Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Dualisme Spiritualitas Manusia

23 Agustus 2019   00:29 Diperbarui: 23 Agustus 2019   00:43 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awalnya saya mencoba membuka sebuah diskusi dengan Ayah saya. Kebetulan Beliau sedikit tahu tentang cerita-cerita kuno Jawa. Saat itu saya bertanya seputar sejarah Wali Songo hingga konflik dengan Syekh Siti Jenar. Lalu saya bertanya perihal Siwa, Semar, dan tokoh-tokoh Wayang. Sebenarnya saya tidak butuh sisi historis dari rentetatn pertanyaan yang saya ajukan. Saya lebih tertarik mempelajari sifat dari tokoh-tokoh yang kami bahas. 

Dalam mindset saya, "saya ingin bijak seperti mereka. Saya ingin menjadi manusia dengan meneladani sifat-sifat mereka yang patut untuk ditiru." Hingga pada akhirnya rentetan pertanyaan saya itu mengerucut pada satu narasi "berarti, sejatinya manusia bisa hidup selayaknya manusia tanpa agama dong, Yah?". Beliau menjawab "iya", dan betapa kagetnya saya ketika mendengar perkataan dari Ayah saya jika beliau lebih setuju dengan ajarannya Budha. Padahal Ayah saya beragama Islam.


Statment penutup dari Ayah saya tadi, saya jadikan pemantik ketika guru spiritual saya mengunjungi saya yang sedang bekerja. Saya bilang kepada beliau, "Mbah, saya kaget. Ayah saya malah setuju dengan ajarannya Budha. Menurut Mbah, Budha itu seperti apa?". Beliau tidak langsung menjawab, tetapi beliau memantik lagi dengan sebuah kasus. 

Beliau bilang kepada saya kalau beliau pernah debat dengan salah satu kiyai yang umurnya lebih tua dari guru saya. "Kamu itu edan, Yi!" kata guru saya. "Leluhurmu itu siapa? Agama leluhurmu itu apa? Apakah agama leluhurmu itu Islam? Saya yakin tidak!", sambung guru saya. Intinya, Kiyai itu merendahkan ajaran Budha. Katanya tidak boleh menyembah patung. Katanya tidak boleh pakai dupa. 

Pokoknya, ibadah selain ibadahnya orang Islam adalah salah dan syirik. Kemudian guru saya memantik lagi, "Lee! (berbicara kepada saya). Sekarang orang Islam beribadah, sholat, dengan gerakan yang seperti itu. Memangnya orang Islam beribadah tujuannya kepada siapa?", tanya beliau. "Allah, Mbah." Jawabku. "Nah itu!", imbuhnya.


Perkara ibadahnya orang Budha yang dicaci oleh Kyai tadi, guru saya menjelaskan yang intinya, tiap agama mempunyai caranya sendiri dalam beribadah. Sholat, nyanyi di Gereja, bakar dupa, dlsb. Itu semua hanya sebuah metode untuk beribadah kepada Tuhannya masing-masing. Walaupun orang Islam ibadahnya gerak-gerak, orang Kristen duduk sambil nyanyi, orang Budha dan Hindhu bakar dupa di depan patung, itu semua hanya metode saja dalam berinteraksi dengan Tuhan mereka. 

Di klenteng, di rumah orang-orang Budha dan Hindhu banyak patung bukan berarti mereka menyembah patung. "Paham ndak, Lee?", tanyamya. "Paham, Mbah. Patung-patung itu hanya simbolik, untuk mengenang Budha yang dinilai telah berjasa. Sama halnya dengan tari sufi." Jawabku. "Nah itu paham." Imbuhnya.


"Orang Islam ndak perlu mengurusi ibadahnya agama lain. Karena orang Islam ndak pernah tahu fokusnya umat agama lain ke mana saat beribadah. Jangan dikira mereka berdo'a di depan patung, lantas dengan egoisnya orang Islam menuduh bahwa mereka sedang menyembah patung. Coba dibalik, kira-kira apa yang ada di pikiran orang dari agama lain ketika melihat orang Islam sedang sholat? Pasti mereka akan menganggap bahwa ibadahnya orang Islam itu aneh karena gerak-gerak sendiri." Lanjut beliau.


Berangkat dari kasus dan panikan dari beliau akhirnya saya paham dan semakin yakin dengan statment saya yang dulu, bahwa tiap agama mempunyai caranya masing-masing dalam beribadah. Mereka beribadah dengan cara yang berbeda, tetapi tujuannya satu, yaitu menyembah Tuhan yang memiliki banyak nama sesuai kepercayaan masing-masing. 

Untuk apa kita mempermasalahkan ibadahnya agama lain? Tuhannya orang lain? Untuk apa kita sibuk membedah ritual keagamaan dari agama lain? Kita tidak punya hak untuk mencaci mereka, mengkafirkan mereka. Karena apa? Islam dan agama samawi hanya pendatang di Indonesia. sedangkan yang paling tua? Hindhu dan Budha!


Sunan Kalijaga mensyiarkan Islam dengan Wayang, tembang-tembang Jawa. Itu semua dilakukan karena apa? Karena Sunan Kalijaga tahu, bahwa Islam tidak akan pernah eksis di Indonesia jika cara mensyiarkannya seperti cara Nabi yang ada di Timur Tengah. 

Sunan Kalijaga harus menyesuaikan apa yang sudah menjadi kebiasaan dan budaya yang ada di Jawa. Islam harus beradaptasi dengan kultur Nusantara yang beraneka ragam dan sudah melekat terhadap Hindhu maupun Budha.


Lagi-lagi pada akhirnya saya harus menegaskan bahwa, apapun agama dan bagaimanapun cara kalian beribadah, itu tidaklah penting. Yang penting adalah niat kalian untuk berinteraksi dengan sesuatu yang disebut dengan Tuhan. Dan saya juga tidak perlu memaksa kalian untuk mengikuti apa yang saya yakini. Kalian tidak perlu lagi saling memusuhi dan "sok tau" tentang agama lain. Orang beragama dan orang yang tidak beragama seperti saya, sama-sama makhluk fana. 

Kita semua tidak tahu apakah nantinya kita akan masuk ke dalam surga atau neraka. Karena apa? Surga dan neraka sampai saat ini masih menjadi misteri. Lakukan apa yang kalian yakini. Pertahankan apa yang kalian imani. Kalian tidak perlu mencampuri apa yang bukan urusan kalian. Jadilah manusia sebagaimana semestinya. Tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang suci. Tidak ada satu manusia pun di dunia ini yang bisa menjamin dirinya akan masuk surga. Dan yang terakhir, tidak ada satu manusia pun yang berhak menentukan tempat kalian nantinya adalah di neraka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun