapan matamu yang sendu. Betapa sempurnanya dirimu, terkasih. Semua tentangmu akan selalu tersimpan dalam memoriku, selalu hidup bersama setiap denyut nadiku.
Dulu, Aku sudah tidak percaya dengan sebuah hubungan antar manusia, yang Aku pikir akan selalu berakhir dengan pengkhianatan, hingga akhirnya membuatku menangis berulang kali. Tapi ternyata Kamu berbeda dari yang Aku kira.Â
Aku ingat, Kamu yang pertama kali mengajakku berbicara, membahas sepatu yang Aku gunakan, dan hal-hal yang tidak berfaedah lainnya. Sedari awal kita berbicara, senyum dan tawaan menjadi pembuka, dan betapa Aku menyukai hal itu.Â
Rasanya seperti mimpi bagiku. Rasanya seperti ada secuil cahaya dalam ruang hampaku yang selalu gelap. Dan cahaya itu semakin lama semakin membesar, semakin bersinar terang, hingga pada akhirnya mampu membuatku bertahan hingga sekarang.
Aku selalu membayangkan, betapa senangnya hidup jika Kau ada selamanya, tidak pernah pergi walau Kau mempunyai kehidupanmu sendiri. Aku membayangkan hal-hal yang indah, hal-hal yang berharga ketika semua itu benar terjadi. Dan pada kenyataannya memang seperti itulah yang terjadi, ketika Kau dan Aku bersama.
Aku ingat, Kau orang pertama yang mengajakku bermain ketika anxietyku menggila. Berkendara, merasakan sejuknya hawa pedesaan, dan menghayati aroma kayu jati paska hujan. Obrolan-obrolan yang ringan, ditemani kopi dan juga singkong keju. Kita membahas banyak hal-hal yang baik, ha-hal yang memang seharusnya untuk dibahas. Dan Aku ingat, Kau selalu memutar musik indie, musik-musik yang katanya milik Kaum Senja. Oh Tuhan, betapa berharganya waktu itu. Waktu yang mampu membuat nadiku berdenyut kembali. Waktu yang berhasil menguatkan mentalku yang teramat rapuh.
Ketika Aku bersamamu, tak ada rasa lain selain bahagia. Karena rasa sedih yang biasa menemani hariku, sudah takluk oleh kekuatanmu, hingga tak bernyali menunjukan eksistensinya ketika Aku sedang bersamamu. Rasanya begitu sempurna, dan betapa polosnya Aku yang selalu berekspektasi begitu. Menjadi gila adalah hal yang biasa kita lakukan, dan kita sangat bangga melakukan hal itu.
Kau ingat, manisku? Ketika rumor mulai tersebar di kalangan civitas akademik? Kaulah yang menguatkanku. Katanya kita berpacaran. Katanya kita homoseksual. Katanya, katanya, dan banyak lagi katanya-katanya yang lainnya. Jujur, betapa hancur dan sakitnya perasaanku ketika rumor itu tersebar dan berhasil dipercayai banyak orang.Â