Beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami pencapaian yang cukup luar biasa dalam penelitian. Tercatat bahwa Indonesia telah memasuki empat besar dengan jumlah publikasi internasional terbanyak di ASEAN (Gerintya, 2017). Pada tahun 2018, Indonesia bahkan berhasil melampaui  Singapura dan Thailand di posisi kedua.
Sayangnya, pencapaian ini hanya berupa kuantitas dan belum diimbangi dengan kualitas. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Kemenristekdikti, bahwasanya jumlah sitasi pada jurnal-jurnal tersebut masih sedikit (Octaviany, 2018). Ketika menyusun karya ilmiah selayaknya seseorang mengambil sitasi dari jurnal atau artikel lain. Tentunya dalam mengambil informasi ini, seseorang akan mempertimbangkan kualitas dari jurnal atau penelitian tersebut.Â
Dengan kata lain semakin banyak sebuah artikel ilmiah dikutip, semakin banyak orang yang percaya akan kualitas artikel tersebut dan menunjukkan bahwa jurnal tersebut memang berkualitas. Sementara itu, jumlah sitasi pada jurnal dari Indonesia dikatakan masih sedikit. Hal ini menandakan bahwa kualitas jurnalnya masih belum maksimal.
Banyak hal yang bisa mempengaruhi kualitas dari suatu publikasi ilmiah, salah satunya adalah literasi informasi. Literasi informasi adalah kemampuan untuk mengidentifikasi, mencari dan mengakses sumber informasi, mengevaluasi informasi serta mensintesa tulisan dan mempublikasikannya sesuai dengan etika yang berlaku.
Sangat penting bagi Mahasiswa sebagai salah satu bagian dari masyarakat akademik yang terikat dengan aturan dan norma ilmiah untuk memiliki kemampuan ini dengan baik. Apalagi ketika mahasiswa setidaknya akan melakukan satu kali penelitian ilmiah untuk tugas akhirnya. Sekalipun demikian, beberapa penelitian justru menunjukkan bahwa mahasiswa masih memiliki tingkat literasi informasi yang kurang (Al Hamidy dan Heriyanto, 2012).
 Pendidikan adalah satu hal yang bisa mempengaruhi pembelajaran seseorang, begitu pula dalam hal ini. Pendidikan yang berkaitan dengan literasi informasi adalah user education atau pendidikan pengguna (Mashuri, 2016). Salah satu contoh dari pendidikan pengguna adalah workshop dasar kepenulisan ilmiah yang sering diberikan kepada mahasiswa di tahun pertama. Tujuan dari adanya kegiatan ini tidak lain untuk membekali mahasiswa sehingga mampu untuk melakukan tugas-tugas kepenulisan ilmiahnya sepanjang perkuliahan dengan baik.
Pihak yang biasa berperan penting dalam pendidikan pengguna adalah perpustakaan. Perpustakaan sebagai pihak yang menyimpan, mengolah dan mengelola informasi pustaka (Mashuri, 2016) memiliki hak dan kompetensi untuk memberikan pendidikan ini. Maka tidak mengherankan jika di perpustakaan seringkali ditemukan standing banner atau poster yang berisikan informasi mengenai jurnal dan cara mengaksesnya.Â
Selain itu tenaga pengajar atau dosen juga tentunya memiliki peranan penting. Dosen mengajar dan berinteraksi langsung dengan mahasiswa sehingga dapat memberikan pendidikan pengguna di dalam kelas. Tidak jarang dosen memberikan tugas karya ilmiah, mengarahkan sumber untuk mencari informasi, atau mengkritisi sumber yang digunakan dan cara penulisannya.
Sekalipun sudah terdapat usaha-usaha dari pihak kampus, namun seringkali dirasa kurang efektif untuk memberikan keseluruhan pendidikan ini. Hal ini dikarenakan sebagian besar usaha berfokus kepada tahap-tahap awal dari literasi informasi, seperti identifikasi kebutuhan informasi, bagaimana mencari sumber informasi dan mengevaluasinya. Hal ini sejalan dengan penelitian Sunarni (dalam Wahyuni, 2018) bahwa kelemahan mahasiswa dalam literasi informasi justru ada pada kemampuan mensintesa serta mempublikasikannya sesuai dengan etika.
Disisi lain, rasanya tidak memungkinkan jika mengharapkan tenaga pengajar atau perpustakaan bisa mendampingi satu persatu mahasiswa hingga bisa mumpuni dalam  kompetensi ini. Perbandingan jumlah mahasiswa dengan perpustakaan dan dosen tidak mendukung, sementara besarnya jarak generasi kadangkala membuat cara sosialisasi kurang menarik bagi mahasiswa.
Cara terbaik dalam mempromosikan literasi informasi adalah mendorongnya menjadi budaya tersendiri di kalangan mahasiswa. Agen terbaik untuk mempromosikan hal ini tentunya dari mahasiswa sendiri. Mahasiswa bisa memberikan sosialiasasi dari mulut-ke-mulut atau juga melakukan program dengan cara yang lebih dekat dengan mahasiswa. Hal ini juga sekaligus melatih mahasiswa untuk menjadi agen perubahan atas masalah yang ada.