Karya : Ayu Sofiana (HTN 22)
Di bawah langit yang kelam, malam merambat dengan sunyi, hanya diterangi sinar bulan pucat yang tergantung di angkasa. Udara dingin menusuk kulit, seakan ikut menyaksikan perjalanan yang tak menentu. Arya mengendalikan motornya dengan kecepatan yang memabukkan, diikuti deru motor teman-temannya yang setia berada di belakang. Suara mesin yang meraung-raung menghancurkan heningnya malam, namun hati mereka tetap terasa asing dan sepi.
Kegelapan semakin pekat, menyelimuti jalanan yang hanya ditemani oleh cahaya lampu jalan yang redup. Tiba-tiba, suara keras menggelegar, memecah suasana. "Brak!" Arya segera menoleh ke belakang, matanya mencari sumber suara yang menghantui telinganya. Hatinya mencelos saat mendapati salah satu dari mereka, Riko, terjatuh dan terkapar di aspal dingin. Dengan panik, Arya menghentikan laju motornya, lalu bergegas menghampiri Riko yang terkulai lemah.
"Riko!" Arya berteriak, suaranya serak penuh ketakutan. Ia melihat darah mengalir dari punggung Riko, menghitamkan jaket yang ia kenakan. Tembakan itu, begitu tepat menghujam punggungnya. Sementara Langit, dengan marah, berusaha mencari tahu siapa pelaku keji yang menyerang mereka. "Ban***, siapa yang nyerang kita?" tanya Langit dengan amarah yang meledak, matanya liar menatap sekitar, namun hanya bayangan malam yang menjawabnya.
Langit hendak berlari, mengejar bayangan hitam yang samar-samar terlihat. Namun Adi dengan cepat mencegahnya. "Mau ke mana lo? Jangan ngambil risiko, kita fokus aja ke Riko yang kena luka tembak," ucapnya dengan nada tegas. Arya pun setuju, dengan sigap ia mengangkat Riko dan meletakkannya di jok belakang motor, menalinya dengan jaket yang ia kenakan, berharap bisa menyelamatkan nyawa sahabatnya itu.
Di rumah sakit, waktu terasa berjalan lambat. Arya, Langit, dan Adi menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Suara langkah kaki dokter dan perawat yang lalu-lalang semakin menambah ketegangan yang menggantung di udara. Mereka hanya bisa berdoa dalam hening, berharap Riko selamat dari ancaman maut yang menanti.
Setelah berjam-jam yang terasa seperti selamanya, pintu ruang UGD terbuka. Riko, dengan tubuh lemah, akhirnya dipindahkan ke ruang inap. Wajah-wajah mereka yang tegang sedikit melunak, namun pertanyaan besar masih menggantung di benak mereka: siapa yang cukup nekat untuk menantang 'GENG HARIMAU,' kelompok yang selama ini ditakuti banyak orang?
Di dalam kamar yang sunyi, hanya suara detak jantung Riko yang terdengar, mengiringi tiap tarikan napas yang berat. "Siapa kira-kira yang menyerang kita tadi?" tanya Langit, masih dengan amarah yang belum reda, mengepalkan tangannya sambil menatap Riko yang belum sadar.
"Entahlah," sahut Adi, juga dengan nada marah yang tertahan. Arya diam, memandangi satu persatu sahabatnya. Pikiran-pikirannya berkelindan, mencari jawab atas misteri yang mengepung mereka. Siapa yang cukup berani mengkhianati mereka?
"Ar..." suara lemah Riko memecah lamunan Arya. Ia menoleh, melihat Riko yang kini setengah sadar, matanya membuka perlahan. "Minum," pintanya dengan suara yang nyaris tak terdengar. Arya segera membantu, meraih gelas air dan mendekatkannya ke bibir Riko. "Gimana keadaan lo?" tanya Arya, penuh kekhawatiran.
"Sedikit lebih baik," jawab Riko pelan, mencoba tersenyum meski wajahnya masih menahan sakit. Tiba-tiba, pintu terbuka dan Langit masuk dengan langkah tergesa. "Eh, udah bangun lo," katanya, berusaha mencairkan suasana yang tegang.