Mohon tunggu...
Hisyam Suratin
Hisyam Suratin Mohon Tunggu... Konsultan - but first, coffee.

Penikmat kopi yang menceritakan kembali isu sosial, seni dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Caleg Dilarang Pede!

21 Oktober 2018   17:59 Diperbarui: 21 Oktober 2018   18:34 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Prolog ; Resensi Panggung Politik | Bagian I

"Biarkan fotonya saja yang pede. Orangnya tetap gak boleh pede, apalagi kepedean" begitulah kalimat sederhana muncul dari seorang mantan dosen, yang merangkap jabatan sebagai mantan caleg dan mantan walikota dua periode.

Pertimbangannya? Probabilitas subjektif konstituen memiliki parameter yang terus memuai.

Menyesuaikan perkembangan peta politik yang dirumuskan kembali setiap sabtu pagi. Selalu ada variabel untuk parameter baru.

Lalu, hasilnya?

Sederhana. Lagi - lagi deklamasi simpul massa yang setiap rapat diperdengarkan memiliki lirik dan nada dasar yang sama. Refrain juga mirip - mirip, apalagi intro, wuih, persis, sanjipak eh njiplak plek maksudnya.

Terus, Sam?

Lalu, mendapati lebih banyak temuan fakta yang kontraproduktif dengan target yang dicanangkan. Terlalu banyak umpan lambung, sehingga seringkali sudut dan wawasan politik diuji oleh intuisi politis.

Ujian intuisi politis tak pernah enak. Acap kali kita dihadapkan dengan hasil prediksi yang salah. Hasil analisa yang menegasi fakta terbaru. Duh, bikin mumet.

Lalu apa solusi dan poin pentingnya, Sam?

Sebentar. Saya mau bercerita lebih detil. Saya ingin menyampaikan kronologi berpikir politisi karbitan dan kawakan.

Jadi begini, dalam suatu narasi politik, ada dua terminologi; ideologi dan komoditas.

Ideologi mengawali retorika, yang dengan cerdas menusuk emosi dasar dan nurani. Menjelajah dalam angan dan harapan, yang kesederhanaannya menempati rumah euforia konsep demokrasi. Bergumul dengan falsafah.

Baik, karena hal ini yang menjadi landasan dasar bangsa ini. Menjadi pemicu dasar kelahiran partai politik.

Kedua, komoditas. Ini jelas, singkat dan main sikat. Ya, dipercaya atau tidak masyarakat kita masih menerima politik sebagai bukan bagian pribadi yang merdeka.

Bagi mereka konsepsi demokrasi hanya sebagai retorika kekuasaan yang hingga hari ini lupa untuk didefinisikan. Tak nyata, apalagi berdampak sistemik terhadap taraf kehidupan. Itu persepsinya.

Sehingga ada beberapa orang yang memanfaatkan kesenjangan nurani ini untuk berpikir mendayagunakan potensi suara. Bisnis lima tahun sekali. Enam tahunan untuk kelas desa.

Untuk ini, bekal kemampuan psikoanalisis penting dimiliki. Observasi partisipatif menjadi teknik ampuh yang hampir tidak lupa digunakan.

Sungguh, lebih dari peraduan, skeptisme menjadi rujukan ketika logika bergerak tak linier.

Bedanya, politisi kawakan, bernyanyi sambil memeluk biduan. Sementara, politisi karbitan, ikut bergoyang sembari nyawer kanan kiri.

Pasuruan, 21 Oktober 2018.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun