Mohon tunggu...
Hizkia Nichi Kumaat
Hizkia Nichi Kumaat Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ordinary human being

Open-minded, down to earth, thoughts explorer

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Faktor "X" di Balik Kekalahan Ahok pada Pilgub Jakarta 2017

25 September 2018   01:35 Diperbarui: 25 September 2018   07:19 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan gubernur Jakarta tahun lalu diikuti oleh tiga pasangan calon yaitu Agus Harimurti Yudhoyono-Sylviana Murni sebagai pasangan nomor urut 1, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat sebagai pasangan nomor urut 2 dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno sebagai nomor urut 3. Pasangan nomor 3 berhasil memenangkan Pilgub setelah melewati dua putaran. Di putaran kedua Pasangan nomor 3 berhadapan dengan pasangan nomor urut 2.

Ahok-Djarot yang diunggulkan untuk keluar sebagai pemenang, nyatanya harus kalah terhadap pasangan Anies-Sandi dengan selisih suara 15.92% di putaran kedua. Sebenarnya pasangan nomor urut 2 memiliki keuntungan, karena Ahok adalah petahana yang di saat Joko Widodo dari gubernur Jakarta terpilih sebagai presiden, Ahok yang pada waktu itu sebagai wakil gubernur dari Joko Widodo otomatis naik jabatan menjadi gubernur.

Dari sekian banyak penyebab kekalahan Ahok, banyak yang mengatakan isu Agama adalah penyebab kekalahan pasangan nomor urut 2 ini. Walaupun Djarot beragama Muslim, tapi Ahok memeluk agama Kristen dan Ahoklah yang dicalonkan sebagai gubernur dan Djarot sebagai wakilnya. Jangan lupa juga, Ahok bertarung untuk menjadi gubernur di daerah yang mayoritas masyarakatnya beragama muslim. Tapi, apa memang hanya karena isu agama sehingga Ahok kalah dalam pilgub Jakarta 2017?

Sebenarnya ada yang lebih dari sekedar isu agama. Memang Ahok sempat blunder dengan perkataannya saat melakukan kunjungan kerja di kepulauan seribu pada 27 september 2016. Di sana, Ahok berpidato dan mengutip salah satu ayat dari kitab suci umat muslim yang pada akhirnya menyinggung banyak umat muslim.

Justru dari perkataan Ahok yang menyinggung umat muslim itulah yang menunjukan "sesuatu" dalam diri Ahok. Perkataan Ahok itu menjadi tolok ukur dari "sesuatu" yang ada dalam diri Ahok, "sesuatu" yang menjadi penyebab kekalahan Ahok pada pilgub Jakarta 2017. Perkataan Ahok itu menunjukan bahwa Ahok bukanlah politisi yang andal.

Benar, Ahok adalah gubernur yang hebat, benar Ahok memiliki karakter yang baik yang tidak toleran terhadap praktik KKN, tapi Ahok bukanlah politisi yang handal.

Bila definisi politik adalah seni untuk mendapatkan kekuasaan, maka Ahok sepertinya bukanlah seniman yang hebat dalam seni politik.

Seorang politisi yang andal tahu apa yang harus dibicarakan kepada publik, tahu momentum yang tepat untuk mengambil kebijakan tertentu dan tahu cara-cara untuk mengambil hati masyarakat.

Kalau Ahok seorang politisi yang hebat, tentunya Ahok bisa mencegah perkataan yang menyinggung umat muslim itu mengingat Jakarta adalah daerah dengan mayoritas masyarakat beragama muslim.

Bandingkanlah dengan mantan presiden Amerika Serikat Barack Obama. Kalau ingin mengambil contoh seorang politisi yang handal, maka Barack Obama adalah contoh yang bagus. Barack Obama bertarung untuk menjadi presiden di negara yang mayoritasnya kulit putih dan isu mengenai warna kulit masih saja ada di sana. Stereotipe bahwa orang kulit hitam adalah orang yang kasar, sensitif dan hal-hal buruk lain masih saja beredar luas di kalangan orang kulit putih di Amerika. Tapi Obama benar-benar seorang politisi yang handal. Obama tahu bagaimana cara mengambil hati masyarakat Amerika baik yang kulit putih maupun kulit hitam. Terlihat dalam pidato-pidato Obama saat kampanye, pidatonya benar-benar dipersiapakan secara baik  sehingga muncul simpati dari banyak orang dan akhirnya bisa memenangkan hati banyak pemilih di Amerika.

Tapi apakah Obama adalah presiden yang hebat? Dalam konteks ini sangat-sangat bisa diperdebatkan. Ada banyak hal yang bisa menunjukan bahwa Obama bukanlah presiden yang hebat. Contohnya, Amerika mengalami krisis ekonomi pada tahun 2008 saat Obama menjabat Presiden Amerika. Belum lagi soal kebijakan Obama mengintervensi Libya. Amerika waktu itu mendukung pihak pemberontak untuk menurunkan Moammar Qadaffi. Untuk tujuan itu, Obama berhasil. Rezim Qaddafi berhasil diturunkan. Sayangnya, keadaan pasca Qaddafi turun justru berubah tragis. Keadaan itulah yang tidak diantisipasi Obama. Banyak, sangat banyak kelompok-kelompok ekstrimis yang muncul setelah Qaddafi diturunkan dan kelompok-kelompok ini sulit dikendalikan Amerika. Tapi, dibalik beberapa kebijakan Obama yang keliru, toh beliau bisa terpilih dua kali menjadi presiden Amerika. Ini menunjukan kelihaian seorang Obama dalam berpolitik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun