Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Salah Kaprah (Tentang) Feminisme

13 Juli 2020   13:08 Diperbarui: 13 Juli 2020   13:00 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan ini semakin kompleks, seiring dengan perkembangan jaman serta teknologi yang semakin canggih. Apa-apa yang kita temui (khusunya di media sosial) juga semakin kompleks, bahkan hal yang seharusnya sederhana pun, dibuat rumit oleh sekelompok atau seseorang. Hal yang paling sering menjadi pembicaraan akhir-akhir ini adalah soal feminisme.

Seperti yang kita ketahui, feminisme secara garis besar bertujuan untuk menuntut kesetaraan serta hak sebagai sesama manusia. Tapi yang seringnya terjadi adalah, ketika label feminisme dijadikan tameng untuk ketidakbecusan dalam melakukan sesuatu. Salah satu contohnya adalah dalam hal rumah tangga, yaitu memasak.

Saya ambil contoh dari diri Saya sendiri. Walaupun Saya tahu kewajiban memasak dalam feminisme tidak harus dilakukan oleh perempuan, tetapi salah satu keinginan Saya menikah adalah bisa menikmati masakan sang istri. Sekarang logikanya begini, jika Saya tidak bisa memasak, dan mendapatkan istri yang tidak bisa memasak pula, bagaimana? Apakah kami harus membeli makanan setiap hari? Bukankah itu sebuah pemborosan? 

Lalu bagaimana dengan kondisi psikologis anak kami kelak? Ketika teman sekelasnya dibawakan bekal oleh orangtua, dimasakkan oleh Ibunya, tetapi anak kami tidak pernah mendapatkannya dari orangtuanya sendiri, kira-kira psikologis anak kami akan bagaimana? Merasa kurang beruntung dan harus  menerima kenyataan? Sebenarnya hal itu bisa diatasi, yaitu dengan belajar memasak dan menyiapkan bekal bagi sang buah hati. Bukannya malah bersikap ignorance dengan berbagai macam denial untuk melakukan pembenaran atas hal yang sebenarnya bisa diperbaiki.

Jika kita berbicara masalah "melengkapi" dalam sebuah pernikahan, pastinya "memasak" adalah salah satu diantaranya. Bagaimana kita ingin saling melengkapi jika salah satu tidak ada yang bersedia untuk belajar memasak? Jika istri tetap keras kepala dan menyuruh suaminya untuk belajar memasak. Bukankah itu sama saja sedang mempraktekkan patriarki itu sendiri? Dan yang lebih parahnya hal itu dilakukan oleh seorang wanita yang mengaku sebagai feminis.

Dan pada kenyataannya, banyak wanita saat ini mengaku feminis hanya demi melakukan pembenaran atas ketidakbecusan yang mereka miliki. Hal ini sungguh sangat disayangkan, karena perjuangan mulia dari kelompok feminisme harus ternodai oleh arogansi dari feminis setengah matang.

Sekarang mari kita bandingkan Feminisme Kota dengan Feminisme Desa. Oke feminisme kota mempunyai banyak literasi, tetapi mereka miskin praktek. Sedangkan feminisme desa? Bahkan mereka belum tentu mengenal apa itu feminsme, dan tidak melabeli diri mereka. Walaupun mereka miskin teori, tetapi mereka kaya akan implementasi. 

Coba lihat, banyak wanita desa yang melakukan pekerjaan berat, yang seharusnya dilakukan oleh kaum lelaki. Dari menjadi kuli angkat pasir, bebatuan kecil, hingga mengangkat sebatang kayu berukuran besar hanya bermodalkan selendang. Bahkan mereka bisa memasak, dan seperti yang kita ketahui, masakan orang desa adalah masakan yang mempunyai rasa enak. 

Selain mengenai kelengkapan bumbu, mereka juga mahir dalam hal olah masakan. Sudah bisa melihat seberapa jauh perbedaan antara feminis kota dan feminis desa? Kenapa Saya membandingkan? Karena orang kota terkenal malas, mageran. Itu sebuah fakta, bahkan saya harus menerimanya sebagai orang kota.

Jika ada yang menganggap bahawa gadis desa jaman sekarang sudah berbeda dengan pendahulu, itu memang benar, tapi tidak bisa dipukul rata. Sama halnya dengan feminisme jaman sekarang dan feminisme jaman dulu. Mereka generasi feminis yang berbeda, maka dari itu saya sering berkata kalau, feminisme jaman sekarang adalah feminisme setengah mateng. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya feminis itu, dan malah menjadikan label feminsime untuk melakukan pembenaran atas ketidakbecusan mereka dalam melakukan sesuatu.

Di sini Saya mengajak kalian semua untuk berpikir logis, darimana ceritanya feminsime ingin diterima di Indonesia jika mereka saja selalu keras kepala? Merasa argumennya yang paling benar, merasa mempunyai hak untuk tidak memasak atau mengurus keluarga, merasa mempunyai hak yang sama tetapi berujung pada perilaku patriarki itu sendiri? Bukankah ini sebuah kekeliruan? Dan yang namanya kekeliruan haruslah dikritisi.

Beberapa hari yang lalu saya melontarkan argumen kepada salah satu akun Anarki, dalam postingannya itu terdapat sebuah tulisan "menuntut cuti haid". Ketika saya memberikan komentar "cuti haid?", adminnya membalas "memangnya kenapa mas?". Lalu saya balas lagi, "kalau begitu saya ingin jadi perempuan saja, biar banyak mendapatkan cuti.", setelah itu adminnya tidak lagi membalas komentar saya. Sesuatu yang logis bukan? "saya ingin jadi perempuan biar banyak mendapatkan cuti."? 

Lalu jika hal itu terkabulkan (cuti haid), di mana letak keadian sebagai sesama pekerja? Oke feminis akan berkata bla bla bla, lelaki tidak merasakan tersiksanya ketika sedang haid bla bla bla. Kalau begitu, kenapa kalian tidak ganti kelamin saja? Biar tidak merasakan haid? Bukankah sudah menjadi hukum alam, sebuah konsekuensi yang harus diterima oleh perempuan ketika haid? Jika masalah cuti kehamilan (hamil tua) dan melahirkan, perempuan berhak mendapatkan cuti. Tapi kalau apa-apa minta cuti, bukankah itu hanya mementingkan gender mereka sendiri?

Kemudian saya meninggalkan komentar di akun lawanpatriarki, saya berkata "kenapa harus tersinggu jika tidak merasa? Saya bahkan tidak tersinggung sama sekali ketika ada jokes yang merendahkan pria, kenapa? Karena saya tidak seperti pria itu." Analoginya itu seperti, "pelaku pemerkosaan tidak memandang gender, siapa saja bisa menjadi pelaku kejahatan seksual." Dan kata "insecure" yang diprotes oleh akun itu juga bisa dialami oleh siapa saja, tidak memandang gender. 

Kenapa harus tersinggung? Apakah karena ada kata "perempuan" di awal jokes? Bukankah itu sama saja dengan pernyataan perempuan tentang, "semua lelaki sama saja", Bajingan? Php? Cabul? Lalu kenapa mereka harus tersinggung oleh jokes yang memang sifatnya jokes? Bahkan kita semua tahu, ada pula yang dinamakan dark jokes. Mereka juga sering ketrigger oleh akun-akun shitpost. Lah, sudah ketahuan dari kategori akun "shitpost", harusnya mereka sudah sadar akan hal itu.

Tidak lama kemudian ada salah satu akun yang membalas komentar saya, dia berkata bahwa jika jokes semacam itu dibiarkan, maka akan menjadi kebiasaan dan menimbulkak keinginan untuk melakukan tindakan asusila. Karena menurut dia, jokes seperti itu ada di hirarki yang paling bawah. Lalu saya membalas, "memangnya seberapa besar impact yang ditimbulkan? Apakah ada angka riilnya?", saat ini kolom komentarnya sudah dinonaktifkan, sehingga saya tidak tahu apakah wanita itu membalas komentar saya lagi atau tidak.

Kenapa saya bertanya soal seberapa besar impactnya? Tentang angka? Itu sama halnya dengan hubungan pakaian dengan pemerkosaan. Jika pakaian bukan menjadi salah satu penyebab, berarti ada penyebab lain yang prosentasenya lebih besar. Tapi tetap saja, pakaian menjadi salah satu penyebab walau prosentasenya kecil. Itulah kenapa saya menanyakan tentang besaran impact dan angka riil kepada wanita itu. Karena jika ia sudah berani mengakatan tentang hirariki paling bawah, tentunya dia sudah tahu seberapa besar prosentase yang ditimbulkan oleh jokes yang sedang mereka angkat.

Dalam jaman sekarang ini, kita tidak hanya dituntut untuk berpengetahuan, berawawasan, tapi kita juga dituntut untuk berpikir secara logis, kritis, dan tidak mengabaikan apa-apa yang sudah dipertahankan sampai sekarang, yaitu norma, kaidah, dan juga adab.

Kalian pasti sudah sering mendengar, bahwa dunia ini semakin edan. Yap, memang betul. Dan kebrutalan feminisme dalam masa sekarang adalah salah satu contohnya. Lalu, bagaimana caranya agar kita tidak ikut-ikutan edan? Kita harus memahami lagi nilai-nilai, petuah-petuah dari orang yang sudah jauh lebih tua dari kita. 

Jika kalian kesusahan mendapatkan itu, ada beberapa buku yang saya rekomendasikan: The Spoantaneous Healing of Belief (Seni Hidup Di Zaman Edan), Filosofi Teras. Atau kalian bisa membaca buku Syekh Siti Jenar, Mahatma Gandhi, atau tokoh-tokoh sejenis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun