Dalam diskusi yang di selenggarakan di kanun coffe dengan tema "Relasi Islam Dan Politik" dengan pemantik Kanda Nanang A Daud dan Reika Syarie Izha Mahendra sebagai pemantik dengan menyinggung Masalah pergerakan organisasi islam diindonesiakini telah kita ketahui bahwa banyak perhatian publik apa yang terbayang dibenak anda ketika gerakan islam yang dibilang murni gerakan dan juga gerakan yang selalu mengatasnamakan agama ini belakangan ini cendrung mengalami peyorasi karena diasosiasikan dengan gerakan berorientasi politik atau menghalalkan cara cara kekerasan untuk mencapai tujuan politik padahal gerakan dalam konteks sejarah islam mengacu pada dua konsep, yakni pembaharuan (tajdid) dan reformasi yang meniscayakan makna perubahan dan transformatif secara damai dan beradab.
Kita sering melihat tokoh agama organisasi keagamaan memakai trik politik untuk mencapai dan mempertahankan kepemimpinan terhadap umat, layaknya disebut rohaniawan ulama ulama ini mempunyai pengetahuan dan pemahaman keagamaan yang dangkal serta tidak memiliki pengalaman dalam memimpin umat ia hanya ingin menggunakan umat sebagai sapi perah dengan cara berceramah yang didalamnya diuraikan provokasi terhadap lawan politiknya sehingga ini pun menjadi sebuah masalah dalam memperbaiki ahlak kerohanian umat manusia dan kemudian memberikan pemahaman buruk kepada masyarakat seharus tokoh agama ini harus tidak keluar dari jalanya untuk selalu berpegang teguh kepada nilai nilai keislaman yang murni.
Manusia adalah makhluk sosial yang tidak dapat hidup sendiri, oleh karena itu pasti terjadi interaksi diantara sesama. Setiap individu pasti mengingikan kesejahteraan namun dalam proses pasti tidak seluruh posisi bisa ditempati oleh individu tujuan dapat dicapai melalui berbagai macam cara, namun usaha untuk menduduki suatu posisi agar dapat memiliki kewenangan dalam menata sbuah sistem dengan skala yang lebih besar demi mewujudkan  kepentingan serta cita cita tertentu, itulah dapat kita sebut sebgai politik. Identitas ada pada setiap manusia, begitu pula politik yang mengalir dalam kehidupan masyarakat, maka ada yang dinamakan dengan politik identitas, penting untuk mengetahui karena berhubugan dengan situasi politik beberapa tahun terakhir.
Mahkamah Konstitusi (MK) mengakui enam kepercayaan resmi yaitu, Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Cu agar tercantum di Kartu Tanda penduduk masing masing warga negara . data data tersebut Tanda sudah membuktikan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan kebudayaan dari segi apapun. Namun segala sesuatu yang berlebihan dapat dikatakan kurang baik, karena berpotensi menimbulkan kegaduhan dan kebencian dalam kehidupan masyarakat. Adanya ketimpangan antara kaum minoritas dan mayoritas yang selalu memberikan rasa ketidakamanan didalam masyarakat ini memberikan ketakutan masyarakat.
Telah menjadi pengetahuan umum bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk mayoritas Muslim. Dari 237 juta jiwa total penduduknya (BPS: 2010), mereka yang memeluk Islam mencapai 87%, sementara Katolik sebanyak 2,9%, Kristen Protestan 6,9%, Buddha 0,05%, Hindu 1,69%, dan Konghucu 0,13%. Dari gambaran ini menjadi jelas bahwa penduduk Indonesia adalah masyarakat yang beragama.
Keberagamaan yang menjadi ciri bangsa ini semestinya menjadi modal penting bagi terciptanya berbagai kemajuan. Sebab, setiap agama mengajarkan nilai-nilai kesalehan kepada seluruh hambanya.
Dalam Islam, misalnya, teks yang menyebutkan supaya umat muslim berlaku adil (al-Maidah: 8-10), peduli terhadap sesama (al-Maun: 1-7), larangan saling bermusuhan (al-Hujurat: 12), serta merajut kebersamaan (al-Hujurat: 10), sangat ditekankan. Satu setengah tahun menjelang digelarnya Pemilihan Umum 1971, jagat politik Indonesia gempar.
Tepatnya pada awal 1970, Nurcholish Madjid yang ketika itu adalah Ketua Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam melontarkan sebuah kalimat, 'Islam Yes, Partai Islam No'. Kalimat itu dia sampaikan saat berpidato di acara halalbihalal bersama Gerakan Pemuda Islam (GPI), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), dan Pelajar Islam Indonesia (PII).
Dia membawakan pidato berjudul "Keharusan Pembaharuan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat".Ya, itulah salah satu buah pemikiran Cak Nur yang lahir pada 17 Maret 1939 atau 79 silam di Jombang, Jawa Timur. Dia adalah anak dari seorang kiai terpandang yang juga salah satu pemimpin Masyumi, KH Abdul Madjid.
Setelah melewati pendidikan di pesantren Gontor, Ponorogo, serta menempuh studi kesarjanaan IAIN Jakarta (1961-1968) Nur Cholish Madjid melanjutkan studi doktoralnya di Universitas Chicago, Amerika Serikat (1978-1984) Di Chicago Pemikiran politik Nurcholish semakin memasuki ranah filsafat. Di masa itulah Nurcholish sempat terlibat perdebatan segitiga yang seru dengan Amien Rais dan Mohamad Roem.
Semua bermula dari sebuah artikel 'Tidak Ada Negara Islam' di Majalah Panji Masyarakat No. 376. Artikel tersebut merupakan hasil dari wawancara redaksi Majalah Panji Masyarakat dengan Amien Rais. Amien di kemudian hari mendirikan Partai Amanat Nasional dan menjadi Ketua MPR RI. Cak Nur dan Mohamad Roem kemudian saling berkirim surat. Melalui surat itulah mereka berdiskusi. Surat terakhir Cak Nur ke Mohamad Roem dikirim pada 15 September 1983.Â
Surat itu tak sempat dibalas karema Roem meninggal dunia pada 24 September 1983. Jelas, Pak Roem tak sempat membalasnya. Sepuluh tahun setelah suratnya ke Pak Roem terhenti, nama Cak Nur kembali mewarnai panggung politik. Kali ini bukan lantaran pernyataanya, namun karena dia maju konvensi calon presiden dari Partai Golkar. Konvensi itu digelar untuk mencari calon presiden yang akan diusung oleh Partai Golkar.
Di tengah maju konvensi Partai Golkar, Cak Nur pernah meminta dukungan kepada Partai Keadilan (kini menjadi Partai Keadilan Sejahtera) untuk maju sebagai calon presiden di Pemilu 2004. Hal itu diungkapkan oleh Wakil Ketua Dewan Syuro PKS, Hidayat Nur Wahid saat berbincang dengan detikcom, Sabtu (17/3/2018).
Saat meminta dukungan itulah, Hidayat Nur Wahid mempertanyakan pernyataan Cak Nur, 'Islam Yes, Partai Islam No'. Kepada Nurcholis Madjid, Hidayat bertanya, "Bagaimana Anda meminta dukungan dari kami yang partai Islam, sementara Anda pernah mengatakan, Islam Yes Partai Islam No?".
Di situlah, kata Hidayat, Cak Nur mengoreksi pernyataanya menjadi 'Islam Yes, Partai Islam Yes'. Hidayat dan sejumlah petinggi Partai Keadilan saat itu sempat kaget. Namun kemudian Cak Nur memberikan penjelasan. Kalimat, "Islam Yes Partai Islam No" muncul tahun 1970 saat kondisi partai Islam belum bisa menjadi wahana aspiratif dan harapan bagi masyarakat.
Ketika itu Partai Islam belum bisa mengemas secara apik bahasa agama ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang plural. Tapi begitu Cak Nur melihat PK yang ketika itu kelahirannya dibidani oleh tokoh-tokoh lulusan Eropa dan Timur Tengah, paradigmanya soal Partai Islam berubah. Sehingga selain dari konvensi Golkar, dia pun coba meminta dukungan dari PK untuk maju sebagai calon presiden 2004. Cak Nur kemudian memilih mundur dari konvensi Golkar dan tak pernah lagi maju sebagai calon presiden.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H