Ketidakpuasan Raden Ronggo terhadap kebijakan kolonial dan tekanan internal mencapai puncaknya pada tahun 1810. Pada tahun tersebut, Raden Ronggo memimpin pemberontakan besar-besaran di Madiun dengan tujuan utama untuk menggulingkan dominasi Belanda dan mengembalikan otonomi penuh bagi Kesultanan Mataram.
Persiapan dan Mobilisasi Pemberontakan ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil dari persiapan panjang yang melibatkan perencanaan strategis dan mobilisasi sumber daya. Raden Ronggo bekerja sama dengan para pemimpin lokal lainnya untuk mengumpulkan pasukan yang terdiri dari petani, prajurit lokal, dan beberapa unsur bangsawan yang mendukung perjuangan ini. Pasukan yang dikerahkan diperkirakan mencapai sekitar 5.000 orang, yang dilengkapi dengan senjata tradisional seperti tombak, parang, dan senjata api buatan lokal.
Selain kekuatan militer, Raden Ronggo juga memanfaatkan jaringan dukungan dari komunitas Muslim dan kelompok-kelompok adat yang memiliki kepentingan dalam menjaga kedaulatan lokal. Ia memastikan bahwa komunikasi antar kelompok dapat berjalan efektif dengan menggunakan kode-kode rahasia dan pos-pos pengawas yang tersebar di berbagai wilayah strategis.
Awal Pemberontakan Pemberontakan dimulai pada bulan April 1810, ketika pasukan Raden Ronggo melakukan serangan mendadak terhadap pos-pos Belanda di sekitar Madiun. Serangan ini bertujuan untuk menghancurkan infrastruktur militer Belanda dan menciptakan kekacauan yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat posisi perlawanan8.
Pasukan Belanda yang berada di wilayah tersebut, meskipun terkejut oleh serangan, segera mengorganisir pertahanan. Namun, taktik gerilya yang diterapkan oleh Raden Ronggo membuat Belanda kesulitan dalam mengatasi serangan yang terus-menerus dan tidak terduga. Beberapa pos Belanda berhasil direbut oleh pasukan Raden Ronggo, yang kemudian digunakan sebagai basis operasi untuk serangan selanjutnya.
Konfrontasi dan Kemenangan Sementara Pada puncak pemberontakan, terjadi konfrontasi besar antara pasukan Raden Ronggo dan Belanda di perbatasan Madiun. Dalam pertempuran ini, Raden Ronggo menunjukkan kepemimpinan yang luar biasa dengan strategi mengepung dan memisahkan pasukan Belanda. Meskipun Belanda memiliki keunggulan teknologi dan logistik, keberanian dan taktik militer Raden Ronggo berhasil membawa pasukannya meraih beberapa kemenangan awal.
Kemenangan ini memberikan semangat baru bagi pasukan pemberontak dan menarik lebih banyak dukungan dari masyarakat lokal yang merasa tertindas oleh kebijakan kolonial. Raden Ronggo menggunakan momentum ini untuk memperluas wilayah pengaruhnya dan memperkuat lini pertahanan yang telah dibangun sebelumnya.
Penindasan Belanda dan Akhir Pemberontakan Menyadari ancaman yang ditimbulkan oleh pemberontakan Raden Ronggo, Belanda segera mengerahkan pasukan tambahan yang dipimpin oleh jenderal-jenderal handal. Operasi militer besar-besaran dilancarkan untuk menumpas pemberontakan dengan cepat dan efektif. Belanda menggunakan taktik perang modern, termasuk penggunaan artileri dan pasukan kavaleri, yang sangat sulit dihadapi oleh pasukan pemberontak yang masih mengandalkan senjata tradisional.
Pertempuran yang berlangsung sengit dan berkepanjangan akhirnya mengakibatkan kekalahan pasukan Raden Ronggo. Dalam upaya terakhir untuk mempertahankan wilayahnya, Raden Ronggo memimpin pasukannya dalam perlawanan yang heroik, tetapi kelelahan dan kekurangan suplai membuatnya tidak mampu bertahan. Pada akhir tahun 1810, pemberontakan Madiun secara resmi dinyatakan kalah, dan wilayah tersebut kembali berada di bawah kendali kolonial Belanda.
Raden Ronggo sendiri ditangkap dalam keadaan terluka dan kemudian diadili oleh Belanda. Ia dijatuhi hukuman mati sebagai contoh untuk mencegah pemberontakan serupa di masa depan.