Mohon tunggu...
Hans Z. Kaiwai
Hans Z. Kaiwai Mohon Tunggu... Dosen -

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Cenderawasih

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mencermati Reformasi Subsidi Energi

4 Maret 2017   02:51 Diperbarui: 4 Maret 2017   12:00 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diawal tahun 2017 ini, kenaikan harga BBM nonsubsidi, harga elpiji, dan tarif listrik membuat kita terusik. Bahkan elemen mahasiswa meresponnya dengan melakukan unjuk rasa di berbagai tempat di Indonesia. Oleh karena mereka berpandangan bahwa kebijakan pemerintah tersebut tidak pro rakyat sehingga perlu ditinjau kembali. Sementara itu, pemerintah beralasan bahwa selama ini subsidi energi–BBM, elpiji, dan listrik–bukan hanya memberatkan keuangan negara, melainkan juga tidak tepat sasaran sehingga perlu dilakukan reformasi subsidi energi untuk mengurangi subsidi dan mengalihkannya untuk belanja yang lebih produktif.

Sejak tahun 1967, masyarakat Indonesia telah “dimanjakan” dengan harga energi yang murah karena disubsidi oleh pemerintah. Subsidi saat itu digunakan untuk mendukung kebijakan ekonomi makro yang bertujuan untuk menjaga stabilitas sosial dan politik. Apalagi mulai saat itu (1967) hingga periode “Oil Boom” (1974-1982), naiknya harga minyak dunia–dari US$1,67/barrel (1970) menjadi US$11,70/barrel (1973/74); dan dari US$11,65/barrel (1979) melonjak lagi menyentuh angka US$29,50/barrel (1980); dan terus melonjak mencapai US$35,00/barrel (1981-1982)–merupakan berkah bagi kita karena Indonesia masih mengekspor minyak sehingga pundi-pundi negara bertambah secara siginifikan dan selanjutnya anggaran tersebut dapat digunakan kembali untuk menyubsidi konsumsi minyak Indonesia.

Namun saat produksi minyak mentah Indonesia mulai menurun tahun 1998 sehingga Indonesia berubah status dari pengekspor minyak menjadi pengimpor minyak pada tahun 2004, dan juga semakin melebarnya perbedaan antara tingkat produksi dan konsumsi minyak–50 persen konsumsi BBM dari impor, maka subsidi BBM mulai menjadi beban yang serius dalam anggaran negara. Bukti dari kondisi ini pada tahun 2005, pemerintah terpaksa menaikan harga minyak tanah, bensin dan solar sebanyak dua kali. Peningkatan harga pertama kali dilakukan pada Maret sebesar 29 persen (untuk harga bahan bakar), sementara yang kedua pada Oktober sebesar 114 persen (World Bank, 2007). Hal ini dilakukan untuk mengurangi beban pengeluaran pemerintah terutama pengeluaran subsidi bahan bakar.

Semenjak saat itu hingga kini subsidi energi menjadi isu politik anggaran yang sangat serius. Karena subsidi energi tidak hanya menjadi isu ekonomi, tetapi juga isu sosial dan politik. Biasanya kebijakan mengurangi subsidi energi yang berimplikasi pada naiknya harga BBM, harga elpiji dan harga listrik akan direspon oleh publik dengan demonstrasi penolakan kenaikan harga tersebut di seantero Indonesia.

Walaupun demikian, sebagai bagian dari reformasi subsidi energi di Indonesia, sejak tahun 2005 hingga kini, harga BBM telah beberapa kali dinaikan ataupun diturunkan, untuk mengakomodir perubahan harga minyak mentah internasional, nilai tukar rupiah yang melemah, dan peningkatan pengeluaran pemerintah di berbagai bidang.

Beban dan tidak tepat sasaran

Selama bertahun-tahun, subsidi energi–Bahan Bakar Minyak (BBM), elpiji, tenaga listrik, Bahan Bakar Nabati (BBN) dan Liquefied Gas for Vehicle (LGV)–menjadi salah satu beban fiskal yang signifikan bagi negara. Misalnya, dalam rentang waktu 2007-2014, subsidi energi secara nominal mengalami peningkatan sebesar Rp197,85 triliun atau tumbuh rata-rata 15,23 persen per tahun, yaitu dari Rp116,90 triliun pada tahun 2007 dan mencapai Rp314,75 triliun pada tahun 2014. Dalam kurun waktu itu, keuangan negara (APBN) terpasung karena harus memenuhi belanja subsidi energi, yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sebab naiknya harga minyak dunia dan melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat.

Akibatnya pemerintah terpaksa mengorbankan belanja yang lebih produktif seperti belanja infrastruktur untuk mendukung investasi dan daya saing Indonesia. Dampak lainnya dari subsidi energi yang terus meningkat adalah pemerintah  kurang memprioritaskan belanja subsidi non-energi. Sehingga, subsidi pangan, subsidi pupuk dan subsidi bibit untuk mendukung kegiatan produksi masyarakat petani; subsidi dalam rangka pelayanan publik atau PSO (Public Service Obligation) sehingga harga jual angkutan (kereta api, kapal laut dan jasa pos) lebih murah; dan juga subsidi bunga kredit atau program KUR (Kredit Usaha Rakyat) untuk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UKMK), kurang mendapat perhatian pemerintah.

Disamping itu, mekanisme subsidi harga energi–penyaluran subsidi yang mengakibatkan harga BBM, harga elpiji dan tarif dasar listrik lebih rendah dari harga keekonomiannya–mengakibatkan semua kalangan masyarakat menikmatinya. Harga energi yang murah akibat disubsidi oleh pemerintah ini, bukan hanya dinikmati oleh masyarakat berpendapatan rendah dan miskin saja, melainkan juga dinikmati oleh masyarakat berpendapatan menengah atas.

Kondisi inilah yang seharusnya dipandang sebagai tidak pro rakyat, karena negara justru terbebani untuk menanggung beban subsidi energi yang sebenarnya mampu ditanggung oleh kalangan masyarakat kaya, dan akibatnya pemerintah mengorbankan pembangunan infrastruktur serta program jaminan sosial lainnya termasuk subsidi non-energi yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat berpendapatan rendah dan miskin.

Apalagi dari sisi volume pemakaian energi yang disubsidi oleh pemerintah tersebut, ternyata pemanfaatannya justru bias dalam dua hal. Pertama adalah bias wilayah. Wilayah Jawa dan Bali adalah wilayah yang menggunakan volume BBM, elpiji dan listrik terbesar dibandingkan wilayah lainnya di Indonesia. Oleh karena wilayah ini infrastrukturnya secara relatif telah terbangun sehingga sekitar 59 persen pengguna BBM berada di Jawa dan Bali. Kedua adalah bias kelompok masyarakat. Subsidi energi, yang memberatkan keuangan negara itu, lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat berpendapatan menengah atas. Sebab mereka memiliki banyak kendaraan bermotor dan tinggal dirumah mewah dengan fasilitas listrik dan gas yang serba modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun