Mohon tunggu...
Hans Z. Kaiwai
Hans Z. Kaiwai Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih

Selanjutnya

Tutup

Money

Mewujudkan Masyarakat Non Tunai di Indonesia

5 Maret 2017   10:31 Diperbarui: 5 Maret 2017   20:00 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Transaksi nontunai menjadi tren global yang kian mendunia saat ini. Di Indonesia, masyarakat lambat laun beradaptasi dengan belanja online, internet banking, mobile banking, dan sms banking. Penggunaan uang elektronik sebagai alat pembayaran mulai mewarnai praktek-praktek transaksi bisnis. Pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah pun kian berbasis layanan digital. Perilaku transaksi masyarakat mulai bergeser dari transaksi tunai menjadi transaksi nontunai. Walaupun demikian, ada tantangan untuk mewujudkan masyarakat nontunai karena masih rendahnya akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan.

Menurut data Global Financial Index 2014, Indonesia memiliki indeks keuangan inklusif sebesar 36 persen. Artinya bahwa jumlah penduduk dewasa–15 tahun ke atas–yang memiliki akses terhadap layanan keuangan hanya sebesar 36 persen. Sementara itu, sebagian besar atau 64 persen belum memiliki akses terhadap lembaga keuangan. Dibandingkan dengan angka indeks keuangan inklusif negara ASEAN lainnya, Indonesia jauh tertinggal dari Singapura 98 persen, Malaysia 81 persen, dan Thailand 78 persen, walaupun sedikit lebih baik dari Filipina dan Vietnam masing-masing 31 persen.

Untuk itu, kita perlu melalui berbagai upaya perluasan akses masyarakat antara lain melakukan edukasi keuangan untuk meningkatkan tingkat literasi keuangan masyarakat. Hal ini akan meningkatkan tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat akan pentingnya jasa keuangan. Sehinga menjadi lebih mudah utnuk mengajak sebanyak mungkin masyarakat memiliki akun untuk kebutuhan transaksi keuangan, baik untuk menyimpan uang, melakukan pembayaran, transfer, kredit atau memanfaatkan layanan jasa keuangan lainnya.

Disamping itu, kita perlu melakukan pendalaman layanan jasa keuangan karena selama ini akses masyarakat terhadap jasa keuangan masih didominasi oleh sektor perbankan 57,28 persen. Sementara itu, sektor perasurasian 11,81 persen, sektor lembaga pembiayaan 6,33 persen, sektor dana pensiun 1,53 persen, sektor pasar modal 0,11 persen dan sektor pergadaian 5,04 persen (Hasil Survei Nasional Literasi Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan, 2013). 

Keuangan inklusif

Untuk mengatasi sempit dan dangkalnya akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan di Indonesia, maka pemerintah telah menyusun Strategi Nasional Keuangan Inklusif yang diatur dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2016. Dimana melalui Strategi Nasional Keuangan Inklusif, yang ditetapkan tanggal 1 September 2016 ini, dapat dilaksanakan sejumlah kegiatan pengembangan keuangan inklusif, yang dilakukan secara bersama dan terpadu oleh kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota, sehingga target persentase penduduk dewasa yang memiliki akses layanan keuangan pada lembaga keuangan formal sebesar 75 persen pada akhir tahun 2019 dapat tercapai.

Kegiatan pengembangan keuangan inklusif dimaksudkan untuk memberikan manfaat yang lebih merata­–perluasan dan pendalaman layanan jasa keuangan–bagi keseluruhan kelompok masyarakat. Selama ini masih ada sejumlah kelompok masyarakat seperti kelompok masyarakat berpendapatan rendah, pelaku usaha mikro dan kecil, dan masyarakat yang merupakan lintas kelompok yang belum terlayani oleh layanan jasa keuangan formal. Kelompok masyarakat ini lazimnya tinggal di daerah terpencil, tidak memiliki identitas legal dan merupakan kelompok masyarakat marginal. Padahal melalui layanan jasa keuangan, kelompok masyarakat ini, sesungguhnya dapat mengembangkan potensi yang mereka miliki untuk meningkatkan kegiatan usahanya.

Untuk itu, kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota perlu menggunakan strategi nasional keuangan inklusif yang telah ditetapkan oleh pemerintah untuk memperluas dan memperdalam layanan jasa keuangan bagi masyarakat. Sehingga secara bertahap dan bersamaan dengan ketersedian infrastruktur, ekosistem digital, dan regulasi yang mendukung, Indonesia mampu mewujudkan masyarakat nontunai dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi.

Pada level pemerintah daerah, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia juga perlu melaksanakan kegiatan pengembangan keuangan inklusif bagi kelompok masyarakat yang selama ini belum memanfaatkan layanan jasa keuangan. Dimana pengembangan keuangan inklusif tersebut dapat dilakukan dalam dua kegiatan yaitu percepatan perekaman e-KTP bagi masyarakat yang belum memilikinya dan percepatan sertifikasi lahan atas tanah rakyat.

Peran pemda

Mengapa percepatan perekaman e-KTP perlu dilakukan? Rendahnya kepemilikan e-KTP bagi masyarakat menjadi salah satu tantangan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan. Padahal e-KTP mempunyai peran penting dalam mewujudkan keuangan inklusif. Oleh sebab itu, tantangan ini harus diselesaikan secepatnya. Apalagi berdasarkan data bulan November 2016, persentase penduduk wajib e-KTP di Indosia yang telah melakukan perekaman e-KTP baru mencapai angka 50 persen. Jadi, rendahnya cakupan perekaman e-KTP merupakan kendala yang perlu segera diatasi melalui percepatan perekaman e-KTP di seluruh daerah di Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun