Mohon tunggu...
Heni Kurniawati
Heni Kurniawati Mohon Tunggu... Penulis - Visit my personal blog, tulisanheni.blogspot.com

A woman who likes writing

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Sekeping Hatiku Tertinggal di Rumah Puisi

21 April 2013   14:20 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:51 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13665243231340470234

Ketika mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi beberapa kota di Sumatera Barat, aku menyambutnya gembira. Kota Padang telah menarik hatiku sejak aku sering mengamati gambar Rumah Gadang di sisi mata uang logam seratus rupiah di masa kecilku. Jadilah aku bersama Bunda Yusuf terbang ke Sumatera Barat dengan mengusung beberapa agenda Yayasan miliknya. Yang langsung meloncat keluar dari hatiku saat pertama kali menginjakkan kaki di kota rendang itu adalah rasa kagum yang luar biasa terhadap keindahan bangunan bandaranya. Gojong-gojong atap Rumah Gadang yang dulu hanya kulihat pada uang logam seratus rupiah itu berdiri megah di hadapanku. Dan aku pun masuk ke dalamnya, Alhamdulillah. Bersama Bunda Yusuf, berapa hari kuhabiskan di Payakumbuh, Bukit Tinggi, dan Padang Panjang dengan serangkaian program yayasan dan silaturahmi. Cuaca sejuk diselingi hujan di kota-kota yang dikelilingi hijaunya perbukitan dan pegunungan yang disirami kabut itu membuatku tak henti mengucapkan Subhanallah dalam hati. Sungguh Maha Besar Allah yang menciptakan keindahan kota ini. Sekilas aku teringat pada kota Batu, Jawa Timur, yang sempat kusinggahi beberapa kali. Di Padang Panjang kunjunganku terasa sangat berkesan. Seorang kenalan baru mengajakku singgah ke rumah novelis, penulis novel Rinai Kabut Singgalang, yang sebelumnya telah kukenal lewat media online. Ia pun sekilas bercerita padaku tentang indahnya panorama Gunung Singgalang dan Merapi di Rumah Puisi yang memang akan kami kunjungi. Aku bersama Bunda Yusuf dan Adik Rahmi (kenalan baru kami) langsung berangkat dengan sebuah angkot Ke Rumah Puisi Taufik Ismail di Nagari Aie Angek, tepatnya di KM. 6 Jl. Raya Padang Panjang – Bukittinggi. Di sepanjang jalan menuju rumah puisi itu mataku tak henti menatap hamparan pegunungan di balik deretan bangunan di kanan-kiri jalan. Tiba di lokasi Rumah Puisi, kami menapaki jalan mendaki dan langsung disambut oleh tanaman-tanaman bunga beraneka warna yang terawat sempurna. Gunung Singgalang dan Merapi yang diceritakan oleh novelis, kawanku itu, begitu indah. Kabut masih menyelimuti keduanya walaupun tetes-tetes hujan mulai turun. Sebuah tugu di luar Rumah Puisi mengabadikan puisi Pak Taufik yang berjudul Dengan Puisi, Aku. Dengan puisi aku bernyanyi Sampai senja umurku nanti Dengan puisi aku bercinta Berbatas cakrawala Dengan puisi aku mengenang Keabadian yang akan datang Dengan puisi aku menangis Jarum waktu bila kejam mengiris Dengan puisi aku mengutuk Napas zaman yang busuk Dengan puisi aku berdoa Perkenankan kiranya Kunikmati tiga bait puisi itu sebelum masuk ke Rumah Puisi. Masuk ke Rumah Puisi tempampang puluhan banner-banner bertulisan kata-kata motivasi untuk menulis. Banner-banner itu tertata rapi dan setiap selesai membaca satu banner mau tak mau aku langsung bercermin diri. Salah satu tulisan di banner itu berbunyi, Kalau kita tunggu waktu yang tepat untuk menulis, maka waktu itu tidak akan pernah muncul (James Russell Rowell, 1883) ditulis dengan huruf kapital. Sungguh menohok hati yang langsung membenarkan kalimat ini. Rumah puisi berlantai dua itu rupanya juga berfungsi sebagai ruang belajar untuk siswa atau pengunjung yang datang dan ingin mempelajari sastra. Mungkin pula untuk diskusi atau seminar kesusastraan. Terbukti dengan adanya deretan kursi yang diatur rapi serupa ruang diskusi. Naik ke lantai dua, kutemukan 4 lemari buku yang di dalamnya berjajar buku-buku, bukan hanya buku puisi, tetapi berbagai jenis buku, termasuk buku-buku tentang kepenulisan. Buku berbahasa Indonesia, Inggris, maupun Belanda. Sebuah karpet beludru halus dilengkapi dengan dua bantal lantai besar lalu bangku panjang yang di atasnya tertata buku-buku dan majalah sastra Horison langsung menggodaku. Kutemukan beberapa novel, di antaranya Rinai Kabut Singgalang dan Ranah 3 Warna. Tak puas aku mencari-cari lagi, kutemukan beberapa novel karya sastrawan Sumatera Barat yang langsung kulahap halaman-halaman depan dan sinopsis back cover-nya. Sayangnya, novelku Menggapai Impian, Merengkuh Cinta (MIMC) tidak ada di situ. Kalau ada mungkin bisa memperkaya koleksi Pak Taufik. Mataku terus bergerak liar. Begitu masuk ke ruang perpustakaan nafsu membacaku selalu meningkat berkali-kali lipat. Ah, andai aku punya banyak waktu, ingin kulahap puisi-puisi karya Pak Taufik itu, juga novel-novel yang bisa jadi referensi pembelajaranku. Kalau saja Rumah Puisi itu ada di Surabaya pasti dulu mata kuliah Kajian Poetry tidak terlalu sulit bagiku. Dari informasi yang kudapatkan, koleksi buku Pak Taufik Ismail sudah mencapai sekitar 7000 buku, Subhanallah. Mata dan tanganku terus bergerak menelusuri koleksi buku-buku Pak Taufik dan betapa gembiranya aku ketika kutemukan Antologi Puisi Epitaf Arau di antara tumpukan buku-buku lainnya. Aha! Aku kenal judul itu, Epitaf Arau. Itu adalah judul puisi Kurnia Hadinata yang memenangkan Lomba Cipta Puisi Kado Untuk Kota Padangku Tercinta tahun 2011 lalu. Sedangkan puisiku menjadi salah satu nominasinya. Langsung kuambil dan kubuka buku itu. Alhamdulillah, puisiku, Pengantin Padang ada di halaman 100. Selalu ada kebahagiaan walaupun karyaku masih belum seberapa, belum sehebat Pak Taufik. Setidaknya aku telah mulai memperjuangkan cita-citaku sebagai penulis. Puas dengan Epitaf Arau, tanganku bergerak ke tumpukan majalah Horison dan membacanya sekitar sepuluh menit. Sayangnya aku tak punya banyak waktu. Aku dan Bunda Yusuf harus melanjutkan perjalanan ke Padang. Masih ada satu agenda yayasan yang belum terselesaikan. Sebelum meninggalkan Rumah Puisi, sekali lagi kutatap Singgalang dan Merapi yang berdiri kokoh. Ada rasa enggan yang menggelayut di hatiku ketika kakiku mulai melangkah menuruni jalan. Aku begitu terkesan dengan tempat itu, puisi-puisi Pak Taufik, ribuan koleksi bukunya, dan indahnya pesona alam di sekitar Rumah Puisi. Sekeping hatiku terasa tertinggal di rumah itu. Biarlah tersangkut pada pucuk-pucuk pepohonan di Singgalang. Biarlah menjadi saksi diriku yang jatuh cinta pada pandangan pertama pada indahnya Padang Panjang. Biarlah tetap menjadi ucapan terima kasihku pada Pak Taufik yang begitu peduli terhadap perkembangan sastra di negara ini. Seperti yang dipublikasikan oleh www.kabarindonesia.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun