Banyak orang datang ke area Monas, Jakarta dengan gagap gempita. Banyak mereka yang berasal dari luar kota Jakarta, hingga luar provinsi. Mereka datang ada yang individu, ada yang datang bersama teman-temannya, ada yang datang bersama keluarganya, datang bersama anak dan istrinya, mereka semua datang ke Monas pada hari ini, Senin, 2 Desember 2019 untuk mengikuti acara reuni 212.Â
Aksi 212 sendiri bermula atas respon ucapan Ahok yang dinilai menodai agama Islam, ditambah dengan keputusan ketua MUI, Ma'ruf Amin yang juga menilai bahwa Ahok telah melakukan penistaan agama sehingga muncullah aksi besar, dihadiri lebih dari 7 juta orang yang menuntut Ahok untuk dipenjara.
Kasus yang dialami oleh Ahok itu akan menjadi sejarah baru di Indonesia, bukti betapa mengerikannya sebuah agama yang dikultuskan oleh umatnya, di negara yang dari dulu selalu mabok agama, yaitu sebuah negara yang bernama Indonesia.Â
Sentimen agama dalam kasus Ahok menurut saya teramat mengerikan, karena saya sendiri merupakan seorang konten kreator di instagram yang sejak akhir tahun 2015 berfokus pada isu-isu politik dan agama. Kalau dibilang tahu, jelas saya tahu maksud dari perkataan Ahok yang sebenarnya baik karena bersifat mengingatkan. Saya juga tahu bagaimana isu agama ini dimotori oleh beberapa elit politik yang bersaing dengan Joko Widodo, serta digoreng terus-terus oleh pendukung kubu Prabowo dan Anies Baswedan pada saat itu.Â
Sejak kasus Ahok muncul, banyak bermunculan ustadz dadakan, orang awam yang seolah sudah tinggi ilmu agamanya, mereka semua membela diri dan menyerang hanya dengan sepenggal, dua penggal ayat, tanpa tahu seperti apa ayat itu sebenarnya. Dan yang paling mengerikan adalah, saat itu ada sebuah video sekumpulan anak kecil yang meneriakkan yel-yel "Bunuh Ahok. Bunuh Ahok."Â
Fakta tersebut menunjukan betapa kuatnya isu agama yang dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk menjatuhkan lawan politik mereka. Bukan hanya itu, mereka yang membela Ahok, mereka yang mencoba rasionalis dan realistis dituduh sebagai antek komunis hingga ateis.Â
Saya sendiri sering mendapatkan tuduhan seperti itu, hingga akhirnya saya merasa sudah biasa dan bersikap biasa saja ketika mendapatkan tuduhan serupa. Kenapa saya sering diserang oleh kelompok yang mengatasnamakan agama? Itu karena saya sering 'menguliti' mereka, tentu disertai dengan literasi dan juga induk dari kasus serupa yang terjadi di Mesir serta kelompok yang melopori, yaitu Ikhwanul Muslimin. Akun instagram saya sudah 5 kali direport oleh kelompok mereka karena saya berani dengan lantang melawan mereka menggunakan wawasan, disiplin ilmu, hingga literasi yang saya miliki.
Nah, pada aksi reuni kali ini, mengingatkan saya, seolah sedang reuni dengan pemikiran saya, dengan semua cacian hingga laknatan yang saya terima. Pada tulisan kali ini saya tidak akan membahas mereka yang sudah datang jauh-jauh dari luar provinsi, tapi saya ingin sedikit membahas tentang aksi 212 yang sebenarnya digunakan untuk mengumpulkan massa.
Mungkin banyak dari peserta aksi reuni yang tidak menyadari bahwa, mereka sedang dimanfaatkan oleh aktor politik. Benar memang, mereka ikut reuni untuk tujuan ibadah, membela agama mereka, hingga mengacuhkan jika mereka sedang dimanfaatkan.Â
Saya tidak akan menyalahkan mereka yang memang tidak tahu, atau yang sudah tahu, tapi bersikap 'masa bodo'. Aksi demo 2 Desember yang diikuti oleh lebih dari 7 juta orang, secara umum memang untuk menuntut Ahok. Tapi sadarkah kalian, jika aksi kalian ini sedang dimanfaatkan?Â
Kenapa saya berani berkata demikian? Karena sudah terbukti dengan kalahnya Ahok yang menjabat sebagai Gubernur Jakarta pada saat itu. Sebelum adanya 'keseleo lidah' itu, pendukung Ahok sangat banyak, bahkan sudah bisa ditebak kalau Ahok -- Djarot adalah pemenangnya.Â
Tapi coba lihat setelah munculnya kasus itu? Setelah banyaknya akun-akun anonim yang menggoreng kasus itu? Banyak muncul rasa kebencian terhadap Ahok sehingga Ahok kalah dalam ajang Pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2017. Opini-opini semakin tergiring dan terarah ke pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Salahudin Uno, mereka tergiring opininya untuk memilih pemimpin yang taat agama, sesuai dengan perintah yang tertulis di Qur'an.Â
Padahal kita sudah tahu, manusia (apapun agamanya) tidak akan lepas dari sebuah kesalahan, karena memang manusia akan senantiasa khilaf, manusia tidak memiliki batas kepuasan. Salah dua contoh yang begitu nyata adalah kasus korupsi sapi dan pengadaan Qur'an. Mereka yang menjadi tersangka tentu mempunyai agama, berasal dari partai yang berlandaskan agama, dan juga mengkorupsi yang berkaitan dengan agama, yaitu pengadaan Qur'an.Â
Namun sayangnya mereka yang awam sering kali lupa, bahwa agama bukanlah satu-satunya sumber moral manusia, sehingga untuk apa memilih pemimpin berdasarkan agama? Banyak juga pemuka agama (semua agama) yang justru melakukan tindakan asusila, mencabuli, menyodomi, hingga salah satu pemuka agama yang berasal dari Malaysia yang video mesumnya bersama seorang PSK viral.
Dengan adanya aksi 212, kalahnya Ahok, menunjukan bahwa agama memang dijadikan alat politik, dijadikan senjata untuk menjatuhkan lawan politik, dan juga mencari massa (salah satunya). Aksi-aksi seperti ini akan selamanya ada jika pola pikir masyarakat Indonesia tidak bisa diubah, agama akan selalu dijadikan komoditi dalam politik, dan sejarah akan terus berulang. Selamanya Indonesia akan berkutat pada isu sara, saling membenci, menebar kebencian. Padahal Indonesia itu luas, dan dihuni oleh ribuan kelompok yang berbeda.
Mari saya perlihatkan salah satu penekanan yang menunjukan bahwa aksi 212 adalah sebuah aksi untuk mengumpulkan massa. Masih ingatkah dengan pernyataan "suara umat, Islam menang"? pernyataan itu sering terdengar pada aksi-aksi serupa. Dan untuk apakah pernyataan-pernyataan itu jika bukan untuk mengumpulkan massa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H