Mohon tunggu...
hmz mengajarrr
hmz mengajarrr Mohon Tunggu... Dosen - Institut Pemerintahan Dalam Negeri

hobi menulis dan diskusi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengentaskan Kemiskinan Meretas Ketertinggalan

17 Januari 2024   00:23 Diperbarui: 17 Januari 2024   00:32 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENGENTASKAN KEMISKINAN MERETAS KETERTINGGALAN

Catatan kecil untuk Banten yang lebih baik

Oleh: M. Harry Mulya Zein

 

Kemiskinan dan ketertinggalan menjadi musuh utama yang harus dikalahkan oleh pemerintahan mana pun, dimana persoalan ini menjadi warisan turun temurun dari generasi kegenerasi yang entah kapan akan lenyap dimuka bumi.

 

Berdasarkan pada realitas kemiskinan di Indonesia, maka kebijakan yang dilaksanakan pemerintah dewasa ini cenderung mengarah pada upaya pemberdayaan masyarakat.  Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat "people-centered, participatory, empowering, and sustainable" (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 1996).

  

Pengentasan kemiskinan melalui berbagai kebijakan dan program pemberdayaan masyarakat diimplementasikan dalam bentuk penyediaan kebutuhan dasar seperti: (i) pangan; (ii) pelayanan kesehatan dan pendidikan; (iii) perluasan kesempatan kerja; (iv) bantuan prasarana dan sarana pertanian; (v) bantuan kredit usaha bagi masyarakat miskin; dan (vi) bantuan prasarana permukiman kumuh perkotaan.   Dalam konsep pemberdayaan ini, masyarakat diajari dan dibimbing untuk tidak hanya menyusun program tetapi juga mampu melaksanakannya sendiri.

Dari Gambaran tersebut jelas terlihat, bahwa  pemerintah pada semua level pemerintahan sebenarnya telah melakukan berbagai kebijakan pengentasan kemiskinan. Namun kebijakan yang dibuat selama ini sering kali kurang memihak kepada masyarakat miskin, sehingga semakin memperburuk kondisi masyarakat. Permasalahan kemiskinan yang cukup kompleks membutuhkan intervensi semua pihak secara bersama dan terkoordinasi. Namun penanganannya selama ini cenderung parsial dan tidak berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan perubahan yang bersifat sistematik dan menyeluruh dalam upaya penanggulangan kemiskinan.

Salah satu dimensi yang relevan untuk menjadi pendekatan pemberdayaan dalam penanggulangan kemiskinan adalah terkait dengan organisasi,  hal ini misalnya sesuai dengan pandangan Moses N. Kiggundu dalam tulisannnya berjudul Managing Organization in Developing Countries yang mengungkapkan bahwa tak ada satupun faktor yang lebih penting daripada organisasi dalam menyelesaikan masalah besar seperti kemiskinan, kelaparan, ketertinggalan, keterbelakangan dan rendahnya pendapatan di negara berkembang (Kiggundu,1989 : 21).

Peran strategis organisasi khususnya organisasi pemerintahan diarahkan pada proses menuju terwujudnya keadilan pembangunan, meskipun  sebenarnya upaya tersebut sudah di implementasi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah derah pada program-program pembangunan,namun pada kenyataannya masih banyak bias kebijakan pembangunan yang seakan justru semakin meretas adanya kesenjangan dalam pembangunan, baik menyangkut kesenjangan antar wilayah, kesenjangan desa-kota maupun kesenjangan masyarakat dari sisi pendapatan, akses dan kesempatan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator sperti:

  • Prasarana atau infrastruktur yang kurang memadai,
  • Kurangnya Aksesibilitas dan Keterjangkauan dari pusat pertumbuhan
  • Perekonomian masyarakat yang masih rentan,
  • Kemampuan keuangan lokal yang masih dibawah normal,
  • Karakteristik masyarakat (sosio-kultur dan sosial behavior) yang masih berkutat pada sektor tradisional.

Kalau di cermati secara seksama, sesungguhnya daerah-daerah yang di kategorikan sebagai daerah tertinggal bukanlah daerah yang mempunyai sumberdaya alam rendah atau nihil, tetapi sebaliknya daerah-daerah tersebut malah banyak terdapat potensi sumberdaya alamnya. Dan bahkan tidak sedikit dari daerah-daerah tersebut yang selama ini di eksploitasi untuk kepentingan kawasan-kawasan maju.

 

Seperti halnya yang terjadi di Banten, diusia Provinsi Banten yang ke-23 tahun, pembentukannya tanggal 4 Oktober 2000 yang lalu melalui Undang-undang Nomor 23 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Provinsi Banten. Provinsi Banten merupakan salah satu daerah yang sangat potensial karena merupakan daerah yang menjadi penunjang Ibukota Negara, namun dengan posisinya yang berada diwilayah perbatasan kota metropolitan, ternyata masih menyisakan beberapa kawasan yang tertinggal dan jumlah penduduk miskin pada maret 2023 sebesar 826,13 ribu orang. Garis kemiskinan pada maret 2023 tercatat sebesar Rp 618.721,/kapita/bulan dengan komposisi garis kemiskinan makanan sebesar Rp 448.240,- (72,45 persen) dan garis bukan makanan sebesar Rp 170.481,- (27,55 persen).

     

Realitas tersebut menunjukkan bahwa, permasalahan yang muncul pada daerah-daerah tertinggal di Provinsi Banten  merupakan bias praktek pengelolaan pembangunan antar kawasan yang tidak merata. Pembangunan yang tidak merata antar kawasan ini simetris dengan ketidakadilan dalam pengelolaan sumberdaya alamnya. Sehingga potensi SDA yang terkandung di daerah-daerah yang masih tertinggal sampai sejauh ini disebabkan karena maksimalisasi kontribusinya untuk pembangunan, prosentasinya sangat tidak proposional dengan nilai yang seharusnya di peroleh. Permasalahannya adalah ketika saat ini semua stakeholder memahami ketidakadilan praktek pembangunan antar kawasan yang sedemikian rupa, apakah terus membiarkan kondisi ini terjadi? Atau akan memilih melakukan langka-langkah strategis dan kongkrit untuk menghilangkan gap development yang terjadi.

Dengan kesadaran tersebut, maka sebagai langkah strategis dalam menyeimbangkan dan mengatasi ketimpangan pembangunan yang berdampak pada stagnatisasi pembangunan di daerah, dipandang perlu untuk melakukan pemetaan ulang yang diikuti dengan menata ulang potensi wilayah yang ada, yang tidak terbatas pada sumberdaya alam akan tetapi keseluruhan kandungan sumberdayanya. Pembangunan di daerah tertinggal, harus dipandang sebagai bentuk investasi untuk menopang kesejahteraan. Pembangunan sarana dan prasarana dasar memang membutuhkan modal besar, dan mungkin juga tidak segera diikuti oleh loncatan perolehan nilai tambahnya (value added). 

Oleh karena itu, guna memacu pembangunan di daerah tertinggal, program utama yang harus dilakukan adalah menyediakan sarana dan prasarana dasar untuk mendorong tumbuhnya investasi. Pandangan ini sebagai masukan dalam menyusun program pembangunan untuk daerah tertinggal. Sarana dan prasarana dasar, seperti listrik, air bersih,jalan raya, jembatan dan telekomunikasi, belum tersedia secara layak atau tidak memadai. 

Akibatnya, banyak daerah masih terus dililit persoalan kemiskinan dan ketertinggalan, baik dilihat dari aspek ekonomi maupun sosial budaya. Syarat utama untuk menuntun daerah miskin dan tertinggal menuju kemajuan adalah menyediakan infrastruktur dasar. Untuk membangun daerah terpencil dibutuhkan kemauan politik yang serius dan konsisten dari pemerintah Daerah setempat. Infrastruktur dasar yang belum tersedia atau belum memadai menjadi external cost bagi investor.

 

Pemerintah juga sering memandang pembangunan di daerah terpencil sebagai "penguras biaya" karena efeknya tidak langsung diikuti oleh loncatan pertambahan nilai secara finansial. Cara pandang seperti itu harus diubah. Pembangunan di daerah terpencil, meski akan menyedot biaya yang besar, harus tetap dipandang sebagai bentuk investasi bangsa.

Untuk hal tersebut Pemerintah Provinsi Banten perlu mengeluarkan kebijakan untuk membangun  kawasan-kawasan Andalan atau Growth Centre di beberapa wilayah, yang diharapkan akan dapat menjadi 'prime mover' pembangunan di daerah yang bersangkutan sekaligus merangsang pertumbuhan daerah sekitarnya (hinterlands-nya). 

Untuk memajukan pembangunan daerah-daerah miskin dan terbelakang, telah menyebabkan munculnya kebutuhan untuk mencari jalan yang terbaik guna mempromosikan aktivitas perekonomian dan penciptaan lapangan kerja di daerah-daerah miskin dan terbelakang tersebut, dan sekaligus upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan dan pengentasan kemiskinan. Pemerintah Provinsi Banten harus menjadi pengarah utama yang mampu menggerakkan Kabupaten/Kota yang berada di bawah kendalinya untuk secara bersama menggerakkan potensi utama masing-masing wilayah kearah peningkatan kesejahteraan rakyatnya.(*)

Penulis adalah Dosen IPDN Kampus Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun