Mohon tunggu...
HMustamin Batong
HMustamin Batong Mohon Tunggu... -

Belajar mengasah diri untuk membangun kepekaan nurani dan aqli. Sementara masih berselindung di balik rimbunnya mahligai ilmi.Semoga terberkati adanya...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menimbang Kebijaksanaan Habibie & Zainuddin Maidin

17 Desember 2012   04:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:31 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Nama Zainuddin Maidin, mantan Menteri Penerangan Malaysia, mendadak terkenaldi Indonesia setelah melabeli mantan Presiden BJ. Habibie sebagai “the dog of imperialism”. Maidin yang dikenal dengan sebutan Tan Sri Zamini juga menggambarkan Habibie sebagai sosok egois, memualkan, dan pengkhianat bangsa Indonesia.

Ungkapannya itu dimuat di media utama milik kerajaan Malaysia dalam rubrik rencana (editorial) koran Utusan Malaysia (10/12/2012). Artikel tersebut tidak hanya menambah deretan isu yang mengeruhkan hubungan bilateral Indonesia-Malaysia, tetapi juga dapat diartikan sebagai bentuk fobia berlebihan.

Ketakutan ini tercermin dari pokok pemikirannya yang mengulas isu secara serampangan dan menghubungkan kedatangan Habibie ke Selangor dengan kegiatan reformasi yang dimotori ketua partai pembangkang (oposisi), Anwar Ibrahim di Malaysia. Habibie yang dikenal sebagai pembuka kran demokrasi dan kebebasan pers di Indonesia, ternyata kedatangannya dilihat menimbulkan provokasi yang bisa semakin memperkokoh kedudukan Anwar dalam melaungkan demokrasi di Malaysia.

Fobia dan Nafsu

Fobia terjadi karena adanya ketakutan berlebihan terhadap keadaan tertentu yang dapat menghambat kehidupan penderitanya. Kemunculannya bisa wujud dalam dimensi psikologis, politis dan sosial dengan ciri-ciri seperti: cemas, bimbang, takut, berfikir negatif dan ragu serta mencurigai orang lain dalam setiap interaksi di luar kelompok kepentingannya.

Makanya, fobia yang muncul bisa dibilang cerminan mental dari kualitas akal dan fikiran seorang individu. Akal dan fikiran inilah yang menentukan corak berfikir. Begitupun, santun tidaknya ekspresi komunikasi yang digunakan ketika berbicara dan bersikap, tergantung akal dan fikirannya. Pendeknya, akal dan fikiran sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan sikap, keperibadian dan tingkah laku manusia.

Ainon Mohd. dengan gelaran De Bono Malaysia, merupakan jurulatih bidang berfikir dan kreativitas pernah menulis bahwa salah satu kesilapan berfikir yang selalu kita buat ialah prasangka, atau bersikap prejudis terhadap orang lain. Baik dan buruknya prasangka terbentuk dari bagaimana penilaian kita terhadap orang lain; bagaimana kita mengelompokkannya (kawan atau lawan); dan bagaimana kita turut mempopulerkan atau mensosialisasikannya.

Prasangka buruk tanpa mengenal hakikat sesuatu secara benar muncul dari nafsu atau jiwa yang tercela (nafs al-ammarah). Jiwa ini bersifat kotor dan buruk yang diwataki oleh emosi yang tidak terkawal dan pikiran yang tidak rasional. Jenis nafsu ini suka mengadu domba, hasad dan dengki, khianat, angkuh, sombong, takabur, cemburu, emosional, suka kalau orang bertengkar dan mudah menuding yang bukan-bukan (fitnah). Jenis nafsu ini pada dasarnya mudah kalap, mengidap penyakit fobia dan suka menonjolkan diri untuk mencari perhatian agar bisa mendapat keuntungan.

Sedangkan prasangka baik bersumber dari nafs al-mutmainnah. Cerminan jiwa ini lebih tenang, suka memaafkan berbanding marah, bersabar atas hinaan, dan menganggap cercaan sebagai cobaan. Setiap peristiwa yang dihadapi tidak mudah terguncang atau bertindak secara reaktif mengikut kehendak hawa nafsu. Oleh karena itu, jenis manusia model ini berada dalam kebaikan dan stabil (QS. 89: 27-28). Berada dalam di peringkat emosi yang tenang dan matang, dapat berfikir dengan rasional, tidak mementingkan diri sendiri dan senantiasa menjaga hubungan baik dengan sesama manusia, alam dan Tuhannya.

Tipikal individu jenis inilah yang kerap akan mencapai taraf kebijaksanaan (hikmah). Naquib Al-Attas, ilmuan terkemuka Malaysia yang lahir di Bogor, pernah menyatakan dalam kuliahnya, hikmah atau kebijaksanaan adalah ilmu tertinggi. Hikmah adalah cerminan ketinggian ilmu yang dimiliki seseorang. Hikmah tidak dapat diraih tanpa ilmu dan pemahaman yang benar terhadap segala sesuatu.

Mengenal Kebenaran

Agar fobia dan prasangka nafsu yang buruk tidak berlarutan, harus dicegah dengan mengajarkan keyakinan (percaya diri) dan kebaikan. Keyakinan hanya dapat diraih dengan ilmu dan kebenaran. Untuk mendapatkan ilmu harus melalui proses pengenalan dan pengetahuan yang berterusan, agar dapat membuahkan keyakinan dalam memahami segala sesuatu secara nyata dan benar. Tidak boleh mengenal secara sekilas saja lantas membuat penilaian dan prasangka, karena bisa mengakibatkan ketidakadilan, yaitu tidak dapat menempatkan sesuatu pada tempat yang sewajarnya.

Begitupun, tidak mungkin dapat mengenal kebaikan dan keburukan seseorang secara baik dan benar tanpa keintiman mendalam dalam persahabatan. Ketika memberi penilaian terhadap apa yang dianggap benar tidak bisa hanya sekedar tahu berdasarkan informasi luaran semata tanpa ilmu pengetahuan yang mendalam.

Ilmu yang ada dalam diri sangat menentukan kecenderungan seseorang mengolah informasi dari luar. Apakah berdasarkan pengenalan secara intim melalui ungkapan rasa batin, atau hanya sekedar berdasarkan tahu secara empirik berdasarkan pengamatan lahiriah. Di sinilah bedanya antara orang yang mengenal dengan sekedar tahu.

Makanya, persepsi dan penilaian positif dan negatif seorang individu terhadap orang lain apalagi mereka yang memiliki pengaruh, akan sangat besar implikasinya baik dalam lingkup individu dan sosial. Baik buruknya menyikapi atau merespon keadaan sangat bergantung tahap kebijaksanaannya.

Ketika seseorang mengklaim diri berbicara atas nama kebenaran meskipun akan menuai keresahan, tidak bisa lantas mengatakan ini pandangan pribadi saya seakan-akan tidak menghiraukan orang lain. Hal ini karena pendapat yang keluar dari ranah individu melalui media atau lisan secara otomatis memiliki dampak sosial dan politik. Makanya individu dan masyarakat tidak bisa dipisahkan. Masyarakat lahir dari adanya individu dan kelompok keluarga. Kedua-duanya harus dipadukan, tidak boleh ada dualisme dan dikotomi antara subjek dan objek, pemerhati dan yang dijadikan objek perhatian.

Tan Sri Zama sepertinya tidak menyadari bahwa apa yang ditulisnya akan menjadi konsumsi publik. Pandangannya akan berimplikasi terhadap hubungan diplomatik Indonesia-Malaysia, dan persaudaraan dua negara serumpun yang akrab berdasarkan sudut asas budaya dan juga agama yang sama.

Mungkin jika di Barat, orang mengeluarkan kata-kata cercaan dan hinaan merupakan fenomena biasa karena mereka mengamalkan kebebasan berpendapat.Tapi tidak bagi kita di Timur. Kebebasan bukan berarti tiada batasnya, tapi kebebasan berpendapat bermakna membebaskan diri daripada persoalan-persoalan yang mengarah kepada ketidakharmonisan hubungan masyarakat dan negara. Bukan kebebasan yang menganjurkan keburukan yang memprovokasi keadaan. Kebebasan adalah mengembalikan diri kepada kebaikan, yaitu saling nasehat menasehati perihal kebaikan dan kesabaran.

Sebenarnya, kesantunan bahasa mencerminkan integritas dan keutuhan internal pribadi seorang individu. Benar kata Habibie, jika orang menghina kita, anggap saja sebagai pujian karena mereka berjam-jam memikirkan kita, sedangkan kita tidak pernah sedetikpun memikirkannya. Kebesaran dan keharuman nama Habibie di Indonesia dan persada internasional jelas tidak terekam secara benar dalam diri Zainuddin Maidin. Meskipun kelihatannya dia telah mulai “berjinak-jinak” mencari tahu tentang Habibie, namun spekulasinya terlalu tinggi dan memberi kesimpulan yang kurang bijak dan salah.

Seyogianya, tulisan Maidin yang ditujukan kepada Habibie tidak perlu dibahasakannya secara kasar yang tidak mencerminkan reputasi sesungguhnya sebagai seorang mantan Menteri. Kitapun juga tidak perlu meresponnya dengan amarah yang luar biasa. Karena pada dasarnya, apa yang diungkapkannya itu juga membuktikan dia termakan oleh hasutan fobianya sendiri yang mengasumsikan martabat dirinya tidak jauh-jauh dari apa yang ditulisnya. Dalam hal ini, kita bisa sama-sama menimbang antara mana yang benar-benar negarawan dengan negarawan karbitan dan tiruan.

Wallahu A’lam

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun