Mohon tunggu...
Hizbul Aulia Indriansyah
Hizbul Aulia Indriansyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Strata 1 UINSI Samarinda

Menyukai Literasi Diskusi dan aksi paket lengkap dengan aktif di organisasi

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kebisuan Ironi

13 Desember 2024   21:39 Diperbarui: 13 Desember 2024   21:39 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

(Lirih terdengar, penuh sindiran tajam yang menelusup ke hati siapa pun yang mendengarnya.)

Aku tidak bisa mendengar suara apa pun. Ironis, ya? Dunia terus saja ribut, terus saja berseru seolah-olah semua orang pasti paham apa yang dikatakan. Tapi aku? Aku hanya mendengar keheningan. Sebuah ironi yang lucu, karena meski tak bisa mendengar, aku tahu: kebanyakan suara itu tidak lebih dari kebohongan.

Aku tidak bisa melihat. Dunia ini katanya indah, penuh warna, penuh bentuk yang sempurna. Tapi, sungguh, apa indahnya kalau semua yang kulihat hanyalah kegelapan? Katanya, mata adalah jendela hati. Tapi coba lihat---orang-orang dengan mata sempurna itu malah buta terhadap rasa. Sungguh aneh. Aku yang buta, tapi mereka yang kehilangan arah.

Dan bicara? Ah, ini bagian terbaik. Aku tidak bisa bicara. Lidahku terkunci, tapi bukankah itu anugerah? Aku tidak perlu ikut-ikutan menghamburkan kata-kata yang kosong makna, memuntahkan kebohongan atau janji-janji palsu seperti yang dilakukan banyak orang. Dunia ini terlalu ramai dengan suara-suara yang hanya berlomba-lomba menjadi yang paling lantang, tanpa berpikir apakah mereka benar. Jadi, kenapa aku harus iri?

(Ada tawa kecil, sinis, lalu berlanjut.)

Tapi aku belajar. Ya, aku belajar. Lucu, bukan? Dalam gelap, dalam sunyi, dalam bisu, aku belajar. Aku yang tidak bisa mendengar, melihat, atau berbicara ini malah belajar untuk memahami dunia. Sebuah paradoks yang indah, karena mereka yang punya segalanya justru lupa caranya belajar.

Mereka yang bisa mendengar, malah memilih tuli terhadap kebenaran. Mereka yang bisa melihat, malah membutakan diri dengan kemewahan dan kebohongan. Dan mereka yang bisa bicara, memilih diam saat harus melawan ketidakadilan, lalu berteriak keras saat waktunya memamerkan ego.

Jadi, apakah aku yang cacat, atau mereka yang sempurna tapi lupa caranya menjadi manusia?

(Suara semakin tajam, penuh sindiran pedas.)

Katanya, belajar itu alat untuk merubah hidup. Tapi coba lihat, berapa banyak dari mereka yang benar-benar belajar? Belajar bukan soal sekolah tinggi atau gelar panjang berjejer di belakang nama. Bukan soal belajar memanipulasi keadaan demi keuntungan pribadi. Bukan soal menghafal teori, tapi gagal mempraktikkan kejujuran.

Aku, dalam semua keterbatasanku, hanya punya satu hal: kesadaran. Kesadaran bahwa belajar adalah satu-satunya cara untuk tumbuh, bukan untuk menjadi sombong, tetapi untuk menjadi lebih baik. Ironis, ya? Aku yang katanya cacat ini, malah tahu lebih banyak soal hidup dibandingkan mereka yang katanya sempurna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun