Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Hantu Kasta dalam Dinasti Politik dan Oligarki

21 Juli 2020   10:48 Diperbarui: 21 Juli 2020   11:08 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dinasti politik secara garis besar adalah kekuasaan secara turun temurun yang dilakukan oleh keluarga yang masih terikat dengan hubungan darah. 

Namun dalam politik praktis di Indonesia, dinasti politik tidak hanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai hubungan darah, tetapi juga dengan mereka yang disatukan oleh sebuah pernikahan -- persaudaraan, yang artinya, mereka menjadi "satu ikatan". 

Dinasti politik ini tak ubahnya seperti monarki absolut yang memakai topeng baru, yang memungkinkan kekuasaan dipegang oleh orang yang itu-itu saja dan dari lingkungan itu-itu saja.

Dinasti politik di Indonesia sudah berlangsung sejak jaman Orde Lama, walau ketika Soekarno berkuasa, anak-anaknya saat itu tidak terlibat dalam politik, tetapi selepas reformasi 98 keturunan Soekarno mulai terlibat dalam urusan politik di Indonesia. 

Sebut saja Megawati sebagai mantan Presiden, Taufik Kemas sebagai mantan Ketua MPR, Puan Maharani sebagai ketua DPR, Guruh Soekarno sebagai anggota DPR, Puti Guntur sebagai anggota DPR, dan Rachmawati sebagai mantan Anggota Dewan Pertimbingan Presiden. Dinasti politik juga terjadi pada keluarga Soeharto, Hatta, Habibie, Gus Dur, SBY, Amin Rais hingga Jokowi.

Ketika kita berbicara masalah dinasti politik, maka kita juga akan membicarakan masalah oligarki, karena dua hal itu tidak akan pernah terpisahkan. 

Oligarki secara garis besar berarti bentuk kekuasaan yang dipegang oleh elit kecil, termasuk didalamnya yang mempraktekkan dinasti politik. Itulah sebabnya, ketika kita bicara masalah dinasti politik, berarti secara tidak langsung kita akan membicarakan oligarki. Karena secara sistematis atau struktur, walaupun saat ini tiap daerah sudah mempunyai otonomnya masing-masing, tetapi tetap saja nantinya akan mengekor ke pusat. 

Analogi sederhananya begini: ketika pusat mengeluarkan kebijakan A, berarti daerah harus satu suara dengan pusat. Dan untuk menciptakan satu suara itu, diperlukan yang namanya politik dinasti. 

Begitu pula dengan kekuasaan yang ada di Legislatif, Eksekutif, dan Yudikatif. Di dalam ketiganya harus ada orang-orang dari satu dinasti untuk mempengaruhi suara, sehingga semuanya terkoneksi, terstruktur, dan reaksi penolakan terhadap sebuah kebijakan akan dengan mudah dihindari.

Sebenarnya bagus atau tidak sih dinasti politik itu? Jika melihat kultur politik yang ada di Indonesia, terlebih dilihat melalui kacamata Sibernatika Hukum, maka Saya katakan bahwa dinasti politik di Indonesia tidaklah bagus. 

Kenapa? Karena pada kenyataannya, ketika money politic dijadikan sebuah standar atau acuan dalam tingkat kemenangan, maka hal itu akan membuat nilai/value politik di Indonesia semakin menurun. 

Berbeda hal jika kultur politik di Indonesia tidak menggunakan uang sebagai tingkat kemenangan, maka nilai dari politik itu sendiri akan semakin bagus.

Sekarang kita lihat hasil nyata dari money politic, yang mana calon mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, dan ketika yang bersangkutan mendapatkan kemenangan, maka yang akan dipikirkan adalah gimana caranya mengembalikan modal. 

Tapi sayangnya, perpolitikan di Indonesia bukan hanya soal "balik modal", tetapi sudah merambat ke masalah kasta. Orang-orang yang berhasil mendapatkan kedudukan, katakanlah tingkat daerah, otomatis akan mempengaruhi kasta mereka dan memberikan power lebih kepada orang itu.

"Ada satu kisah tragis dari keluarga Saya sendiri. Saat itu si A akan mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Kota Pekalongan, dan ketika masa kampanye, Ia meminta kepada keluarga Saya untuk mencoblosnya. Kenapa kami memilih Dia? Karena Dia masih ada ikatan saudara dengan keluarga kami. Dan akhirnya kami sekeluarga memilih Dia. 

Ketika Ia berhasil duduk di kursi dewan, sikapnya berubah. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika ayah Saya saat itu sedang dalam masa pemulihan karena penyakit batu ginjal. Ayah Saya duduk di teras rumah dan melihat ke arah si A. Namun si A malah memalingkan pandangan dan membelakangi ayah Saya. 

Ketika ayah Saya memutar badan dan memandangi si A lagi, orang itu kembali memalingkan pandangan dan kembali membelakangi ayah Saya. Keinginan ayah Saya sangat sederhana, yaitu ingin disapa oleh SANG WAKIL RAKYAT yang dulu dipilih olehnya. 

Tapi sayangnya, bahkan sampai ayah Saya meninggal dunia, si A tidak pernah menyapa ayah Saya. Apakah politik sekejam itu? Demi kasta Ia rela mengemis-ngemis untuk dipilih. 

Dan ketika terpilih, Ia menjadi sombong. Dan Saya bersumpah dalam diri Saya sendiri, suatu saat akan Saya permalukan orang itu, orang yang kami pikir sebagai saudara."

Jika kalian ingin berpolitik, silahkan, terserah. Tapi kalian harus tahu dulu, tujuan kalian berpolitik itu apa? Jika berpolitik hanya sekedar naikin kasta, haus akan hormat, terlebih mengutamakan urusan kantong, lebih baik kalian urungkan niat itu. Karena banyak sekali orang di luar sana yang ingin membawa perubahan bagi Indonesia, tapi terganjal oleh previllage.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun