Melanesia, Kau bukan hanya sekedar nama. Pesona-pesona yang menyimpan berjuta misteri, tapi selalu menarik untuk dicari. Di balik ragam seni, di balik ragam-ragam dunia tersembunyi, Kau masih abadi dan suci.
Melanesia, gugusan bintang masih mewarnai langitmu, jejeran aurora masih terlihat di matamu. Tawa-tawa yang polos, senyum-senyum yang manis, dan wajah-wajah yang menawan, menyisakan duka yang tak berkesudahan. Orang lain mungkin akan takut, mungkin saja mereka refleks bersembunyi, ketika melihat Kamu yang dianggap berbeda.
Itulah manusia. Menilai dari yang nampak di luar, sedang selalu mengingkari hati nurani. Tatapan-tatapan sinis itu akan selalu ada, prasangka-prasangka negatif itu akan selalu muncul, dan omongan-omongan setan itu senantiasa masih berhamburan. Jangan khawatir. Mereka hanya sekedar menerkamu, Melanesia.
Bukan. Aku tidak sedang merayumu. Aku tidak sedang menyesatkanmu. Aku pikir, aku hanya perlu memberitahu, bahwa pancaran wajah bocah-bocah itu berhasil menghipnotisku. Rasanya di sana ada aura yang menarikku, membuatku ingin sekali untuk sedikit lebih dekat. Entah apa pastinya, aku pun tak tahu. Ada tarikan metafisika yang mempengaruhiku, seakan ingin memberitahu, bahwa gunungan lelah semakin meninggi.
Pura akan kosong dengan sendirinya, Masjid akan sepi dengan sendirinya, dan Gereja akan berlumut dengan sendirinya. Tapi tidak denganmu, Melanesia. Kau akan selalu ramai dengan sejuta ragamu, sejuta senimu, dan sejuta lain yang mereka tidak tahu.
Damailah seperti damainya Budha dengan moksa. Abadilah seperti abadinya matahari yang tak pernah redup. Dan menarilah seperti menarinya Rumi untuk gurunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H