Peradaban yang terjadi di dalam kehidupan manusia adalah sebuah kenyataan yang tidak pernah terlepas dari eksistensi pendidikan. Tugas utama pendidikan tidak saja hanya sebagai media untuk melakukan tranfer pengetahuan melainkan yang paling utama adalah sebagai media transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai budaya untuk membentuk manusia yang seutuhnya.
Pendidikan sebagaimana yang diungkapkan oleh Paulo Freire (Paulo Freire adalah salah seorang pemikir pendidikan bermadzhab kritis berkebangsaan Brasil yang mencurahkan hidupnya untuk pendidikan yang beprespektif kerakyatan.
Pendidikan yang diperuntukan untuk orang-orang miskin yang tertinggal) adalah usaha untuk memenusiakan manusia atau dengan kata lain pendidikan adalah proses humanisasi.
Sebagai sebuah aktivitas tentunya pendidikan tidaklah sama dengan sekolah. Term pendidikan akan selalu dikorelasikan dengan konotasi yang positif tentang segala aktivitas yang dilakukan untuk metransformasi diri menjadi manusia.
Sedangkan sekolah bila kita kembalikan kepada makna awalnya adalah kata (term) yang diambil dari bahasa Yunani yaitu "scolae" yang artinya adalah "waktu luang", maka tidak kemudian mengharuskannya mempunyai makna yang positif.
Sebab berbicara tentang sekolah pada zaman Yunani kuno hanya kaum aristokrasi atau bangsawan saja yang mempunyai banyak waktu luang untuk mempelajari pengetahuan-pengetahuan tertentu kepada orang-orang bijak sebagai instrumen untuk melanggengkan hegemoni kekuasaannya terhadap rakyat jelata.
Di lain pihak bagi rakyat jelata mereka tidak memiliki waktu luang yang dapat dipergunakan untuk sekolah, sebab waktu mereka hanya dihabiskan untuk bercocok tanam yang dengan senang hati mereka lakukan sebagai sebuah konsekuensi doktrin kebodohan yang ditanampamkan pada mereka.
Kebodohan tersebut mengaktual menjadi pengabdian semu kepada para raja atas dasar ketundukan yang dibangun di atas doktrin bahwa raja adalah anak atau wali Tuhan. Sehingga bila di era modern saat ini di tengah kuasa sistem Kapitalisme bila sekolah kemudian menjelma menjadi suatu institusi yang baik secara langsung ataupun tidak langsung berkontribusi bagi terbentuknya ketimpangan kelas sosial masyarakat, maka itu tidaklah mengherankan.
Sayangnya pendidikan oleh sebagaian masyarakat saat ini secara maknawi masih disamakan dengan sekolah. Sehingga bila term pendidikan yang disebutkan maka itu dipahami sama dengan sekolah dan begitu pula sebaliknya.
Pendidikan yang jelas-jelas tidak pernah bebas nilai (Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan tidaklah bebas nilai) kemudian diposisikan suci bebas dari kepentingan politik apapun. Padahal menurut Michel  Foucoult dengan tegas mengatakan bahwa pendidikan merupakan komponen yang tidak pernah lepas dari kekuasaan. Â
Dewasa ini tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pendidikan di negara ini tengah menghadapi problematika yang akut. Wajah pendidikan kita yang masih terkesan top down dari segi sistemnya, itu kemudian hanya mampu menghasilkan manusia-manusia atau genarasi-generasi robot yang latah yang tidak memiliki kemandirian, kepercayaan diri dan daya kreativitas yang tinggi.
Justru yang dihasilkan oleh pendidikan kita hanyalah generasi-generasi yang latah di tengah terpaan arus globalisasi dan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Padahal jika kita kembali menilik definisi pendidikan maka kita kemudian akan disajikan dengan untaian kalimat yang indah dan memiliki makna spiritualitas yang tinggi.
Berikut adalah beberapa batasan pendidikan. Pertama: "Pendidikan merupakan upaya nyata untuk memfasilitasi individu lain dalam mencapai kemandirian serta kematangan mentalnya sehingga dapat survive di dalam kompetisi kehidupannya."
Kedua: "Pendidikan adalah pengaruh bimbingan dan arahan dari orang dewasa kepada orang lain, untuk menuju ke arah kedewasaan, kemandirian serta kematangan mentalnya."
Ketiga: "Pendidikan merupakan aktivitas untuk melayani orang lain dalam mengeksplorasi segenap potensi dirinya, sehingga terjadi proses perkembangan kemanusiaannya agar mampu berkompetisi di dalam lingkup kehidupannya (insan cerdas dan kompetitif)".
Sedangkan menurut penulis pendidikan adalah aktivitas antar manusia yang dilakukan secara sadar oleh orang yang lebih dewasa kepada orang yang selainnya dengan maksud melahirkan manusia yang berilmu pengetahuan luas dan terampil dengan dilandasi oleh moralitas yang tinggi berdasarkan nilai-nilai ke-Tuhanan atau Ilahiah sebagai modal utama guna membangun peradaban.
Dari keempat definisi di atas terdapat beberapa kata kunci (keyword) yang penting untuk digaris bawahi yaitu pada pengertian ke-I: Memfasilitasi, Kemandirian, Kematangan, Mental, Survive dan Kompetisi. pada pengertian ke-II: Bimbingan, Kedewasaan, Kemandirian, Kematangan dan Mental. pada pengertian ke-III: Melayani, Mengeksplorasi, Potensi, Perkembangan, Kemanusiaan, Cerdas dan Kompetitif.
Nah pertanyaannya kemudian apakah definisi yang sekaligus secara implisit menyiratkan tujuan mulia pendidikan sebagaimana yang telah disebutkan di atas telah terwujud dalam praktik pendidikan kita saat ini dalam semua tingkat, jenjang dan jalur pendidikan khususnya pendidikan formal saat ini?
Mari kita juga minilik regulasi yang menaungi sistem dan implementasi pendidikan nasional. Di dalam TAP MPR RI No. II/MPR/1993 tentang Program Utama Pengembangan Pendidikan di Indonesia disebutkan ada 6 (enam) program utama  Pengembangan Pendidikan Di Indonesia yaitu:
1. Â Â Â Â Perluasan dan pemerataan kesempatan mengikuti pendidikan
2. Â Â Â Â Peningkatan mutu pendidikan
3. Â Â Â Â Peningkatan relevansi pendidikan
4. Â Â Â Â Peningkatan efisiensi dan efektivitas pendidikan
5. Â Â Â Â Pengembangan kebudayaan
6. Â Â Â Â Pembinaan generasi muda
Kembali kita bertanya apakah keenam program utama pengembangan pendidikan tersebut sudah terealisasi?
Secara konseptual ada dua faktor yang mempengaruhi pendidikan yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berhubungan dengan kebijakan pemerintah sampai pada level praktisnya dan faktor eksternal berhubungan dengan kepentingan ideologi dan ekonomi politik global.Â
Jika kita bersepakat dengan tesis bahwa pendidikan di Indonesia saat ini sedang mengalami permasalah yang pelik, maka tentunya menjadi tanggung jawab kolektif untuk menyelesaikannya, yang tentunya juga dibekali dengan kemampuan intelektual untuk melalukan analisis yang mendalam tentang permasalahan tersebut.
Permasalah pendidikan yang terjadi di negara ini dapat dilihat dari dua sudut pandang yaitu permasalahan pendidikan sebagai sebuah sub-sistem dan permasalahan pendidikan sebagai sebuah sistem yang kompleks. Permasalah pendidikan sebagai sebuah sub-sistem dilihat dari bangunan paradigma yang melatarbelakangi kebijakan pendidikan itu sendiri.
Di Indonesia harus diakui bahwa paradigma yang dominan adalah paradigma sekuler, hedonis, materialis dan liberal. Paradigma itulah yang menghegemoni (mendeterminasi) kebijakan pendidikan kita.
Sebagaimana yang disampaikan oleh William F. O'Neil yang juga dipertegas oleh Mansyur Fakih bahwa paradigma liberal yang berkolaborasi dengan paradigma konservatif memaksa pendidikan hanya menjadi satu komponen penopang kepentingan kapitalisme global.
Pendidikan berparadigma liberal hanya mampu melahirkan orang-orang yang bodoh, tidak kritis, dan latah serta bermental pragmatis-oportunis. Melalui orang-orang semacam itulah jika mereka berada pada kursi kekuasaan hanya akan melahirkan penguasa oportunis yang kapitalistik, dari mereka sistem dan atau regulasi dibuat.
Mereka melahirkan sistem pendidikan yang latah yang berimplikasi pada lahirnya pendidikan yang tidak kontekstual beriringan dengan mutu pendidikan yang terus mengalami keterpurukan. Para penguasa oportunis ini hanya mampu melahirkan regulasi dan kebijakan yang pada hakikatnya hanya mendukung kepentingan kaum Kapitalis untuk memenuhi hasrat dirinya mengakumulasi kapital sebanyak-banyaknya.
Lalu apa yang dialami oleh pendidikan? Pendidikan hanya menjadi bagian dari realitas sosial yang teralienasi dari masyarakat. Padahal Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sisdiknas Pasal 4 Ayat 1 dengan tegas mengatakan bahwa:
"Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air."
Kemudian permasalah pendidikan sebagai sebuah sistem yang kompleks, di dalamnya meliputi aspek pemerataan pendidikan, efektifitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan, dan mutu dan relevansi pendidikan. Dalam Propernas tahun 2000-2004 yang mengacu kepada GBHN 1999-2004 mengenai kebijakan pembangunan pendidikan pada poin pertama menyebutkan:
"Mengupayakan perluasan dan pemerataan memperoleh pendidikan yang bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia menuju terciptanya Manusia Indonesia berkualitas tinggi dengan peningkatan anggaran pendidikan secara berarti".
Dari prespektif permasalah pendidikan sebagai sebuah sistem dari aspek pemerataan pendidikan, fakta yang terlihat bahwa kerusakan sarana dan prasarana ruangan kelas, kekurangan jumlah tenaga guru, dan keterbatasan aksesibilitas dan daya tampung sekolah masih terjadi di banyak sekolah di negeri ini.
Kemudian aspek efektifitas dan efisiensi pengelolaan pendidikan yang memiliki hubungan pararel antara satu dengan yang lainnya yaitu menyangkut rendahnya mutu SDM pengelola pendidikan, yang diakibatkan oleh keterbatasan anggaran pendidikan mengakibatkan jumlah dan kualitas buku yang belum memadai.
Kemudian ditambah lagi dengan kesejahteraan guru belum optimal yang kemudian mengakibatkan rendahnya kualitas guru berimplikasi pada proses pembelajaran yang konvensional, sehingga mengakibatkan rendahnya prestasi siswa.
Praktek pendidikan juga yang belum berbasis pada masyarakat dan potensi daerah, ditambah dengan belum optimalnya kemitraan dengan dunia usaha karena rendahnya life skill yang dimiliki. Itulah segudang persoalan pendidikan yang sedang dihadapi oleh bangsa kita sampai hari ini. Lalu apa solusinya?
Penulis melalui tulisan ini ingin menawarkan solusi mendasar bagi problematika pendidikan Indonesia. Ada 3 (tiga) langkah solutif yang perlu dilakukan yaitu:
Langkah Pertama: Rekonstruksi/revitalisasi paradigma Pancasila sebagai paradigma Pendidikan Nasional. Memanifestasikan nilai-nilai luhur Pancasila dalam penyelenggaraan pendidikan nasional  (menjadikan Pancasila sebagai paradigma pendidikan sebab nilai-nilai luhur Pancasila relevan dengan Nilai-Nilai ke Islaman). Inilah solusi mendasar.
Langkah Kedua: Rekonstruksi terhadap sistem sosial dan kemudian merelevansikannya dengan sistem pendidikan yang ada. Reformasi sistemik secara holistik di segala bidang kehidupan dan mensinergikannya dengan sistem pendidikan (hal ini mempersyaratkan adanya political will dari pemerintah). Ini adalah solusi sistemik.
Langkah Ketiga: Tindakan teknis yang meliputi cara yang konfensional dan cara yang inovatif bagi permasahan-permasalahan internal. Tindakan konkrit (aksi nyata) di lapangan dengan melakukan berbagai macam kegiatan baik yang bersifat fisik maupun non fisik yang berhubungan dengan peningkatan mutu pembelajaran. Ini adalah solusi teknis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H