El Niño merupakan fenomena cuaca ketika suhu di permukaan laut Samudra Pasifik mengalami kenaikan suhu atau memanas. Fenomena yang terjadi di Samudra Pasifik bagian tengah hingga timur tersebut memberi dampak yang beragam untuk lingkup global.
Di Indonesia, dampak dari El Niño secara umum ialah kondisi kering dan berkurangnya curah hujan di wilayah tersebut. Sebaliknya di kawasan Amerika Latin seperti Peru, fenomena tersebut berdampak pada meningkatnya curah hujan.
Istilah El Niño berasal dari bahasa Spanyol yang memiliki arti anak Tuhan. Kosakata tersebut awalnya digunakan oleh nelayan di Pantai Ekuador untuk merujuk peristiwa munculnya arus panas saat Natal hingga beberapa bulan berikutnya.
Adanya arus panas tersebut mengakibatkan jumlah ikan mengalami penurunan sehingga nelayan memanfaatkan fenomena tersebut untuk beristirahat dari kegiatan melaut.
Wilayah-wilayah yang terdampak El Niño ialah wilayah yang terletak di sekitar Samudra Pasifik, seperti wilayah Amerika Tengah, Asia Tenggara, India, Afrika Timur, Afrika bagian selatan, dan beberapa wilayah lainnya.
Fenomena El Niño menyebabkan wilayah tersebut ada yang mengalami gagal panen akibat terjadi kekeringan yang parah dan ada juga yang mengalami banjir akibat curah hujan yang semakin meningkat.
Memang El Niño terjadi di wilayah-wilayah sekitar Samudra Pasifik, tetapi fenomena ini pernah terjadi di benua biru, yaitu pada perhelatan kejuaraan sepak bola antar negara Eropa, yakni Piala Eropa tahun 2008.
Fenomena tersebut tepatnya terjadi saat berlangsungnya pertandingan babak final antara Tim Nasional (Timnas) Jerman dan Timnas Spanyol di Stadion Ernst Happel, Wina, Austria pada tanggal 29 Juni 2008.
Kondisi cuaca pada pertandingan yang dimulai pukul 20.45 waktu setempat dan disaksikan langsung oleh 51 ribu penonton tersebut bisa dibilang cerah dengan suhu udara sebesar 27 °C dan tingkat kelembapan 44%. Namun, saat pertandingan babak pertama sudah berjalan selama 33 menit, mendadak badai El Niño berhembus kencang ke arah sisi tribun basis suporter Jerman.
Seketika para pendukung Die Mannschaft (julukan Timnas Jerman) langsung terdiam dan membuat pendukung kubu lawan bersorak kegirangan atas peristiwa tersebut hingga akhir laga. Timnas Spanyol berhasil menjadi juara Eropa setelah mengalahkan Jerman dengan skor 1-0.
Badai El Niño Kembali Menerjang di Perhelatan yang Sama Empat Tahun Setelahnya
Empat tahun setelah peristiwa di Stadion Ernst Happel, badai El Niño kembali berhembus pada perhelatan yang sama, yakni pada laga final Piala Eropa 2012 yang lagi-lagi melibatkan Timnas Spanyol.
Namun, kali ini para punggawa La Furia Roja (julukan Timnas Spanyol) diperhadapkan dengan lawan yang berbeda, yakni Timnas Italia.
Pertandingan final tersebut berlangsung di Stadion NSC Olimpiyskiy, Kiev, Ukraina pada 1 Juli 2012 dan kick-off dimulai pukul 21.45 waktu setempat. Kondisi cuaca pada pertandingan yang disaksikan oleh 63 ribu pasang mata tersebut cenderung cerah, seperti pada laga final edisi sebelumnya, dengan suhu udara sebesar 26°C dan tingkat kelembapan sebesar 42%.
Namun, badai El Niño yang dirindukan para pendukung Spanyol tersebut terlambat datang. El Niño baru berhembus kencang saat 6 menit sebelum pertandingan selesai (menurut waktu normal) dan mengubah papan skor dari 2-0 menjadi 3-0 untuk keunggulan Spanyol.
Empat menit setelah El Niño mencetak gol, kali ini El Niño kembali beraksi dengan mencetak assist setelah operan cut back-nya berhasil dieksekusi dengan baik oleh gelandang Spanyol, Juan Mata. Timnas Spanyol kembali berhasil menjadi juara Piala Eropa setelah menaklukkan Italia dengan skor telak 4-0.
Lho, Bagaimana El Niño yang Merupakan Sebuah Fenomena Cuaca Bisa Mencetak Gol dan Mencetak Assist?
Sebenarnya, El Niño yang dimaksudkan pada dua edisi final Piala Eropa tersebut bukanlah fenomena cuaca seperti yang dijelaskan sebelumnya pada paragraf pertama hingga keenam tulisan ini. El Niño yang dimaksud merupakan julukan untuk penyerang andalan Timnas Spanyol, Fernando Torres.
Julukan El Niño yang berarti “Si Bocah” diberikan setelah pemain asli binaan akademi Atletico Madrid tersebut berhasil menembus skuat utama saat usianya masih sangat muda, yakni 16 tahun.
Banyak pemain senior Atletico yang memanggil dengan sebutan El Niño karena kala itu mereka tidak mengetahui nama asli pemain kelahiran Madrid tahun 1984 tersebut ketika dirinya pertama kali menembus tim utama.
Fernando Torres menjadi pahlawan kemenangan Spanyol atas Jerman setelah menjadi pencetak gol tunggal pada laga final Piala Eropa 2008. Torres mencetak gol ke gawang yang dijaga oleh Jens Lehmann setelah menerima umpan dari Xavi Hernandez dan berhasil berlari melewati dua bek Jerman, Philipp Lahm dan Christoph Metzelder.
Pemain yang pernah merumput bersama Liverpool tersebut kembali mencetak gol pada laga final Piala Eropa empat tahun setelahnya dan menjadi pemain pertama yang berhasil mencetak gol di dua edisi final Piala Eropa. Gol pada final Piala Eropa 2012 tersebut terjadi setelah El Niño diberi umpan lagi-lagi oleh orang yang sama, yakni Xavi Hernandez.
Pemain yang enam minggu sebelumnya berhasil membawa klubnya saat itu, Chelsea, menjadi juara Liga Champions Eropa juga berhasil memberikan umpan yang berbuah gol kepada rekan satu timnya di klub, Juan Mata.
Piala Eropa 2012 seakan menjadi semakin spesial bagi Torres setelah pemain yang mengidolai tokoh fiksi Tsubasa tersebut dinobatkan menjadi sang pencetak gol terbanyak sepanjang turnamen.
Pemain yang saat ini menjalani masa pensiunnya sebagai pelatih Atletico Madrid U-19 mendapatkan penghargaan sepatu emas tersebut setelah mengungguli penyerang Timnas Jerman, Mario Gómez, yang sama-sama menorehkan 3 gol dan 1 assist, tetapi jumlah menit bermain El Niño sepanjang turnamen lebih sedikit/efektif (189 menit) dibandingkan Gómez (282 menit)
Pada akhirnya, keberadaan Fernando “El Niño” Torres pada laga final Piala Eropa 2008 dan 2012 sama seperti fenomena El Niño yang terjadi di Samudra Pasifik, yaitu memberikan dampak yang berbeda-beda untuk masing-masing pihak yang berbeda.
Terjangan badai El Niño di final Piala Eropa tersebut membawa kemujuran untuk Spanyol setelah mengantarkannya menjadi negara pertama yang dapat menjuarai Piala Eropa dua kali secara beruntun, tetapi sebaliknya menjadi petaka bagi Jerman dan Italia setelah gagal merengkuh trofi Henry Delaunay tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H