Setelah dua tahun belakangan mengerjakan proyek dengan kontraktor plat merah, saya jadi semakin tahu tentang birokrasi reklamasi. Menurut saya, ada fakta pahit yang harus diterima warga Jakarta anti-reklamasi: reklamasi yang sudah berjalan tidak dapat (atau sangat susah) dihentikan.
Pertama, pada dasarnya ranah reklamasi bukan berasal dari gubernur saja, sebelum air dibangun menjadi tanah, terdapat birokrasi panjang lebar dari gubernur, kementerian kelautan, bahkan presiden. Setelah tanah terbentuk, maka yang dahulunya ranah kementerian kelautan kini berpindah kepada kementerian pekerjaan umum, dimana melalui dinas tata kota PU sudah memiliki hak untuk membuat regulasi penataan kota; badan pertanahan pun sudah dapat mengeluarkan sertifikat. Dengan kata lain, seorang gubernur tidak dapat dengan mudah menolak atau mengiyakan reklamasi tanpa birokrasi yang surat-menyuratnya saja ditembuskan sana-sini dari DPRD hingga presiden.
Kedua, siapa yang akan mengganti uang investor bila reklamasi sudah berjalan? Jika dibatalkan pun maka developer akan merugi, Â multiplier effectnya mereka tidak akan dapat membayar pinjaman ke bank padahal umumnya developer hanya menggunakan ekuitas 30% saja untuk modal kerja. Developer mati, kontraktor mati, bank rugi. Apakah negara siap menanggung? Lalu akan diapakan tanah yang setengah jadi setelah proyek dihentikan? Dibiarkan mangkrak seperti Hambalang? Bedanya bangkai reklamasi ini akan sangat besar dan terlihat jelas oleh kapal yang masuk ke Tanjung Priok maupun pesawat yang melintasi langit Jakarta.
Janji menghentikan reklamasi selain itu bertentangan dengan Peraturan Daerah DKI Jakarta tentang Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku hingga tahun 2030 dimana rencana zonasi reklamasi telah ditetapkan. Sebagai perda tentunya peraturan tersebut telah disetujui oleh DPRD dan gubernur (saat itu Jokowi) yang tentunya sudah berkoordinasi dengan kementerian terkait saat Susilo Bambang Yudhoyono memerintah. Jadi, apakah (calon) gubernur yang anti-reklamasi ini siap berhadapan dengan eksekutif, legislatif, dan stakeholder lainnya dan tentunya membatalkan perda tersebut?Â
Saya bukan pro-reklamasi, reklamasi yang tidak bijaksana juga tentunya salah, reklamasi harus mempertimbangkan dampak sosial-ekonomi dan terlebih lingkungan. Tetapi hanya sekedar bertanya seberapa realistiskah janji menghentikan reklamasi itu? Lalu bagaimana restorasi aspek legalitas, lingkungan, Â dan ekonominya? Jika janji ini direalisasikan maka luar biasa sekali kemampuan gubernur tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H