Mohon tunggu...
HMPSEP UNPAR
HMPSEP UNPAR Mohon Tunggu... Ilmuwan - Himpunan Mahasiswa Program Sarjana Ekonomi Pembangunan

HMPSEP

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pengukuran Indikator Kesejahteraan Masyarakat

31 Agustus 2020   13:13 Diperbarui: 31 Agustus 2020   13:35 13604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesejahteraan masyarakat sangatlah penting bagi negara. Konsep dan pengukuran tingkat kesejahteraan masyarakat mempunyai kompleksitas persoalan yang sangat beragam. Pengukuran indikator kesejahteraan di Indonesia sering diaplikasikan menggunakan PDB (Produk Domestik Bruto), namun sebenarnya PDB digunakan sebagai indikator pencapaian kinerja ekonomi. 

PDB hanya mampu mengukur kegiatan ekonomi berbasis pasar dengan menganggap komponen - komponen dalam PDB memiliki kontribusi positif terhadap PDB terkecuali impor. Nordhaus dan Tobin (1972) menyatakan bahwa PDB bukanlah alat ukur kesejahteraan.

Di Indonesia indikator kesejahteraan diukur menggunakan 18 variabel. Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia berperan dalam mengintroduksi data dan informasi dari 18 indikator tersebut. Indikator yang dimaksud yaitu Laju Pertumbuhan Penduduk (LPP), Kepadatan Penduduk per km (KPP), Angka Melek Huruf (AMH), Rata-rata Lama Sekolah (RLS), Angka Harapan Hidup (AHH), Pengeluaran per Kapita (PPK), Persentase rata-rata pengeluaran untuk konsumsi makanan (PKM), Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Fasilitas Minum Sendiri (FMS), 

Persentase Rumah Tangga dengan Jenis Lantai Bukan Tanah (LBT), Persentase Rumah Tangga dengan Luas Lantai< 20 M2  (LLK), Persentase Rumah Tangga dengan Dinding Tembok (RDT), Persentase Rumah Tangga dengan Sumber Penerangan dari PLN (PLN), Persentase Rumah Tangga dengan Fasilitas Buang Air Besar Sendiri (BAB), Persentase Penduduk Miskin (RTM), Jumlah Pengangguran Terbuka (JPT), Persentase Penduduk yang Mengalami Keluhan Kesehatan Sebulan yang Lalu (PKK), Persentase Penduduk Mengalami Keluhan Kesehatan dan Kegiatannya Terganggu (PPB) serta Jumlah Penduduk Bekerja (JPB).

Kesejahteraan memang sulit didefinisikan, bahkan para ekonom sering mengalami deadlock ketika ingin menerjemahkan tingkat kesejahteraan yang ideal jika hanya menggunakan satu indikator saja. Simon Kuznets menyatakan bahwa PDB hanya alat ukur pendapatan nasional, sehingga kesejahteraan suatu bangsa hampir mustahil dapat disimpulkan oleh sebuah indikator pendapatan nasional (PDB) (Talberth et al., 2007). 

Para ekonom ekologis merancang sebuah indikator kesejahteraan yang berdasar kepada pendekatan pembangunan berkelanjutan yaitu Index of Sustainable Economic Welfare (ISEW) atau dikenal dengan Genuine Progress Indicator (GPI).

Genuine Progress Indicator (GPI) merupakan indikator yang mengukur kesejahteraan dan didasari oleh konsep pembangunan berkelanjutan. GPI dapat digunakan sebagai suplemen para pembuat kebijakan dalam menganalisis tingkat kesejahteraan di suatu negara. GPI pertama kali diperkenalkan ol loeh Daly dan Cobb pada tahun 1989 yang menghitung tingkat kesejahteraan di Amerika Serikat dari tahun 1950 sampai 1990 (Moffat et al., 2001). 

GPI memiliki kerangka pengukuran kesejahteraan yang lebih lengkap dari PDB sehingga dapat memberikan informasi yang lebih baik khususnya informasi mengenai keberlanjutan ekologi, keadilan sosial, dan efisiensi ekonomi (Costanza, 2009). Pembentukan GPI didasari atas kesadaran bahwa kita tidak hidup dalam ekonomi semata, melainkan hidup dalam masyarakat (society) atau lingkungan sosial, dan masyarakat itu sendiri berdiri dalam lingkungan alam (natural environment).

GPI menyertakan konsumsi sebagai faktor utama karena konsumsilah lebih mendekati keakuratan dalam menggambarkan kesejahteraan dibandingkan pendapatan yang dihitung oleh PDB. Selain itu, GPI juga memperhitungkan ketimpangan pendapatan, karena ketika ada ketimpangan, maka setiap tambahan pendapatan akan memberikan manfaat yang berbeda bagi masing-masing golongan pendapatan (Lawn, 2003). 

Selanjutnya, GPI juga menghitung pengeluaran defensive  dan menganggap pengeluaran tersebut cerminan penurunan kesejahteraan. Berdasarkan konsepnya, GPI diharapkan dapat menjadi alat ukur yang lebih akurat dan menyeluruh terhadap faktor sosial, lingkungan, dan ekonomi, baik yang tercermin di pasar maupun yang tidak. Untuk faktor-faktor yang tidak tercermin di pasar, GPI akan menghitung nilai moneter berdasarkan dari laporan dan atau penelitian. Secara umum, formula perhitungan GPI adalah sebagai berikut:

Formula Perhitungan GPI/koleksi pribadi
Formula Perhitungan GPI/koleksi pribadi

Perhitungan GPI sebelumnya pernah dilakukan di Amerika oleh Talberth et al. (2007) pada tahun 1950-2004. GPI Amerika Serikat pada tahun 1950-2004 cenderung mengalami tren peningkatan, meskipun peningkatannya tidak sebesar kenaikan PDB. Dapat dilihat pada gambar berikut  :  

PDB riil dan GPI riil 1950-2004 (miliar dollar AS)  [Sumber: Talberth et al. (2007)]
PDB riil dan GPI riil 1950-2004 (miliar dollar AS)  [Sumber: Talberth et al. (2007)]

Pada grafik tersebut, GPI riil meningkat dari USD 1,31 triliun pada tahun 1950 menjadi USD 4,42 triliun di tahun 2004. GPI mengalami rata-rata pertumbuhan sebesar 4% dari tahun 1950-2004. Penelitian Talberth et al. (2007) mempunyai kesimpulan bahwa berdasarkan data PDB riil dan PDB riil perkapita, penduduk Amerika Serikat pada tahun 2004 jauh lebih sejahtera dibandingkan penduduk pada tahun 1950. 

Namun, jika dilihat menggunakan GPI, hasilnya ternyata relatif berbeda. Peningkatan tingkat kesejahteraan penduduk Amerika Serikat di tahun 2004 tidak signifikan. Dalam Talberth et al (2007) ditemukan bahwa terjadi penurunan tabungan personal dan waktu luang untuk dihabiskan dengan keluarga dalam jangka panjang. Penurunan tabungan personal disebabkan oleh peningkatan utang personal, khususnya utang yang digunakan untuk kegiatan konsumtif.

Dalam menggunakan pengukuran GPI sebagai indikator kesejahteraan ada 3 tantangan. Tantangan pertama adalah masih adanya mainstream pembangunan ekonomi yang didasari konsep pertumbuhan ekonomi, dan; karena GPI menggunakan konsep pembangunan berkelanjutan dianggap dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. 

Model pembangunan berkelanjutan cenderung menitikberatkan pada keseimbangan tiga dimensi yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sedangkan model circular flow yang mainstream selama ini digunakan cenderung menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi semata. Padahal kesejahteraan manusia tidak dapat serta merta diwakili oleh kinerja ekonomi semata. 

Secara alamiah kegiatan ekonomi memang akan melahirkan eksternalitas negatif maupun positif terhadap dimensi lingkungan maupun sosial. Menurut Kuztens (1973) dan Juster (1973) (seperti dikutip oleh Dieren, 1995), kondisi lingkungan semakin lama akan semakin buruk jika kegiatan ekonomi tidak memperhatikan kapasitas lingkungan dalam menampung eksternalitas negatif, dan akhirnya akan mempengaruhi produktivitas perekonomian itu sendiri.

Tantangan kedua yaitu belum adanya persetujuan secara umum dari konsensus internasional terhadap penggunaan GPI sebagai indikator kesejahteraan. Berbagai upaya semenjak laporan Brundtland Commission (tahun 1987) dan deklarasi Rio (tahun 1992) dilakukan hanya sebatas merekomendasikan ISEW atau GPI sebagai indikator alternatif pembangunan berkelanjutan. 

Disamping itu, GPI juga menghitung kegiatan yang tidak berbasis pasar, sehingga perlu penajaman peran lembaga pusat statistik nasional dalam menyediakan data yang tidak berbasis pasar seperti modal lingkungan dan modal sosial. Ketika data sudah tersedia, penerapan GPI relatif akan lebih mudah diimplementasikan di suatu negara.

Tantangan ketiga yaitu aspek politis yang erat kaitannya dengan pemangku kebijakan. Ragam bentuk indikator pembangunan berkelanjutan memang jadi refleksi bagi suatu negara, namun umumnya indikator pembangunan berkelanjutan cenderung memberi informasi yang tidak populis bagi pemangku kebijakan. 

Hal tersebut dialami di berbagai negara seperti Amerika Serikat dan China. Setelah GPI diperkenalkan untuk jadi alternatif indikator pembangunan berkelanjutan, hal tersebut justru memicu gejolak sosial karena dianggap kebijakan pemerintah selama ini tidak mampu mengangkat tingkat kesejahteraan secara signifikan (Moffatt et al., 2001). 

Sementara di China, setelah China mempublikasikan hasil estimasi PDB yang berbasis lingkungan (Green GDP) di tahun 2004, memicu gejolak sosial di China yang menuntut pemerintah untuk segera menerapkan kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan.

Berdasarkan tantangan-tantangan tersebut, perlu adanya political will yang besar dari pemerintah suatu negara untuk memulai langkah besar melalui penerapan GPI sebagai indikator kesejahteraan. Disamping itu, penerapan GPI juga perlu diiringi upaya mainstreaming model pembangunan berkelanjutan di dalam kerangka pembangunan nasional suatu negara untuk dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang efektif mengubah perspektif masyarakat dan pelaku usaha sebagai agen ekonomi.

Kesimpulan

Kerangka pengukuran GPI dapat memberikan arah yang lebih baik daripada PDB untuk digunakan dalam perencanaan pembangunan. Bagi para pembuat kebijakan, GPI dapat digunakan sebagai indikator suplemen dari PDB karena mampu memberikan perspektif yang berbeda dalam menerjemahkan kesejahteraan, sehingga kebijakan yang harus diambil pun diindikasikan akan bervariasi.

Bagi pembuat kebijakan, GPI dapat memberikan informasi yang lebih baik khususnya dalam memasuki era pembangunan berkelanjutan yang menjadi arus utama model pembangunan di dunia saat ini. Sampai saat ini, memang PDB cenderung sulit untuk digantikan oleh indikator lain untuk melihat kinerja ekonomi, namun pembangunan ekonomi tidak hanya dapat dilihat dari PDB semata. 

Semakin memasuki era pembangunan yang berkelanjutan, mulai bermunculan indikator-indikator lain seperti Indeks Pembangunan Manusia (IPM), koefisien gini, Human Capital Index, Green GDP, sebagai indikator alternatif. Hal tersebut merefleksikan ketidakmampuan PDB untuk menerjemahkan tingkat kesejahteraan dan tingkat pembangunan nasional.

Pengukuran GPI diharapkan dapat digunakan di Indonesia dan memberi insight pagi pembuat kebijakan serta para pengamat ekonom untuk bersama-sama menciptakan kesejahteraan yang multidimensi dengan menyertakan aspek sosial dan lingkungan. Serta mampu memberikan informasi yang lebih tajam untuk menjadi bahan referensi dalam memformulasikan kebijakan publik.

 Untuk mendukung upaya penerapan GPI di Indonesia, diharapkan data-data statistik yang tersedia sudah mampu memfasilitasi perhitungan GPI. Dengan menerapkan GPI, pemerintah akan mampu mendeteksi masalah-masalah yang selama ini menghambat proses pembangunan nasional dalam mencapai target pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

References

Gerry Pramudya Sulaiman. (n.d.). Genuine Progress Indicator sebagai Indikator Kesejahteraan. 15.

Suyuti Marzuki. (2017, April 30). Social Welfare. Retrieved from wordpress

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun