Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Salah Kaprah (Tentang) Feminisme

13 Juli 2020   13:08 Diperbarui: 13 Juli 2020   13:00 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image via Magdalene

Beberapa hari yang lalu saya melontarkan argumen kepada salah satu akun Anarki, dalam postingannya itu terdapat sebuah tulisan "menuntut cuti haid". Ketika saya memberikan komentar "cuti haid?", adminnya membalas "memangnya kenapa mas?". Lalu saya balas lagi, "kalau begitu saya ingin jadi perempuan saja, biar banyak mendapatkan cuti.", setelah itu adminnya tidak lagi membalas komentar saya. Sesuatu yang logis bukan? "saya ingin jadi perempuan biar banyak mendapatkan cuti."? 

Lalu jika hal itu terkabulkan (cuti haid), di mana letak keadian sebagai sesama pekerja? Oke feminis akan berkata bla bla bla, lelaki tidak merasakan tersiksanya ketika sedang haid bla bla bla. Kalau begitu, kenapa kalian tidak ganti kelamin saja? Biar tidak merasakan haid? Bukankah sudah menjadi hukum alam, sebuah konsekuensi yang harus diterima oleh perempuan ketika haid? Jika masalah cuti kehamilan (hamil tua) dan melahirkan, perempuan berhak mendapatkan cuti. Tapi kalau apa-apa minta cuti, bukankah itu hanya mementingkan gender mereka sendiri?

Kemudian saya meninggalkan komentar di akun lawanpatriarki, saya berkata "kenapa harus tersinggu jika tidak merasa? Saya bahkan tidak tersinggung sama sekali ketika ada jokes yang merendahkan pria, kenapa? Karena saya tidak seperti pria itu." Analoginya itu seperti, "pelaku pemerkosaan tidak memandang gender, siapa saja bisa menjadi pelaku kejahatan seksual." Dan kata "insecure" yang diprotes oleh akun itu juga bisa dialami oleh siapa saja, tidak memandang gender. 

Kenapa harus tersinggung? Apakah karena ada kata "perempuan" di awal jokes? Bukankah itu sama saja dengan pernyataan perempuan tentang, "semua lelaki sama saja", Bajingan? Php? Cabul? Lalu kenapa mereka harus tersinggung oleh jokes yang memang sifatnya jokes? Bahkan kita semua tahu, ada pula yang dinamakan dark jokes. Mereka juga sering ketrigger oleh akun-akun shitpost. Lah, sudah ketahuan dari kategori akun "shitpost", harusnya mereka sudah sadar akan hal itu.

Tidak lama kemudian ada salah satu akun yang membalas komentar saya, dia berkata bahwa jika jokes semacam itu dibiarkan, maka akan menjadi kebiasaan dan menimbulkak keinginan untuk melakukan tindakan asusila. Karena menurut dia, jokes seperti itu ada di hirarki yang paling bawah. Lalu saya membalas, "memangnya seberapa besar impact yang ditimbulkan? Apakah ada angka riilnya?", saat ini kolom komentarnya sudah dinonaktifkan, sehingga saya tidak tahu apakah wanita itu membalas komentar saya lagi atau tidak.

Kenapa saya bertanya soal seberapa besar impactnya? Tentang angka? Itu sama halnya dengan hubungan pakaian dengan pemerkosaan. Jika pakaian bukan menjadi salah satu penyebab, berarti ada penyebab lain yang prosentasenya lebih besar. Tapi tetap saja, pakaian menjadi salah satu penyebab walau prosentasenya kecil. Itulah kenapa saya menanyakan tentang besaran impact dan angka riil kepada wanita itu. Karena jika ia sudah berani mengakatan tentang hirariki paling bawah, tentunya dia sudah tahu seberapa besar prosentase yang ditimbulkan oleh jokes yang sedang mereka angkat.

Dalam jaman sekarang ini, kita tidak hanya dituntut untuk berpengetahuan, berawawasan, tapi kita juga dituntut untuk berpikir secara logis, kritis, dan tidak mengabaikan apa-apa yang sudah dipertahankan sampai sekarang, yaitu norma, kaidah, dan juga adab.

Kalian pasti sudah sering mendengar, bahwa dunia ini semakin edan. Yap, memang betul. Dan kebrutalan feminisme dalam masa sekarang adalah salah satu contohnya. Lalu, bagaimana caranya agar kita tidak ikut-ikutan edan? Kita harus memahami lagi nilai-nilai, petuah-petuah dari orang yang sudah jauh lebih tua dari kita. 

Jika kalian kesusahan mendapatkan itu, ada beberapa buku yang saya rekomendasikan: The Spoantaneous Healing of Belief (Seni Hidup Di Zaman Edan), Filosofi Teras. Atau kalian bisa membaca buku Syekh Siti Jenar, Mahatma Gandhi, atau tokoh-tokoh sejenis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun