Buku ini berusaha memotret bagaimana fenomena intoleransi dalam ruang lingkup pendidikan, terutama bangku sekolah SMA dan Perguruan Tinggi. Pendekatan yang dilakukan tidak hanya menghimpun data-data kuantitatif tetapi juga kualitatif.
Jadi, penulis tidak hanya mewawancarai sebanyak-banyaknya pelajar, tetapi juga melakukan perbincangan yang lebih intens untuk bisa lebih menangkap akar-akar yang paling mendasar dari setiap sikap yang dipilih oleh pelajar. Penulis juga mempertemukan antara data-data lapangan yang bersifat aktual tersebut dengan teori-teori dari para akademisi agar pembaca bisa menerima penjelasan yang masuk akal dan dapat diterima atas fenomena tersebut. Sekaligus melihat mana teori yang kurang relevan ketika dihadapkan kepada kondisi yang ada di Indonesia.
Berbicara toleransi dan intoleransi, saya ingin ikut berkontribusi memberikan pandangan. Bagi saya hidup di dunia ini sunnatullah-nya tercipta dengan banyak perbedaan, sikap toleransi menjadi sangat penting. Dengan kesadaran akan adanya pluralitas itu saya pribadi membiasakan diri untuk bisa nyaman dengan setiap perbedaan yang ada. Seandainya kita semua 'sama' maka toleransi mungkin bisa tidak dibutuhkan, tetapi faktanya tidak demikian.
Manusia memang cenderung lebih nyaman bersama dengan yang 'sama', orang Jawa lebih suka bersama dengan Jawa, Muslim dengan Muslim, yang se-ide dengan yang se-ide dan lainnya. Kecenderungan seperti itu wajar, tetapi dengan kadar yang tepat, karena terkadang kecenderungan tersebut bablas mendorong manusia untuk menegasikan yang berbeda darinya.
Apakah dengan alasan yang sama kita juga harus toleransi kepada mereka yang punya pikiran-pikiran teror, kriminal dan sejenisnya? Mungkin di sini pentingnya kita mesti memiliki dasar yang sama dalam membangun hubungan toleransi, dasar yang menjadi kesepakatan bersama, dasar yang secara naluriah menjadi kebutuhan kita bersama, yakni kedamaian. Toleransi kita harus dibangun di atas kepercayaan bahwa kita yang saling berbeda ini, sama-sama perlu dan membutuhkan kedamaian.
Di sinilah menurut saya batas toleransi. Ketika kita bertoleransi dengan segala perbedaan yang ada, ada sebagian kecil perbedaan yang tidak bisa kita tolerir yaitu ke-tidak-damai-an. Kenapa kedamaian? Karena ia adalah kebutuhan asasi bagi setiap jenis kita, apa pun suku, jender, golongan, agama, dan sebagainya. Jadi yang menjadi indikator paling asasnya harus yang diakui oleh semua, bukan faktor-faktor menurut golongan tertentu.
Menurut golongan A babi itu tidak boleh dimakan, tapi bagi golongan B boleh, apakah faktor haram babi bagi golongan A tepat dijadikan dasar indikator untuk bersikap intoleran kepada golongan B? Bagi saya tidak bisa, apa pun alasannya.
Tetapi seandainya golongan B adalah pro pemakan babi 'garis keras', sehingga mereka berbuat anarkis, kriminal, bahkan teror, kepada para pihak yang tidak makan babi. Maka bagi saya perbuatan tersebut pantas untuk ditertibkan dengan tegas demi kedamaian bersama.
Oleh karena itu mungkin kita bisa katakan bahwa 'intoleransi' boleh terjadi kepada siapa yang tidak punya komitmen tentang kedamaian. Intoleransi ini tersalurkan dengan upaya pencegahan, penghukuman, dan perlawanan terhadap tindakan yang anti damai, biasanya oleh para aparatur negara. Jadi, toleransi apakah ada batasnya? Menurut saya 'ada', yaitu ketika kedamaian bersama terancam. Kita tidak bisa mengatakan kepada polisi yang menertibkan preman pasar dengan mengatakan "Hai polisi kasih toleransi dong! Preman juga cari rezeki, cuma caranya saja yang berbeda".
Tetapi di sini ada polemik, jika damai adalah indikator, apakah pikiran anti damai harus ditertibkan sejak dalam pikiran atau hanya jika sudah keluar menjadi aksi? Saya termasuk yang percaya bahwa akan sulit untuk menghakimi pikiran seseorang, karena pikiran itu tidak ada wujudnya, berbeda dengan aksi atau tindakan yang sifatnya kasat mata. Jika kita percaya bahwa aksi selalu didasari oleh pikiran, maka menghakiminya mesti setelah menjadi aksi. Menghakimi pikiran tanpa ada dasar atau bukti nyata dari aksi yang melanggar, hal itu akan menjadikan kita saling curiga dan penghakiman akan terjadi secara semena-mena oleh pihak tertentu yang kuat, berdasarkan tafsir mereka atas pikiran seseorang, yang belum pasti benar.
Pikiran biarkanlah bebas, jika kita merasa pikiran si A bermasalah atau berbahaya maka lawanlah pikirannya dengan pikiran tandingannya.
Saya bersyukur, dari data-data yang dihimpun oleh penulis buku, bahwa dari sekian banyak pelajar yang dinilai oleh penulis sebagai radikal mereka masih memiliki kesadaran untuk tidak berlaku atau melakukan aksi yang menjurus kepada teror dan kriminal. Walau masih disayangkan bahwa pemikiran mereka masih sangat tercermin enggan dengan perbedaan.
Ketika membaca buku ini saya merasa ada perbedaan setandar dengan penulis dalam menilai sebuah sikap intoleransi beragama. Terutama ketika penulis beberapa kali memberikan contoh sikap tidak mau mengucapkan selamat natal. Kendati saya termasuk orang yang membolehkan ucapan selamat natal, agaknya terlalu berlebihan jika itu dinilai sebagai sikap intoleransi.
Sebab orang yang tidak mau mengucapkan selamat natal bukan berarti tidak hormat dan benci dengan mereka yang bernatal. Justru di sini toleransi diperlukan, baik antara yang membolehkan dan yang melarangnya. Karena sejatinya menghargai dan menghormati mereka yang berbeda tidak terekspresikan hanya dengan satu cara saja.
Tetapi saya setuju dengan penulis bahwa sikap kasih sayang kepada yang berbeda jangan hanya menjadi ajaran dalam kelas, tetapi harus diungkapkan dengan aksi nyata.
Kemudian saya sangat setuju bahwa pendidikan toleransi itu sangat membutuhkan aplikasi bukan sekedar teori. Bisa dikatakan bahwa toleransi mensyaratkan interaksi, seperti yang penulis katakan. Dari data-data yang disebutkan di buku tersebut, banyak sekali siswa yang tumbuh dalam lingkungan sosial yang 'seragam'. Sehingga pengalaman bertemu langsung dengan yang berbeda sangat minim.
Bagi saya penting untuk siswa-siswa yang dalam jenjang pendidikan mengalami langsung interaksi antara orang yang berbeda dengan dia. Sehingga mereka memahami seberapa pluralnya Indonesia, seberapa beragamnya masyarakat di luar lingkaran sosial mereka. Karena minimnya pengalaman berinteraksi dengan yang berbeda dapat membuat siswa terkurung dengan ekspektasi mereka sendiri.
Selain itu yang menarik adalah teori penulis buku bahwa tidak setiap pikiran radikal selalu berakhir dengan terorisme dan kriminalisme. Terbukti dengan beberapa wawancara yang penulis lakukan dengan beberapa siswa yang dinilai berpikiran radikal, tetap enggan melakukan hal yang menyakitkan orang lain. Penulis melakukan bantahan kepada para akademisi yang berteori bahwa radikalisme mesti berakibat terorisme, dan mengatakan bahwa mereka berteori dengan dasar empiris yang lemah.
Kemudian ada temuan lain bahwa mahasiswa di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang tidak berbasis agama seperti UI, UGM, dan sejenisnya, mereka memiliki kecenderungan untuk berpikiran radikal, serta aktif menyuarakan pikirannya tersebut, ketimbang PTN yang berbasis agama seperti UIN. Hal ini didasari oleh keinginan dalam diri untuk bisa beragama lebih baik, sehingga mereka yang minim pengetahuan agamanya mudah masuk dan bergabung dengan kelompok-kelompok radikal. Berbeda dengan mahasiswa UIN yang relatif dasar agamanya lebih baik karena mereka kebanyakan lulusan pondok pesantren, memiliki proteksi yang lebih baik ketika berhadapan dengan ajakan (dakwah) kelompok radikal.
Saya bisa paham dengan data-data ini, karena usia-usia mahasiswa adalah masa di mana seseorang mencari jati diri termasuk dorongan untuk menjadi muslim yang lebih baik. Dan juga bisa dipaham mengapa mahasiswa UIN lebih punya proteksi terhadap ajakan radikal beragama, karena biasanya orang yang banyak belajar agama telah memiliki pengetahuan yang cukup tentang pikiran-pikiran alternatif dalam Islam, mereka terbiasa dengan bermacam-macam pendapat ulama tentang sesuatu urusan agama.
Selebihnya silakan membaca langsung buku tersebut, anda akan disuguhkan banyak sekali referensi.
Bagi saya konservatifme dan ortodoksi dalam beragama bukanlah indikator seseorang dikatakan sebagai intoleran dan radikal. Karena kembali lagi dengan pendapat saya di awal-awal bahwa indikasi yang paling tepat untuk mengatakan seseorang itu intoleran adalah keengganan untuk hidup damai bersama dengan yang berbeda.
Tetapi jika konservatifme dan ortodoksi beragama dikatakan  sebagai ciri yang terkadang ada pada mereka, maka saya bisa setuju, karena terkadang orang-orang yang bersikap radikal itu bercirikan demikian. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H