Mohon tunggu...
Heni Kurniawati
Heni Kurniawati Mohon Tunggu... Penulis - Visit my personal blog, tulisanheni.blogspot.com

A woman who likes writing

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sungguh, Aku Ini Orang yang Suka Iri

29 Mei 2019   10:51 Diperbarui: 29 Mei 2019   10:55 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah menerbitkan novel keduaku, Passion in Sop Buah, November 2017 lalu, aku jarang menulis. Kembali ditelan kesibukan aktivitas sehari-hari sebagai ibu dan karyawati sebuah pabrik. Lagi, aku tenggelam dalam hitungan harga-harga sepatu. Seperti kebanyakan pekerja lainnya, pukul 07.30-17.00 WIB, waktuku habis untuk beraktivitas di kantor. Setelah itu lanjut dengan aktivitas rumah tangga. Walaupun sebenarnya ini tidak boleh dijadikan alasan bagi seorang penulis (terutama penulis pemula sepertiku yang mestinya harus bekerja lebih keras dan menulis lebih banyak) untuk tidak produktif, faktanya aku belum menghasilkan tulisan lagi.

Beruntung, di Sosmed aku berteman dengan banyak penulis. Aku juga bergabung dengan Group Sastra Minggu dan Sastra Koran Majalah. Tiap Minggu aku melihat karya-karya teman yang dimuat di surat kabar. Walaupun aku belum menulis lagi, paling tidak aku masih membaca karya sastra tulisan teman-teman dunia mayaku. Tulisan mereka (baik cerpen maupun puisi) bagus, berkualitas, dan temanya up to date. Bahkan ada beberapa penulis yang hampir tiap minggu cerpen dan puisinya dimuat di koran. Wow, keren! Dalam hati aku bertanya, bisakah aku menulis karya sastra sebaik mereka?

Aku jadi tertantang. Sudah sekian lama, terakhir tahun 2002 tulisanku dimuat di media cetak. Rasa iri mencuat dalam hati. Semakin banyak aku membaca cerpen, puisi, dan resensi teman yang dimuat di koran-koran itu, rasa iri kian menjadi. Maka timbul satu tekad kuat. Aku harus menulis lagi. Aku ingin kembali menjajal kemampuan dan keberuntunganku di media cetak.

Dari dua group itu pula aku menemukan situs lakonhidup.com. Di sini aku lebih banyak membaca cerpen koran. Meneliti dan menganalisa preferensi tema dan gaya tulisan beberapa koran yang rencananya akan kubidik. 

Sampai aku yakin kalau aku suka tema wanita. Seputar kehidupan rumah tangga, keluarga, juga segala hal yang berkaitan dengan wanita. Kuputuskan menulis sebuah cerpen untuk Tabloid Nova. Kutanamkan keyakinan kuat pada diriku. Kalau teman-teman bisa, kenapa aku tidak?

Aku mencoba menulis lebih detail dengan pemilihan tema yang ketat. Sederhana tapi harus relevan. Kuambil tema keluarga. Hubungan antara seorang ibu dan anak yang mulai renggang karena gadget. Kuharap cerpen ini nanti bisa menjadi kritik halus terhadap dunia digital yang semakin mengikis hubungan interpersonal dalam keluarga. 

Bahkan hubungan antara seorang ibu dan anak yang bisa renggang karena kurang komunikasi akibat anak lebih banyak menghabiskan waktu bersama gadget-nya. Setelah koreksi berkali-kali, jadilah cerpen Kepada Buku Aku Cemburu. Cerpen ini kukirimkan ke Redaksi Tabloid Nova pada 5 Februari 2018. Cerpen sudah terkirim. Tinggal berdoa dan memikirkan ide untuk menulis cerpen berikutnya.

Sebulan, dua bulan, tiga bulan, tidak ada kabar. Redaktur memang jarang menyampaikan informasi kepada penulis terkait apakah karyanya lolos publikasi atau tidak. Aku rajin memantau Group Sastra Minggu, berharap-harap cemas. 

Sampai pada suatu pagi di bulan kelima, aku menge-cek e-banking. Ada transferan masuk dari PT.Samindra Utama. Aku sempat befikir itu salah transfer. Aku bahkan googling mencari alamat dan nomor telepon perusahaan ini bermaksud untuk mengembalikan uang yang kukira salah transfer itu. Tetapi ternyata perusahaan itu adalah Tabloid Nova.

 Akhirnya aku sadar, itu mungkin honor untuk cerpenku yang dimuat. Benar saja, dari Group Sastra Minggu aku mendapatkan foto cerpenku yang dimuat di Tabloid Nova seminggu sebelumnya yaitu tanggal 30 Juli 2018. Beruntung akhirnya aku menemukan versi digitalnya di https://www.pressreader.com/indonesia/nova/20180730/282076277780746 . Dimuat setelah lima bulan sejak tanggal pengiriman. Waktu tunggu yang cukup lama. Anyway. Aku bahagia akhir nya berhasil kembali nongol di media cetak setelah sekian lama vakum.

Cerpen berikutnya masih tentang wanita. Cerpen inipun kukirimkan ke Tabloid Nova. Judulnya Perempuan dan Gempa. Cerpen ini terinspirasi oleh kejadian Gempa di Lombok yang begitu dahsyat. Kucoba menulis dari sudut perempuan, yang pada saat tertimpa gempa ditinggalkan suaminya.

 Ia berusaha tegar, bertahan, dan memperbaiki hidupnya setelah Gempa. Untuk ini aku meminta bantuan kepada seorang teman FB untuk beberapa dialog yang ingin kutuliskan dengan bahasa daerah setempat. Cerpen ini selesai pada September 2018 dan meluncur lewat email ke Tabloid Nova. 

Dua bulan menunggu, aku mendapat informasi bahwa Tabloid Nova tidak lagi menerbitkan cerpen. Sedihnya. Tak patah semangat, cerpen ini kukirimkan lagi ke Media Indonesia. Sayangnya tiga bulan setelah itu belum ada kabar juga. Sekarang cerpen ini terkirim ke redaksi Solo Pos. Aku masih menunggu kabar baiknya.

Di waktu luang, aku masih gooling, aktif membaca cerpen untuk menambah wawasan dan menggali ide. Akhir-akhir ini aku suka mampir ke situs The Jakarta Post dan terpesona pada sebuah cerpen yang berjudul The Secret of The Citrus Tree tulisan Alya Hikmayuda. Aku pelajari baik-baik gaya menulisnya, alur ceritanya. Sepertinya aku juga bisa menulis cerpen seperti ini. Dan aku kembali menatang diri untuk menulis cerpen dalam bahasa Inggris. Targetnya tentu saja The Jakarta Post. Iri juga aku kepada Alya. Kalau cerpennya bisa dimuat, mestinya cerpenku juga bisa. 

Jadilah cerpen The Story of a Rooster. Kisah tentang seorang anak gadis yang suka menendang ayam karena trauma masa lalunya. Untuk ini aku meminta bantuan pada seorang teman untuk mengoreksi pilihan kata juga grammarnya. (Walaupun aku lulusan Sastra Inggris, aku sudah lama tenggelam dalam dunia lain yaitu dunia excel). Plus, aku cuma sekali nulis cerpen dalam Bahasa Inggris. Itu pun tertumpuk di laci. 

Dari temanku itu aku mendapatkan nasehat kalau cerpen baiknya ditulis dengan salah satu tense saja. Present atau Past Tense. Jangan di-mixed, nggak nyembung. Then, the editing time teselesaikan. Kirim ke redaktur. Lega. Berdoa lagi semoga rezeki.

Dua bulan setelah itu. Tepat di hari pertama tarawih. Berkah bulan Ramadhan. Tidak seperti redaktur yang lain, redaktur The Jakarta Post mengabari via email. Kira-kira bunyinya seperti ini.

Dear Heni,

Thank you for submitting your story. What a lovely read. We will publish it in our upcoming Monday edition and transfer the honorarium no later than 30 days following the date of publication.

Thanks again and we hope to read more of your work.

Cheers,

Gosh! Betapa aku suka kalimatnya, What a lovely read. Ini pertama kali aku mendapatkan komen dari redaktur seperti ini. Kedengaran berlebihan mungkin. Tapi aku bahagia. This is my first short story after a long time. Dan dimuat oleh The Jakarta Post.

Alhamdulillah, ini meningkatkan semangatku berkali-kali lipat. I'm coming. I will try again and again. Aku iri..., iri..., dan iri banget. Aku mau nulis lagi...lagi...dan lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun