Harapan. Manusia hidup di dunia ini harus memiliki harapan. Jika manusia menginginkan hujan lekas berhenti, itu sama saja dengan sedang berharap. Saya pernah mendengar kajian Filsafat, pembicara berkata bahwa jika kamu ingin membuat sebuah biografi, maka kamu harus  menyusun semua harapanmu. Kamu harus menceritakan harapan mana saja yang terwujud dan yang tidak terwujud.
Harapan yang terwujud bisa disebut dengan hasil. Sedangkan yang tidak terwujud bisa disebut dengan pengalaman. Usaha yang kamu lakukan dalam mewujudkan harapan bisa kamu tulis, hingga membentuk sebuah biografi. Orang-orang Ma'rifat menganggap harapan yang tak terwujud itu sebagai takdir. Kuasa Tuhan. Tapi tidak bagiku. Apalagi nasib. Jika hingga berumur tua aku masih tetap miskin, itu karena kesalahanku sendiri.
Tapi aku dan orang-orang Ma'rifat sama. Aku dan mereka sama-sama mempunyai harapan. Tetapi yang namanya manusia, tidak semua memiliki persepsi yang sama. Buddah berkata "Seperti sebuah lilin yang tidak terbakal tanpa api. Manusia tidak dapat hidup tanpa kehidupan spiritual." Aku dan orang-orang yang beragama, sama. Kami memiliki suatu hal yang disebut dengan spiritual. Mereka berinteraksi dengan Tuhan masing-masing. Begitu pula dengan aku.
Jika mereka memiliki nama untuk menyebut Tuhan mereka, tapi tidak dengan aku. Terkadang aku memanggil Tuhan dengan sebutan Allah. Kadang hanya Tuhan. Kadang juga Gusti. Tapi ada satu hal yang tidak dilakukan orang lain tentang penyebutan.
Aku lebih sering menyebut Tuhanku tanpa nama, tanpa suara. Aku lebih sering menyebut Tuhanku ketimbang orang-orang yang beragama. Bingung? Nyerah? Menganggapku gila? Terserah! Aku lebih sering dan secara rutin menyebut Tuhanku melalui setiap hembusan nafasku.
Mungkin kalian tidak akan pernah percaya. Tapi tak ada gunanya aku membuktikan hal itu kepada kalian semua. Bukan hanya hembusan nafas. Aku menyebut Tuhanku seiring dengan denyut nadiku. Ketika aku beraktifitas, sibuk, atau perkara hal lain. Aku merasa jauh dengan Tuhanku. Tetapi ketika aku sedang sendirian, dalam hening, di ruang hampa.
Aku merasa sangat dekat dengan Tuhanku. Aku memang tidak dapat melihatnya. Dan tidak ingin pula untuk melihatnya. Hal ini berbeda dengan umat beragama. Mereka melakukan segala sesuatu atas iming-iming surga, dan berakhir dengan bertatap muka dengan Tuhan mereka. Sedangkan aku? Aku berharap untuk tidak melihat Tuhan. Karena bagiku Tuhan teramat dekat dengan tubuh ini.
Aku biasa ngopi bareng Tuhan. Ngerokok bareng Tuhan. Baca buku bareng Tuhan. Bahkan kentu bareng Tuhan. Aku dan Tuhan tidak terpisahkan. Pasti banyak orang-orang awam dan orang-orang syari'at yang akan menghakimiku layakanya mereka menghakimi Lemah Abang. Hal itu terjadi karena mereka begitu buta, dan tuli.
Kenapa saya bilang mereka buta dan tuli? Setiap hari mereka membaca dan mendengar "Allah Maha Melihat". Apakah ketika mereka sedang ngopi, berak, bahkan kentu, Allah tidak melihat mereka? Dengan Allah melihat mereka, berarti Allah sedang bersama mereka.
Perkara di atas mudah dan sederhana. Tapi mereka tidak paham sama sekali. Buat apa mereka membela Tuhan? La wong Tuhan saja masih bersama mereka. Dan Tuhan tetap baik-baik saja tanpa kesakitan. Saya terkadang heran sama orang-orang yang beragama. Nalar mereka tidak pernah sampai ketika diterangkan perihal ini.
Ada salah satu teman saya yang nyeletuk. Dia bertanya "bagaimanakah cara Agnostik dalam beribadah?". Saya menjawab, "terserah saya mau bagaimana". Memangnya Tuhanmu pernah memerintahkan untuk membaca ayat ketika sholat? Pernah? Pernah? Pernah? Memangnya Tuhanmu pernah memberitahu perkara sujud, ruku', duduk di antara dua sujud? Pernah? Pernah? Pernah?