Mohon tunggu...
HMPS HUKUM TATA NEGARA
HMPS HUKUM TATA NEGARA Mohon Tunggu... Lainnya - Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Tata Negara Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Salatiga

Selamat datang di Website Kompasiana Karya Mahasiswa HTN, sebuah portal luar biasa di mana kreativitas dan intelektualitas mahasiswa Hukum Tata Negara (HTN) berkilauan dalam bentuk tulisan-tulisan inspiratif dan penuh makna. Di sini, Anda akan menemukan artikel, puisi, cerpen, esai, dan berita yang memancarkan dedikasi dan semangat tak tertandingi dalam mengeksplorasi setiap sudut hukum tata negara. Biarkan diri Anda terhanyut dalam setiap karya yang memikat dan mencerahkan, dan bergabunglah dalam perjalanan intelektual yang menakjubkan ini. Kunjungi kami sering-sering, karena selalu ada mahakarya baru yang siap untuk Anda nikmati dan kagumi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bayang-Bayang Pengkhianatan

14 Oktober 2024   13:00 Diperbarui: 14 Oktober 2024   13:19 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karya : Ayu Sofiana (HTN 22)

Di bawah langit yang kelam, malam merambat dengan sunyi, hanya diterangi sinar bulan pucat yang tergantung di angkasa. Udara dingin menusuk kulit, seakan ikut menyaksikan perjalanan yang tak menentu. Arya mengendalikan motornya dengan kecepatan yang memabukkan, diikuti deru motor teman-temannya yang setia berada di belakang. Suara mesin yang meraung-raung menghancurkan heningnya malam, namun hati mereka tetap terasa asing dan sepi.

Kegelapan semakin pekat, menyelimuti jalanan yang hanya ditemani oleh cahaya lampu jalan yang redup. Tiba-tiba, suara keras menggelegar, memecah suasana. "Brak!" Arya segera menoleh ke belakang, matanya mencari sumber suara yang menghantui telinganya. Hatinya mencelos saat mendapati salah satu dari mereka, Riko, terjatuh dan terkapar di aspal dingin. Dengan panik, Arya menghentikan laju motornya, lalu bergegas menghampiri Riko yang terkulai lemah.

"Riko!" Arya berteriak, suaranya serak penuh ketakutan. Ia melihat darah mengalir dari punggung Riko, menghitamkan jaket yang ia kenakan. Tembakan itu, begitu tepat menghujam punggungnya. Sementara Langit, dengan marah, berusaha mencari tahu siapa pelaku keji yang menyerang mereka. "Ban***, siapa yang nyerang kita?" tanya Langit dengan amarah yang meledak, matanya liar menatap sekitar, namun hanya bayangan malam yang menjawabnya.

Langit hendak berlari, mengejar bayangan hitam yang samar-samar terlihat. Namun Adi dengan cepat mencegahnya. "Mau ke mana lo? Jangan ngambil risiko, kita fokus aja ke Riko yang kena luka tembak," ucapnya dengan nada tegas. Arya pun setuju, dengan sigap ia mengangkat Riko dan meletakkannya di jok belakang motor, menalinya dengan jaket yang ia kenakan, berharap bisa menyelamatkan nyawa sahabatnya itu.

Di rumah sakit, waktu terasa berjalan lambat. Arya, Langit, dan Adi menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Suara langkah kaki dokter dan perawat yang lalu-lalang semakin menambah ketegangan yang menggantung di udara. Mereka hanya bisa berdoa dalam hening, berharap Riko selamat dari ancaman maut yang menanti.

Setelah berjam-jam yang terasa seperti selamanya, pintu ruang UGD terbuka. Riko, dengan tubuh lemah, akhirnya dipindahkan ke ruang inap. Wajah-wajah mereka yang tegang sedikit melunak, namun pertanyaan besar masih menggantung di benak mereka: siapa yang cukup nekat untuk menantang 'GENG HARIMAU,' kelompok yang selama ini ditakuti banyak orang?

Di dalam kamar yang sunyi, hanya suara detak jantung Riko yang terdengar, mengiringi tiap tarikan napas yang berat. "Siapa kira-kira yang menyerang kita tadi?" tanya Langit, masih dengan amarah yang belum reda, mengepalkan tangannya sambil menatap Riko yang belum sadar.

"Entahlah," sahut Adi, juga dengan nada marah yang tertahan. Arya diam, memandangi satu persatu sahabatnya. Pikiran-pikirannya berkelindan, mencari jawab atas misteri yang mengepung mereka. Siapa yang cukup berani mengkhianati mereka?

"Ar..." suara lemah Riko memecah lamunan Arya. Ia menoleh, melihat Riko yang kini setengah sadar, matanya membuka perlahan. "Minum," pintanya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Arya segera membantu, meraih gelas air dan mendekatkannya ke bibir Riko. "Gimana keadaan lo?" tanya Arya, penuh kekhawatiran.

"Sedikit lebih baik," jawab Riko pelan, mencoba tersenyum meski wajahnya masih menahan sakit. Tiba-tiba, pintu terbuka dan Langit masuk dengan langkah tergesa. "Eh, udah bangun lo," katanya, berusaha mencairkan suasana yang tegang.

Matahari mulai menyapa dari ufuk timur, sinarnya yang lembut menerobos jendela, menghangatkan ruangan yang dingin. Namun, hati mereka masih diliputi kegelapan, dihantui pertanyaan yang belum terjawab. "Pergi beli makan sono," ucap Langit, menatap Adi yang sibuk dengan ponselnya. "Kok gue?" protes Adi, namun Arya dengan cepat menyodorkan uang.

Dengan senyum lebar, Adi beranjak pergi ke kantin, diikuti Langit yang tak ingin ketinggalan. Dalam sekejap, hanya Arya dan Riko yang tersisa di ruangan itu, dalam diam yang canggung.

"Menurutmu siapa yang menyerangku tadi malam?" tanya Riko, matanya menatap Arya dengan penuh curiga. Arya menggeleng pelan, mencoba mengusir pikiran-pikiran buruk yang mulai merayap di benaknya.

"Apa kau berpikir ini ulah orang lain, atau mungkin dari dalam kelompok kita sendiri?" lanjut Riko, suaranya dipenuhi kecemasan. Arya menatap Riko dengan dingin, tanda ketidaksukaan terlihat jelas di wajahnya. "Aku sedang tidak ingin menduga-duga," jawab Arya datar, membuat Riko terdiam. Namun di balik sikapnya yang tenang, Arya mulai merasa sesuatu yang janggal—pengkhianatan yang bersembunyi di antara bayang-bayang.

Saat mereka kembali berkumpul, membawa makanan yang seharusnya menjadi sarapan, namun tidak ada seorang pun yang benar-benar merasa lapar. Pikiran mereka terjebak dalam pusaran kecurigaan dan ketakutan. Siapakah di antara mereka yang menyimpan niat jahat? Siapakah yang berkhianat?

Malam yang gelap telah memberi mereka pelajaran berharga, bahwa ancaman terbesar bukanlah datang dari luar, melainkan dari dalam dari orang-orang yang selama ini mereka percayai. Pengkhianatan bisa datang tanpa diduga, seperti bayangan hitam yang muncul di tengah malam, menghancurkan kepercayaan dan persahabatan yang telah mereka bangun selama ini.

Pesan Moral: Kepercayaan adalah pondasi dari setiap hubungan, entah itu persahabatan atau lebih dari itu. Namun, ketika kepercayaan itu dihancurkan oleh pengkhianatan, luka yang ditinggalkan tidak akan mudah sembuh. Maka dari itu, kita harus berhati-hati dalam memilih siapa yang kita percaya dan selalu waspada terhadap bayang-bayang pengkhianatan yang mungkin muncul kapan saja, dari siapa saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun