Mohon tunggu...
Syarbani UNUkase
Syarbani UNUkase Mohon Tunggu... Administrasi - Memajukan Gerak Langkah ke-Umat-an

Universitas NU Kalsel, kampus sedang berkembang di Banjarmasin. Punya 10 Prodi : Farmasi, Sipil, Arsitektur, TI, Planologi, Agribisnis, Akuntansi, Bahasa Inggris, Matematika dan PGSD

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Setelah HTI Dibubarkan

28 Juni 2017   23:06 Diperbarui: 30 Juni 2017   23:16 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Oleh : HM Syarbani Haira

Pengajar pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota (Planologi), Universitas NU Kalsel

PEMERINTAH melalui Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Jenderal (Purn) Wiranto, dengan didampingi sejumlah pejabat terkait, beberapa waktu lalu mengumumkan rencana pembubaran Hizbuth Thahrir Indonesia (HTI). Langkah ini diambil pemerintah, karena HTI dalam sejumlah sepak terjangnya, serta visi misinya, melakukan kegiatan yang tak sejalan dengan ideologi negara, Pancasila dan UUD 1945. Direncanakan, pembubaran terhadap  "partai politik" yang menganggap demokrasi itu haram ini, secara resmi dilakukan via pengadilan, yang hari ini pihak pemerintah sedang melengkapi data-data penyimpangan HTI dalam garis perjuangan mereka terhadap kenegaraan dan kebangsaan.

Tentu saja keputusan ini dianggap keliru oleh para pentolan HTI. Melalui juru bicaranya, Ismail Yusanto, HTI menilai pemerintah salah kaprah. Menurutnya, tak ada yang salah dalam HTI. HTI tidak bertantangan dengan Pancasila. HTI hanya ingin melaksanakan ajaran Islam, dan menyebarkannya kepada masyarakat luas. Ismail Yusanto pun serta merta menuding pemerintah semena-mena, dan menganggapnya seperti gaya Orde Baru.

Sampai hari ini para pendukung HTI masih ngomel-ngomel, jengkel kepada pemerintahan Jokowi -- JK. Salah seorang kader HTI asal banua, yang kini menjadi dosen di Universitas Gadjah Mada (UGM) bahkan menulis kolom pendek, yang kemudian dipublikasikan melalui sejumlah media mainstrem. Anak muda yang mendapatkan gelar doktor di Jepang itu lantas menuding negara tak faham filsafat dan matematika, sehingga menjadi berlebihan ketakutan terhadap kehadiran HTI, yang dianggapnya sesungguhnya tidak punya kekuatan apa-apa, selama ummat Islam tidak mendukungnya. 

Melalui sejumlah media mainstream, nampak terlihat sejumlah kader dan simpatisan HTI mengeluarkan uneg-unegnya, sembari mengemukakan sumpah serapahnya terhadap rezim kita hari ini, khususnya terhadap Presiden Joko Widodo. Tudingan mereka, tentu melengkapi isu yang berkembang selama ini, bahwa mantan Walikota Solo itu "kurang Islamy", dan selalu dikait-kaitkan dengan isu-isu negatif lainnya, termasuk ada kaitannya dengan  "organisasi terlarang" selama Orde Baru.

Beberapa kali saya kerap ditanya publik soal tuduhan itu. Saya sama sekali tidak percaya. Menurut hematku, tuduhan orang-orang itu sama sekali tidak beralasan. Jauh sebelum Jokowi jadi Presiden, almarhum KH Hasyim Muzadi pernah memerintah Rais Syuriah PCNU Solo, untuk menyelidiki siapa sesungguhnya Walikota Solo itu. Ternyata, yang bersangkutan orang biasa saja, berbisnis meubel dan kayu jati, dan seperti orang Jawa lainnya, lengket dengan kebudayaan Jawa. Hal lain yang khas dari Jokowi adalah, sebagai muslim ikut aktif pengajian keagamaan, dan menjadi "santri" di sebuah majelis taklim / pengajian yang dipimpin oleh seorang habib kenamaan di Solo.

Untungnya, Jokowi tidak terpancing dengan semua tudingan tersebut. Dia selalu bekerja seperti biasa, mendatangi rakyatnya, dan selalu berupaya untuk membantu rakyat banyak. Kesulitan Jokowi dalam merombak kultur birokrasi, tak serta merta difahami oleh rakyatnya. Karena itu, kegagalan Jokowi untuk memperbaiki negeri ini, menjadi sasaran "tembak" kader HTI dan kelompoknya, bahwa presiden ke-7 ini tak layak menjadi Kepala Negara. Terlebih untuk era kini, di mana kapitalisme dan liberalisme terus merasuk kehidupan sosial politik, maka seolah-olah negara ini sudah kapitalis dan liberalis, sebuah kesimpulan yang gebyah uyah, sesungguhnya.

Dukungan Banyak Pihak

Walau demikian, langkah negara untuk membubarkan HTI itu tak serta merta ditolak rakyat banyak. Justru mendapat dukungan, bahkan dari elemen-elemen bangsa yang determinant dalam negeri ini. Sebut saja ada dukungan institusi, seperti MUI, NU, Muhammadiyah, kampus-kampus negeri dan swasta, bupati walikota, gubernur, partai politik, kaum cendekiawan, dan lain sebagainya. Artinya, kelompok yang tidak setuju dengan HTI sangat besar.

Mantan Ketua MK misalnya, Prof. Dr. H. Mahfud MD, termasuk yang setuju HTI dibubarkan. Hanya dia minta harus melalui pengadilan. Artinya, langkah negara untuk membawa kasus HTI ke pengadilan sudah tepat. Pihak HTI masih terbuka kesempatan untuk membela dirinya, seperti yang kerap dikemukakan para pentolannya. Dalam konteks ini, pertama HTI harus bisa membuktikan bahwa mereka itu nasionalis murni, benar-benar sesuai dengan semangat Pancasila dan UUD 1945, seperti yang kerap dilontarkan para tokoh-tokohnya.

Kedua, betulkah yang mereka perjuangkan itu ajaran Islam? Ataukah yang mereka perjuangkan itu hanya ijtihad mereka tentang Islam ? Mereka harus bisa meyakinkan pemerintah, mana yang disebut ajaran Islam murni, dan mana pula yang disebut dengan ijtihadi tentang Islam. Jika mereka bisa membuktikan bahwa perjuangan mereka atas dasar ajaran Islam murni, tentu pemerintah harus menerimanya. Tetapi jika itu sebagian dari hasil ijtihadi, seperti khilafah yang dipersoalkan negara dan pihak-pihak ummat Islam lainnya, tentu saja itu akan menjadi runtuh logik berpikirnya.

Ketiga, HTI pun harus bisa membuktikan mana wacana dan mana gerakan (harokah). Jika wacana, itu lazimnya disuarakan via forum-forum seminar. Sedangkan gerakan, itu sudah memiliki wadah perjuangan tersendiri dan secara sistemik sudah memasuki ruang-ruang publik, seperti sekolah, majelis taklim, pengajian, yang satu sama lain sudah didesain dengan rapi. Lihat saja buku-buku mereka, dan adakah relasi antara HTI di negeri ini dengan HT internasional yang berpusat di sejumlah negara, termasuk kaitannya dengan HT Taqi'uddin yang berdiri sejak tahun 1950-an. Mengenai hal ini, kita tunggu saja di pengadilan.

Tugas Negara

Di luar HTI bersalah atau tidak, sebagai warga negara kita tentu berharap rezim Jokowi -- JK harus ini harus lebih baik dari rezim-rezim sebelumnya. Kesalahan yang pernah dibuat oleh rezim masa lalu, harus diperbaiki sama-sama, ya oleh pemerintah, ya oleh rakyatnya, serta para wakil rakyatnya di legislatif. Kontrol kepada negara harus kontinyu dilakukan. Hanya saja tetap dalam koridor, dan harus fair. Jangan sampai kontrol sosial untuk menjatuhkan negara, apalagi sampai masuk ke wilayah individual, yang itu diakui negara. Fenomena yang terlihat selama ini, yang terjadi bukan kontrol sosial, melainkan tudingan untuk menjatuhkan pemerintahan. Ini salah satu problema (pertama) yang harus diatasi oleh negara hari ini.

Problemakedua, negara pun harus konsisten. Sebut saja untuk mengatasi rasio gini, semua aparat negara harus dimobilisir dengan baik dan rapi, agar benar-benar mampu mengatasi kesenjangan tersebut. Bahwa ada rezim di dalam negara, itu memang ada. Bayangkan, ada rakyat biasa, bisa mengatur penguasa. Ini kan buruk sekali. Tetapi jika pemerintah bekerjasama dengan rakyat banyak, yakin saja suatu saat usaha itu akan kesampaian. Langkah Jokowi rajin turun ketemu rakyat banyak sangat positif. Sampai ada kesadaran bersama, bahwa musuh kita justru datang dari rezim-rezim seperti itu.

Problemaketiga, jauh sebelum HTI hadir di negeri ini, republik ini sudah menolak aneka ideologi dunia seperti kapitalisme, liberalisme dan komunisme. Muhammadiyah dan NU yang berdiri sebelum negeri ini merdeka, pun punya sikap yang sama. Artinya, kapitalisme, liberalisme, dan kelompoknya sejak awal sudah tertolak di nusantara ini. Bahwa kapitalisme dan liberalisme hari ini sepertinya menguasasi kehidupan negeri ini, itu karena fondasi berbangsa kita sedang lemah. Itulah yang harus kita perangi ramai-ramai. Langkah pertama paling mudah yang bisa dilakukan misalnya, jangan belanja di mall atau di corporati-corporati.  Belanjalah di warung rakyat, seperti model nenek kita dulu.

Problemakeempat. Harus ada gerakan simultan untk memperbaiki moralitas semua warga di negeri ini. Jangan terlalu berharap pada NU dan Muhammadiyah saja, juga dengan negara. Melainkan semua bergerak bersama. Jika negeri ini berhasil mengembalikan doktrin keagamaan dengan baik, dan morlitas bangsa terjaga serta terpelihara dengan baik, maka negeri ini akan semakin baik. Lihat saja sejumlah negara kawasan skandinavia, walau mereka umunya tak bertuhan, tetapi mereka bermoral semuanya taat aturan. Nyatanya mereka bisa hidup makmur bersama-sama. Susah mencari orang miskin di sana, rasio gininya positif. Jika sudah begitu, tak akan ada riak politik, apalagi pemberontakan terhadap negara.

Problemakelima. Ini tugas negara. Rezim Jokowi -- JK masih dua tahun lebih. Masih punya waktu untuk menata negeri ini. Pertama, rasio gini harus diperbaiki. Jika kesenjangan berhasil dibasmi, tentu menyenangkan semuanya. Kedua, perkuat keadilan. Tak ada lagi orang dan kelompok tertentu yang istimewa di mata hukum. Hukum harus tegas. Ketiga, rombak birokrasi. Revolusi mental harus dioptimalkan. Keempat, berantas korupsi, sampai ke akar-akarnya. Siapa pun pelakunya. Kelima,  gunakan dana pendidikan (20 % dari PBN) dan anggaran lainnya dengan benar.

Jika saja pointer-pointer tersebut di atas berhasil diterapkan, maka negeri ini pasti damai, dan akan lebih baik. Itulah makna pembangunan, yang dilaksanakan oleh semua negara. Semua institusi model HTI pasti tak akan pernah bisa hidup. Tetapi jika praktek berbangsa dan bernegara kita masih buruk, seperti yang kita saksikan dan terlihat selama ini, maka model-model itu HTI akan terus bermunculan. Bisa bermetamorfuse, dan bisa seperti "hantu" yang gentayangan. Ya, jika begitu akhirnya menjadi percuma membubarkan HTI.

Sejalan dengan itu, maka semua elemen bangsa di negeri ini pun harus fair melihat dinamika dan keruwetan negeri terbesar ke-4 di dunia ini. Jika memang tak mampu mengatasi problema berbangsa dan bernegara seperti disebutkan di atas, tentunya harus dicarikan alternatif dan model lain, agar negeri ini bisa semakin baik ketimbang era sebelumnya.  Jangan sampai rutinitas ganti rezim hanya menjadi proyek kelompok tertentu, sementara negeri ini justru semakin terpuruk dan tidak memperlihatkan negara yang semakin maju. Oleh karena itu, dari mimbar tulisan ini, saya mengajak semua elemen bangsa di negeri ini, "wahai seluruh warga negara Indonesia, yang sayang dengen negeri ini, di mana pun berada dan apa pun jabatan Anda. Saatnya kita berpikir dan merenung dalam-dalam. Akan dikemanakan negeri ini ... ?"  Wallahu'alam bissawab ... !!!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun