Mohon tunggu...
Syarbani UNUkase
Syarbani UNUkase Mohon Tunggu... Administrasi - Memajukan Gerak Langkah ke-Umat-an

Universitas NU Kalsel, kampus sedang berkembang di Banjarmasin. Punya 10 Prodi : Farmasi, Sipil, Arsitektur, TI, Planologi, Agribisnis, Akuntansi, Bahasa Inggris, Matematika dan PGSD

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Islam Era Jokowi dan Soeharto

25 Mei 2019   05:07 Diperbarui: 25 Mei 2019   08:41 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kegiatan ummat Islam, makin semarak. Tak ada larangan

Dalam sejarah kehidupan, manusia tentu punya pengalaman yang berbeda-beda. Fellingnya juga bisa berbeda-beda. Serta tafsirnya atas pengamatan nya pun (terhadap rasa yang dijalani) juga akan (bisa) berbeda-beda. 

Salah satu bukti nyata kasus seperti ini, lihat misalnya pendapat publik tentang Soeharto. Para pendukung Soeharto selalu bilang, "era Soeharto itu enak, mudah dapat kerjaan, dan apa-apa murah". 

Selain itu, dalam kontek polirik kenegaraan, mereka selalu katakan, era Soeharto lebih demokratis ketimbang era Jokowi saat ini. Setidaknya itu yang diungkapkan mantan isteri Prabowo, Tatiek Soeharto, ketika menanggapi kerusuhan 21 dan 22 Mei di kawasan Bawaslu di Jl. Thamrin, Jakarta, terkait penolakan hasil Pilpres 17 April 2019.

Informasi dan opini ini jelas menyesatkan. Justru di era itu hidup di negeri ini serba susah. Listrik sangat terbatas. Air bersih PDAM juga terbatas. TV cuma hitam putih. Telpon rumah barang langka. HP tak ada sama sekali. 

Ke mana-mana jalan kaki, atau naik sepeda ontel. Jika melakukan perjalanan antar pulau cuma naik kapal. Buat makan adanya beras Dolog yang ada ulatnya itu. Nyetrika baju pakai kayu arang. Memasuk pun pakai kayu, tak ada kompor gas.

Sebagai orang yang pernah berjuang melawan rezim Soeharto (Orde Baru) sejak akhir tahun 1970-an hingga awal tahun 1980-an, yang kemudian berlanjut hingga menjelang akhir tahun 1990-an (jelang reformasi tahun 1997/1998), saya cukup sedih atas statement orang-orang tersebut.

Saya kebetulan mulai duduk di bangku kuliah sejak tahun 1978. Tahun itu saya baru menjadi penghuni kampus putih, Demangan, di IAIN Sunan Kalijaga, jurusan Bimbingan Penyuluhan Masyarakat. Baru jadi mahasiswa kala itu, semua kampus di Indonesia dapat tekanan keras dari rezim Soeharto. Sejumlah tokoh mahasiswa bahkan di tangkap tanpa pengadilan.

Penolakan mahasiswa dicalonkannya kembali Soeharto menjadi Presiden RI periode 1978 - 1983 dalam Sidang Umum MPR 1 - 11 Maret 1978, berdampak dibubarkannya semua lembaga kemahasiswaan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru Dr. Daoed Joesoef menerapkan NKK/BKK, yang membuat para mahasiswa itu seperti "macan ompong".

Sejak itu, para tokoh mahasiswa sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, khususnya terkait dengan politik kenegaraan. Semua rakyat dan lembaga apa saja pasca itu harus mengikuti Asas Tunggal, Pancasila. Rakyat pun wajib ikut penataran P4. 

Dampak dari kebijakan itu, PII (organisasi pelajar tertua) harus bubar karena menolak Asas Tunggal. HMI pun pecah hingga kini. Ada HMI Diponegoro, ada HMI MPO. Kemudian, muncul penolakan ummat Islam terhadap Asas Tunggal itu, yang klimaknya terjadi "Tragedi Priok" yang memakan korban jiwa yang tidak sedikit.

Sejak itu banyak regulasi yang mempersempit ruang gerak (dakwah) ummat Islam. Juru dakwah (da'i) harus ada SID (Surat Ijin Dakwah). Sejumlah tokoh Masyumi, seperti M. Natsir, Mohammad Roem, Yunan Nasution, Anwar Harjono (untuk menyebut sebagian tokohnya) praktis selalu diawasi. Mereka rata-rata kesulitan untuk berdakwah. Tidak hanya itu, pentolan PII juga banyak yang ditangkap. Pendek kata, rezim Soeharto dengan kekuasaannya sudah bikin beragam regulasi yang membuat ummat Islam susah bergerak. 

Melihat keadaan tersebut, NU harus nyusun strategi. NU ngambil jalan tengah. Melalui Muktamarnya ke-27 di Situbondo (aJqtim) tahun 1984, NU menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal. Ini semata untuk melanggengkan kelangsungan hidupnya, sehingga NU "takluk" dengan Soeharto.

Belakangan, mengikuti jejak NU, organisasi seperti MUI, Muhammadiyah dan ormas-ormas Islam pun juga ikut serta menerima Asas Tunggal. 

Selain itu, organisasi non-muslim pun, seperti Dewan Gereja Indonesia (DGI) juga ikut serta, meski harus merubah namanya menjadi PGI, Persatuan Gereja Indonesia. Sejak itu berlakulah Asas Tunggal. 

Mereka yang menolak, terpaksa menjadi organisasi "bawah tanah".  Mereka tak berani muncul ke permukaan, seperti main petak umpat. Gerakan dakwah dan sepak terjangnya cenderung sembunyi-sembunyi.

Beruntung kala itu ada media Islam, seperti Mingguan Panji Masyarakat (milik Buya Hamka), Bulanan Suara Mesjid (milik Ikatan Mesjid Indonesia), Serial Media Dakwah (milik Dewan Dakwah Indonesia), Harian Pelita (media PPP), dll nya. Itu pun beberapa kali ijin mereka dicabut. Bahkan disaat Sidang Umum MPR RI tahun 1978 itu tak kurang dari 7 media nasional terkemuka (termasuk Majalah Tempo dan Harian Kompas) tak diijinkan terbit. Tahun-tahun 1970-an, 1980-an dan 1990-an itu, merupakan tahun-tahun memprihatinkan bagi banyak pihak, termasuk juru dakwah. Mereka yang berani mengkritik pemerintah, siap-siap dicekal, seperti AH Nasution (alm). Bahkan ada juga yang masuk jeruji besi, seperti alm AM. Fatwa (untuk menyebut contoh).

Era Orde Baru itu tak ada ruang bagi PNS perempuan bisa berjilbab ke kantor. Apalagi Polwan, seperti sekarang. Tak ada Sholat Jumat di perkantoran. Apalagi ada Perda-perda keagamaan seperti hari ini. Mesjid-mesjid harus steril dari materi politik, walau para pendukung Orde Baru bisa (boleh) melakukannya.

Bandingkan hari ini. Dakwah Islam seperti kebablasan. Malah bebas sebebas-bebasnya. Sejak reformasi hingga sekarang, tak ada lagi kewajiban SID. Hizbuth Thahrir yang sejak tahun 1980-an menjadi organisasi bawah tanah pun bisa leluasa berdakwah, walau pun karena menyalahi kesepakatan berbangsa wadah ini sudah dibubarkan.

Dalam berdakwah, para juru dakwah pun kadang mencaci maki negara, termasuk aparatnya. Mereka tak hanya menyalahkan, bahkan mengkafirkan sesama muslim. Kegiatan dakwah menutup jalan raya pun biasa, bahkan dibantu pengamanan aparat negara.  

Bandingkan misalnya jika kita tinggal di Saudi Arabia. Tak akan ada kegiatan dakwah sambil menutup jalan raya. Tak akan ada juru dakwah yang berani mencaci Raja Salman, atau Putera Mahkota Pangeran Muhammad. Akhir tahun 2017 lalu (bulan September Oktober, kebetulan kami sedang di sana),  ada ribuan Imam Mesjid dan Penceramahnya diberhentikan negara, hanya karena dalam ceramah-ceramah mereka terindikasi faham radikal.

Beda dengan kita di nusantara ini. Khutbah para Khatib Jumat di kota-kota besar seperti Jakarta, materinya mencaci maki negara dan aparatnya. Itu sebabnya hasil penelitian terhadap khatib-khatib di Jakarta umumnya mereka dikategorikan telah terpapar faham radikalisme.

Ceramah agama di luar Mimbar Jumat pun setali tiga uang. Termasuk di TV dan media-media sosial, seperti di Youtube. Ceramah-ceramah mereka begitu bebasnya, tak ada larangan. Tak ada hambatan. Jadi, siapa yang bilang ummat Islam dipersulit.

Jika kemudian ada isu kriminalisasi ulama, patut ditelaah baik-baik.Ternyata nggak ada bukti.  Jika Habib Riziq Shihab (HRS) telah berurusan aparat, itu karena memang ada masalah hukum. Justru di era SBY, HRS dua kali masuk penjara. Begitu pula dengan Ustadz Bachtiar Nasir, karena memang ada masalah hukum dengannya.

Sehubungan dengan itu, ke depan, ada baiknya negeri ini perlu menata ulang sistem dakwah dan pendidikan. Dakwah harus yang mencerahkan.  Harus yang "berkemajuan" kata teman-teman Muhammadiyah. 

Jika ulama-ulama kita belakangan ini gencar berdakwah dengan tema agar kembali ke al-Qur'an, ayolah kita pedomani Surah an-Nahl ayat 125. Insya Allah dakwah Islam bebas dari caci maki. Justru sangat mencerahkan, sekaligus berpahala.

Tugas Presiden Jokowi di periode ke-2 lima tahun ke depan harus merancang agenda ini. Caranya, mensinkronkan misi Kementerian Agama dengan Kementerian Pendidikan. Agar tak ada lagi anak bangsa yang terpapar faham radikalisme, selain juga menghasilkan generasi yang selalu berpikir positivistik dan optimistik, semata untuk kemajuan bangsa dan negara ini di masa depan.

Renungan Ramadhan 1440 Hijriah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun