Islamabad merasa bahwa kesepakatan yang telah ditandatangani kedua negara lebih dari satu dekade yang lalu itu tidak adil dan lebih banyak menguntungkan perusahaan-perusahaan China. China-Pakistan Economic Corridor adalah proyek pembangunan raksaksa yang bertujuan untuk menyambungkan Pelabuhan Gwadar di Pakistan dengan daerah Xinjiang di China melalui jalan raya, jalur kereta, serta pipa bawah tanah.Â
Menurut Financial Times, CPEC merupakan proyek terbesar dan paling ambisius dari OBOR yang nilainya sekitar 62 miliar US$. PM Malaysia, Mahathir Mohamad pada bulan Juli, mengatakan sejumlah proyek terkait OBOR di Malaysia dihentikan sementara dan biaya-biaya proyek itu akan ditinjau kembali.Â
Keputusan itu diambil oleh PM Malaysia karena ia tidak mau terciptanya sebuah kondisi di mana kolonialisme versi baru tercipta karena negara-negara miskin tidak mampu bersaing dengan negara kaya, maka dari itu kita membutuhkan perdagangan yang adil.
Financial Times mencatat, Pakistan, Sri Lanka, Laos, dan Montenegro, masuk dalam daftar proyek OBOR yang tersendat dan berakhir dengan utang yang menggunung, seperti kasus Sri Lanka dan Maladewa. Jumlah negara yang mengalami hal serupa bukan tidak mungkin akan bertambah.Â
Menurut Financial Times, banyak dari 70-an negara yang terlibat dalam OBOR adalah negara-negara dengan ekonomi yang cukup berisiko menurut data yang dikeluarkan oleh OECD.Â
Guardian melaporkan, mereka khawatir China akan menggunakan OBOR sebagai alat diplomasi perangkap utang yang nantinya akan dimanfaatkan untuk hal-hal yang menguntungkan China, misalnya dalam kasus pertikaian LCS dan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia.Â
Sejumlah negara lain juga khawatir bahwa kehadiran China melalui OBOR di banyak negara akhirnya akan berujung pada ekspansi militer.
Di Indoneisa sendiri salah satu proyek OBOR yang sedang berjalan adalah proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Presiden Jokowi menyambut OBOR secara posiitf karena dirasa sejalan dengan visinya untuk mengembangkan Indonesia sebagai negara maritim.Â
Meski demikian, laporan dari Tenggara Strategics, Indonesia mesti bersikap hati-hati terhadap inisiatif. Terlebih, kontroversi terkait rumor tenaga kerja China dalam waktu beberapa terakhir ini cukup marak. Bukan tidak mungkin, saat Indonesia tidak berhati-hati, negara ini akan memiliki masalah dengan OBOR.
Seperti yang sering saya tekankan pada esai yang membahas masalah ekonomi Indonesia, bahwa Indonesia (dan negara) lain, hanya dijadikan arena adu kekuatan perang dagang antara China dan AS. Mungkin oleh sebab itulah Bung Karno mewanti-wanti agar negara ini bisa Berdikari.Â
Jangan sampai Indonesia lepas dari cengkraman Amerika, masuk ke dalam cengkraman China. Namun sayangnya sikap non-blok yang diprioritaskan oleh Bung Karno, semakin berganti pemimpin, semakin condong ke salah satu blok.